Ceknricek.com--Mencermati (bukan sekedar membacanya sambil lalu) tulisan Pak Jaya Suprana bertajuk ‘Emang Gue Pikirin, Gitu Aja Repot’ laksana menikmati kudapan berondong jagung manis legit namun sarat pesan dan membuat kenyang pikiran serta imajinasi kita. Usai menyantapnya, kita menjadi haus, ya haus dan terdorong untuk minum air pengetahuan lebih banyak lagi, lagi dan lagi, demi menggapai suatu tingkat kehidupan yang lebih baik dengan dilambari pengetahuan nan arif komprehensif.
Tulisan bergaya humoris-ringan-berbunga nyeleneh tersebut ternyata tak seringan tampaknya. Mengapungkan wacana rasionalisme eksistensial (atau eksistensialisme rasional?) ala Rene Descartes, Pak Jaya sesungguhnya telah menohok kita, khususnya kaum muda milenial dan Gen Z yang mayoritas adalah digital natives, untuk lebih mawas diri: tepatkah mengagungkan ‘aku viral maka aku ada’ tinimbang ‘aku berpikir maka aku ada’? Justru fenomena kekinian lebih banyak memamerkan keengganan sebagian besar dari kita untuk ‘berpikir dulu maka aku ada’.
Isu digoreng dan dimasak, lalu dipanaskan oleh berbagai tanggapan, diberi ajang dan panggung oleh media mainstream maupun digital. Diakui atau tidak, post-truth sarat hoax dan rentan memicu emosi sosial justru kian marak tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia, bahkan di kalangan cerdik-pandai sekalipun. Bangsa ini seolah tak henti berputar dari satu ironi ke ironi lainnya, melompat berjumpalitan dari satu abzurditas ke abzurditas lainnya tanpa jeda, tanpa tanda jemu, apalagi muak, seolah ironi dan abzurditas telah jadi jamak, Ataukah, kita yang tak jamak gegara lebih mengedepankan logika?
Jaya Suprana
Pada titik inilah, ungkapan Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid gitu aja koq repot menjadi amat relevan. Ungkapan terkenal ini bukan berarti kita tidak perlu merepotkan diri, berpeluh dalam proses hingga mengada dan menjadi, tetapi sebaliknya Gus Dur merengkuh kita dalam suatu pengembaraan logika tingkat tinggi dalam merangkum semuanya secara cerdik, ringkas namun berisi. Kecerdasan sekaligus kearifan macam inilah yang kian langka kita jumpai saat ini, filosofi semar makin kering ditinggalkan. Ya, disadari atau tidak, masih banyak diantara kita yang sering berasosiasi Gus Dur itu mirip Semar dan sebaliknya Semar itu bersemayam lalu meng-ada dalam sosok Gus Dur baik saat beliau masih sugeng atau kini setelah wafat.
Secara filosofis, Semar dalam dunia pewayangan adalah manusia setengah dewa penjelmaan Sang Hyang Ismaya. Semar sendiri berasal dari kata tan samar, artinya tidak tertutupi oleh tabir, sangat jelas tanpa terselubungi sesuatu. Keberadaannya ke dunia fana memang dimaksudkan untuk menjaga ketentraman di muka bumi (memayu hayuning bawana) dan ketentraman antar umat manusia (memayu hayuning sasama), sehingga tak berlebihan bila dikatakan bahwa eksistensi Semar adalah mengemban amanat untuk ngawula (mengabdi) berupa dharma atau amalan baik kepada sesama isi bumi, kepada bangsa dan negara. Ini dibuktikan ketika Jonggring Saloka kayangan para dewa bergejolak, maka Semar turun tangan lewat Semar Mbangun Kayangan (Semar membangun Kayangan). Demikian pula, tatkala muncul ketidakadilan dan ketidakbenaran sistem, maka Semar pun tergerak dalam Semar Gugat (Semar Menggugat), dan masih banyak lagi.
Namun, sekaligus pula Semar adalah sosok yang nyata dan tidak nyata, ada dalam tiada, tiada tetapi ada. Menariknya, mungkin Pak Jaya Suprana bisa urun-rembug, bagaimana jadinya bila sosok filosofis Semar yang ada dalam tiada, tiada namun ada tersebut merenungkan cogito ergo sum-nya Descartes? Barangkali, terlalu ribet, begitu istilahnya. Terlalu lama, memakan proses dan waktu, menguras energi dan biaya. Apalagi bila dibumbui dan terprovokasi dengan aroma semangat YOLO, You Only Live Once, ngapain ribet, gitu aja koq repot! Tabik.
#Greg Teguh Santoso, akademisi dan pemikir bebas, tengah studi Ph.D di NDHU-Taiwan
Editor: Ariful Hakim