Film Abracadabra, Estetika Visual Sulap yang Melampaui Zamannya (1) | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Fourcolours Film

Film Abracadabra, Estetika Visual Sulap yang Melampaui Zamannya (1)

Ceknricek.com -- Film Abracadabra karya sutradara Faozan Rizal dibuka dan diakhiri dengan adegan yang sama: Lukman (Reza Rahadian) seorang pesulap, terbangun dari posisi tertidur di atas batu di pinggir laut, disorot kamera dari belakang.

Sebagai latar belakang nampak laut biru yang lampang agak melengkung dan di kejauhan, di kiri kanan, nampak semacam mercusuar berwarna strip-strip merah putih. Setelah sepanjang film menyuguhkan dimensi-dimensi dunia sulap yang penuh imajinasi dan ilusi, pembukaan dan penutupan film yang tepat sama ini, sejak awal sudah menimbulkan sejumlah penafsiran dan perdebatan tidak hanya pada tafsir cerita, tetapi juga diskursus soal filosofi film ini.

Dari aspek kisah film, cara pembukaan dan penutupan seperti itu, tanpa dapat dicegah sejumlah pertanyaan langsung menyergap kita: Apakah seluruh peristiwa tersebut merupakan dejavu dari Lukman? Dejavu ialah semacam pengulangan peristiwa yang sama dalam waktu yang lain. Jadi, sebenarnya semua kisah itu pengulangan kejadian yang pernah dialami Lukman pada waktu yang berlainan? Mungkin iya, mungkin bukan. 

Juga ada kemungkinan lain, sesungguhnya seluruh cerita hanyalah khayalan Lukman yang ingin berhenti di ujung kariernya. Dengan kata lain, cuma merupakan ilusi Lukman belaka, dan kejadiannya bukan realitas. Boleh jadi memang begitu, tapi boleh jadi juga meleset sekali.

Film Abracadabra, Estetika Visual Sulap yang Melampaui Zamannya
Sumber: Fourcoloursfilm

Kemungkinan lainnya lagi, sebenarnya, munculnya kembali adrenalin Lukman di dunia sulap, tak lain “ulah” dari Lukito, ayahnya sendiri yang dikabarkan menghilang di Negeri Tirai Bambu manakala menimba ilmu sulap di sana. Lukito, dari berbagai sumber dan pengetahuan, mengetahui anaknya bakal yang pamit dari dunia sulap lantaran sudah merasa mencapai taraf grandmaster dan merasa sudah “khatam” ilmu sulap. 

Lukito ingin Lukman tetap menggeluti sulap pada tataran yang jauh lebih tinggi. Maka direkayasalah sejumlah kejutan dan misteri-misteri baru yang belum pernah Lukman alami. Itulah sebab pada pertunjukan terakhirnya, Lukman ternyata justru mengalami masih begitu banyak keganjilan, keanehan dan misteri dalam sulap.

Baca Juga: Review 'Abracadabra', Memang Bukan untuk Dimengerti

Lewat sahabat baiknya, Barnas (Egy F), seorang pesulap tua yang bersama Lukito pernah ikut berguru sulap di China, dia mengatur agar Lukman mengalami peristiwa-peristiwa baru yang menunjukkan sulap punya dimensi luas yang semuanya sulit terjangkau oleh nalar seorang penyulap sekalipun. Jalan cerita ini masuk akal, tapi tetap juga belum tentu benar.

Ada dua kemungkinan lainnya lagi. Pertama, kotak sulap itu memang kotak “magic” yang memiliki kemampuan luar biasa. Kotak itu yang bernama Yggdrasil boleh jadi merupakan “warisan” dari Lukito, tentu tidak secara langsung, tetapi dengan pengaruh Lukito, Lukman mendapatkannya lewat pembelian di ebay. Sedangkan Lukito sendiri memperolehnya dari gurunya seorang master sulap di China.

Tak semua murid master memperoleh kotak dan ilmu sulap seperti itu. Hanya Lukitolah yang dipercayai sang master. Bisa jadi juga kotak itu dulunya pernah menjadi milik seorang tokoh sulap Yahudi, Herbert Nivelli, yang dipakai untuk menyelamatkan banyak warganya dari pembantaian Jerman. Dan kotak ajaib itulah yang menjadi pangkal semua perkara, karena Lukman dan pesulap lain belum mampu “mengendalikan” kotak itu.    

Film Abracadabra, Estetika Visual Sulap yang Melampaui Zamannya
Sumber: Fourcoloursfilm

Kemudian yang kedua, sebenarnya, tak ada kerangka cerita utuh. Adapun yang ada cuma masing-masing peristiwa terpisah dan cuma beberapa yang saling berhubungan. Selebihnya hanya ilusi-ilusi di dunia sulap. Tegasnya: tak ada cerita sama sekali.

Begitu beragamnya kemungkinan kisah film dapat ditafsirkan, sehingga bahkan seorang penonton dapat mempunyai tafsir dan kesimpulan beberapa sekaligus. “Ya betul, itu malah yang saya harapkan,” ujar sang sutradara, Faozan.  

Manakala kita menyaksikan sebuah pertunjukan sulap yang spektakuler, masing-masing kita memiliki imajinasi yang berbeda-beda. Ada yang tegang, takjub atau penuh tanda tanya, tetapi juga mungkin ada yang skeptis itu cuma kemampuan kecepatan bereaksi atau permainan ilusi belaka. 

Mungkin juga ada yang tak merasa sesuatu sama sekali. Tetapi satu hal sudah jelas: ada kejadian aneh di atas panggung. Begitu pula ketika menyaksikan film ini, kita dapat saja sampai kesimpulan yang berbeda-beda, namun film telah menyuguhkan kepada kita bahwa ada sesuatu dalam hidup ini yang sering tak masuk logika, tapi terjadi, bagaikan sulap.

*Wina Armada Sukardi, Kritikus Film.

BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait