Filosofi Kehendak dan Pemilu 2024 | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Filosofi Kehendak dan Pemilu 2024

RNI 31 Desember2023  (Rangkaian Ngopi Imajiner bersama Gus Dur)

Sumbu imaji sesak dikepung lobi-lobi

Hidup berdenyut diantara fakta dan fiksi

Segalanya hanyut larut tiada sepi bertepi

Transaksi terus berlangsung perihal hidup yang tak bisa ditawar

Tak bisa ditukar dengan kelakar

Walau untuk melupa kita pun mesti tertawa hambar

Titik nol serupa jantung sumbu tempat darah dipompa

Dikirimkan demi nafas ke jalan empat penjuru semesta

Tak pernah senyap dari tapak hampa…

Ceknricek.com--‘’Mas, pagi di hari terakhir 2023 memang romantis yaa..gerimis mengundang..puisi berkumandang..sembari menikmati kopi yang amat nendang nih..’’, tiba-tiba Gus Dur berkata di temaram kabut pagi akhir bulan Desember. Tanpa sempat menanggapinya, beliau melanjutkan: ‘’Perjalanan merupakan realita kehidupan manusia, ia adalah proses. Perjalanan memiliki latar belakang dan tujuan yang berbeda dari masing-masing individu, tak terkecuali perjalanan hidup ini. Hal yang pada akhirnya sering dipertanyakan adalah makna dari sebuah perjalanan, sebuah proses.

Apakah hidup terlahir sebagai anak presiden adalah perjalanan dan proses yang juga mesti dijalani, tidak instan semata. Pada titik ini, amat relevan bila kita sedikit menjenguk Paul Ricoeur dengan konsep Filsafat Kehendaknya (atau lebih dikenal dengan voluntarisme) yang berusaha menjawab makna hidup sebagai manusia dengan menarik hubungan resiprositas dari yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki dalam suatu tindakan manusia dalam proses kehidupannya. Istilah “voluntarisme sebagai salah satu paham atau aliran dalam filsafat berasal dari kata “voluntas” yang diambil dari bahasa latin yang berarti “kehendak”. Dalam bahasa Inggris disebut “will” dan dalam bahasa Jerman disebut “wille”.

Para penganut Filsafat “voluntarisme” berkeyakinan bahwa kegidupan manusia tidak dikuasai oleh rasio atau akalnya – sebagaimana diyakini oleh kaum rasionalisme – akan tetapi oleh kehendak atau kemauannya. Bahkan menurut mereka, kehendak manusia atau kekuatan yang sama dengan itu merupakan bahan utama dari alam semesta semenjak diciptakanNYA. Paul Ricoeur adalah representasi dari dimensi yang dikehendaki dengan yang tidak dikehendaki dan memiliki hubungan yang resiprokal, sebagai penerimaan akan sebuah kebebasan dan keniscayaan hidup dalam sebuah perjalananan, sebuah proses.

Tatkala kita kilas balik lebih lanjut, kita dapati bahwa para filosof Yunani Kuno yang membicarakan peranan kehendak dalam diri manusia adalah Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Bagi Plato, kedudukan tertinggi ditempati oleh akal atau rasio, hal ini sejalan dengan filsafat idealismenya. Akal memiliki peranan yang menentukan dalam diri manusia, kehendak ditempatkan di bawah akal atau rasio, kehendak hanya merupakan pelayan dari akal atau rasio.

Adpun pemikiran Aristoteles tentang kehendak dapat ditemukan dalam pembicaraannya tentang kebahagiaan. Ditandaskan oleh sobat Aristoteles bahwa kebahagiaan dapat diperoleh manusia apabila ia menjalankan aktifitasnya dengan baik, yakni berdasarkan keutamaan (arête). Hanya pemikiran yang disertai dengan keutamaan (arête) yang dapat membuat manusia bahagia. Keutamaan itu menyangkut rasio, juga aspek kejiwaan manusia seluruhnya, Manusia selain merupakan makhluk intelektual dan berpikir juga merupakan makhluk yang memilki nafsu atau kehendak, memiliki perasaan.

Keutamaan (arete) sebagaimana ditandaskan Aristoteles meliputi dua macam, yaitu; keutamaan intelektual dan keutamaan moril. Keutamaan intelektual bersumber dari rasio atau akal, sedangkan keutamaan moril bersumber dari kehendak manusia. Sama seperti Plato, Aristoteles juga menempatkan akal lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan kehendak. Aristoteles meletakkan keutamaan intelektual sebagai keutamaan tertinggi yang membimbing keutamaan moril. Lebih lanjut, filsuf modern yang membahas peranan dan kedudukan kehendak dalam diri manusia secara lebih jelas ditemukan pada filosof Prancis Maine de Miran (1766-1824). Maine de Biran mengangkat peranan kehendak dalam diri manusia pada tataran aku (subjek), baginya kehendak menentukan eksistensi manusia atau keberadaan manusia.

Namun, di sisin lain, adalah Arthur Schopenhauer (1788-1868) adalah filsuf Jerman yang secara tegas mengatakan bahwa hakikat manusia tidak terletak pada akal atau rasio, melainkan pada kehendaknya. Kehendak menurut Schopenhauer merupakan dorongan, insting, kepentingan, hasrat, dan emosi. Dalam diri manusia pikiran-pikiran (rasio) hanya merupakan lapisan atas dari hakikat manusia. Watak manusia itu ditentukan oleh kehendaknya. Kehendak tidak mengenal Lelah payah, karena terjadi tanpa kesadaran, seperti halnya jantung berdetak, paru-paru, yang beraktifitas tanpa perlu dipikirkan. Segala gejala atau penampakan yang mengelilingi manusia dalam ruang dan waktu harus dipandang sebagai penjelmaan kehendak. Artinya hidup atau dunia fenomena adalah cerminan atau bayang-bayang dari kehendak. Kehendak dan hidup ibarat badan dengan bayang-bayangnya, sehingga dapat dikatakan di mana ada kehendak, maka di sana mestilah ada hidup.

Dalam konteks momentum pergantian tahun 2023 menuju 2024 ini, umat manusia mengalami titik krusial nan reflektif untuk berkontemplasi jujur dan mematri ikrar mengapa dan untuk apa mesti bertindak atau tidak melakukan sesuatu dalam proses kehidupan ini. Nah, bertolak dari diskusi di atas, tindakan Jokowi beserta keluarganya dapat dipahami sebagai suatu rasio yang mengatasi kehendak ataukah kehendak yang menuntun rasionalitas akal sehat? Amat menarik mencermati hal ini hingga saatnya tiba pada 14 Februari 2024 nanti. Pastinya, segala konsekuensi dari hal tersebut tidak hanya akan dirasakan oleh Jokowi dan keluarga serta para jejaringnya tetapi juga seluruh rakyat Indonesia. Selamat Tahun Baru 2024 sederek sedaya..brothers and sisters..’’. Gus Dur telah pergi lagi, tinggallah diri ini yang tetap terkatup tanpa sempat menanggapi.

*) Greg Teguh Santoso, nyaris menuntaskan studi doktoralnya dan terus berbagi pengetahuan serta refleksi kritis atasnya.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait