Empati vs Schadenfreude | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day

Empati vs Schadenfreude

Pada suatu hari, seorang Ibu tokoh nasional yang dikenal aktif membela rakyat kecil, tersiar kabar mengalami pengeroyokan. Bukti foto-foto dengan cepat tersebar. Ibu ini, terlepas dari image yg kontroversial dan sering mengeluarkan pernyataan yang juga kontroversial (tidak selalu benar, dan tidak selalu salah). Syahdan, publik gempar dan sontak mengecam siapapun yang mengeroyok si Ibu berusia 70 tahun tersebut. Mengapa demikian? Itulah sisi baik manusia yang disebut “Empati”. Empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasikan dirinya dengan perasaan orang lain, terutama orang lain yang sedang merasakan sakit atau takut. Bahasa inggris sederhananya ya “feeling seeing”. Namun, Paul Bloom, seorang psikolog asal Kanada, pada artikelnya di portal The Guardian 7 februari 2017, berpendapat empati juga punya sisi buruk, yaitu: membuat orang jadi bias, berpikir pendek dan tanpa perhitungan, reaktif, bahkan bisa berakibat kekerasan pada taraf yang ekstrim. Rasa empati masyarakat terhadap kisah si Ibu menyebabkan banyak orang langsung menelan mentah-mentah semua informasi, tanpa mengecek fakta, dan bereaksi membela, bahkan menyumpahi pelaku pengeroyokan (yang belakangan sudah diketahui bahwa ternyata dalangnya adalah setan pembisik). Ini agak mirip dengan kasus pelecehan seksual terhadap murid di Jakarta Islamic School (JIS) yang membuat masyarakat marah, menyumpahi, dan percaya saja semua informasi tanpa memberikan waktu kepada aparat untuk mengecek fakta hukum. Belakangan baru beredar lagi kabar bahwa banyak isu yang terkait kasus JIS tersebut adalah palsu dan hoax. Bahkan, ada yang berpendapat beberapa karyawan yang sudah terlanjur divonis sebenarnya tidak bersalah.

Sehari setelah isu pengeroyokan beredar, si Ibu akhirnya melakukan konferensi pers mengakui bahwa dirinya berbohong dan telah membohongi kubu salah satu capres yang sudah terlanjur konferensi pers untuk menyatakan akan mengawal isu ini. Si Ibu mengakui kesalahannya, meski itu akan beresiko pada kejatuhan dirinya sendiri. Sontak publik berbalik dan mengecam si Ibu. Bahkan, kawan-kawan yang selama ini setahu saya adalah pribadi yang santun, tiba-tiba mengecam, menghina wajah tua si Ibu yang katanya hasil operasi plastiknya hanya “segitu saja”, menertawakan, bahkan menyumpahi si Ibu. Perilaku ini dalam ilmu psikologi disebut Schadenfreude. Schaden = damage (hancur, rusak, jatuh), Freude = joy (kesenangan, kegembiraan, bahagia, puas). Damage and joy. Secara singkat, manusia merasa senang, gembira, bahagia, puas ketika melihat orang lain, apalagi orang lain tersebut adalah seorang tokoh yang dikenal, jatuh dan hancur. Hal yang menakutkan, sifat ini bukan karena rasa iri atau dengki yang datang dari hati saja, tetapi ternyata otak manusia secara natural bekerja seperti ini. Sudah banyak penelitian mengenai Schadenfreude, yang mengungkapkan aktivitas neuron otak bekerja lebih dan bahkan katanya sampai mengeluarkan cairan kimia yang menimbulkan rasa puas, ketika kita melihat orang lain jatuh.  Ketika kita merasa puas, tentunya kita ingin terus melanjutkan “pesta-pora” kita dengan melakukan hal yang sama agar kita semakin puas. Kalau perlu sampai “menghabisi”, sebagaimana yang dialami suporter klub Persija yang tewas di Bandung beberapa waktu lalu. Segitu adiktifnya lah rasa puas.

Mana dari dua sifat manusia ini yang baik? Tentunya apapun ketika berlebihan biasanya menghasilkan hal yang tidak baik.

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (Asy-Syura: 40)” - QS As-Shura ayat 40

- Romy Bareno, bukan ahli psikologi, tapi hanya manusia biasa yang mencoba mengerti sifat manusia, 4 Oktober 2018



Berita Terkait