Ceknricek.com - Warung Tegal alias warteg sengaja dibikin untuk masyarakat kalangan bawah. Itulah kenapa kursinya memanjang dan menyatu. Saat makan, sesama wong cilik bisa dekat, tak ada jarak. Dari sisi komunikasi marketing, jelas ini sangat cucok. Hingga yang punya duit 10 ribu tak canggung masuk.
Etalase putih dengan teknologi kaca sentuh, membuat masyarakat kecil gampang mengira, duitku cukup enggak. Jadi mereka tidak minder. Duduk, tinggal tunjuk. Mau tempe apa daging berpunuk, sikaaaat.
Warteg identik dengan komunikasi pakai bahasa ngapak. Sejatinya, dulu, warung ini memang dibuat untuk para tukang becak, yg kebanyakan orang dari daerah degan bahasa ngapak (tegal, pemalang dan sekitarnya). Subkultur ini mendominasi kalangan menengah ke bawah di Jakarta. Maka kalau ada warteg pemiliknya pakai Bahasa Inggris, saya pastkan itu namanya Wangris, Bukan warteg.
Bangku panjang itu sebetulnya kerap juga dipakai tidur. Banyak pengusaha warteg rumahnya milyaran. Di sini, mereka tidur seadanya. Itu menunjukan, kekayaan tdk perlu dipamerkan. Kalau ada tukang warteg suka pamer, saya pastikan dia masih jomblo dan lagi nyari calon istri atau suami.
Terakhir, di warteg tidak pernah ada wifi apalagi TV. Bukan mereka nggak mampu beli. Tapi karena yg mampir, dulu kebanyakan tukang becak. Bayangkan kalo mereka pesbukan numpang wifi. Bisa penuh warteg cuman pada duduk.Terpenting lagi, aroma bau badan mereka akan menguar ke mana-mana, dan itu berpengaruh pada rasa makanan.