Ceknricek.com--Boleh dikata, freedom of the press lahir di Amerika Serikat, diawali oleh pers yang kritis terhadap pemerintahan (Gubernur Kerajaan Inggris) di wilayah baru itu. The dream land, land of the free and brave. Kebebasan mengkritik ini jaya di masa presiden John Adams dengan dilahirkannya Bill of Rights, yang mengamandemen Konstitusi Amerika (1791). Dalam undang-undang yang mengatur hak-hak asasi manusia itu, yang paling menarik bagi saya adalah amandemen Kebebasan Pers dan Hak untuk Rasa Aman (kelak dimaknai sebagai kebebasan/hak memiliki senjata untuk keamanan diri: rakyat Amerika berhak memiliki senjata).
Amandemen Pertama Konstitusi AS yang berkaitan dengan pers itu antara lain berisi larangan bagi Kongres untuk membuat undang-undang, hukum, atau peraturan apapun yang dapat mengancam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.Namun, masih di bawah pemerintahan yang sama (John Adams), hanya 7 tahun setelah itu, Kongres AS mengkhianati Amandemen Pertama itu dengan menelurkan Sedition Act.
Baca Juga : Patriot Militan di Tengah Pandemi
Akta ini dapat menghukum siapapun yang mengkritik presiden atau pemerintah dengan hukuman penjara atau denda yang besar (lho, kok sama dengan UU ITE yang sekarang memburu pengkritik pemerintah ya?). Gelombang penolakan dari para penerbit dan pemimpin redaksi surat kabar akhirnya membuat UU yang menghamba pada kekuasaan itu dicabut pada tahun 1800.
Nah, maka yang dikenal sebagai pembela Freedom of the Press adalah Thomas Jefferson, tadinya wapres di zaman John Adams, kemudian jadi presiden setelah Adams. Jefferson terkenal dengan adagiumnya: “Lebih baik kita punya pers tanpa negara (waktu itu AS masih dalam kontrol Kerajaan Inggris), daripada punya negara tanpa pers yang bebas.” Jefferson kemudian mendeklarasikan kemerdekaan pers di Amerika.
Freedom of the press ini memang sangat khas Amerika Serikat, karena lahirnya negara AS itu memiliki filosofi dasar “freedom”. (Bandingkan dengan filosofi bangsa kita atau bangsa timur umumnya: “toleran dan harmoni”). Bagi bangsa Amerika, freedom jauh lebih berharga daripada toleran atau harmoni. Mereka ini bangsa yang sudah lelah ditindas di benua asal mereka (Eropa), karena agama, ekonomi, ras, dll.
Baca Juga :Merindukan Kiprah Ma’ruf Amin
Cita-cita mereka ketika migrasi ke tanah baru yang masih kosong adalah: to be free, freedom. Nah, jadi kita mesti paham ya, falsafah freedom of the press ala AS ini. Namun jangan salah, meskipun mereka tidak punya UU atau aturan yang mengatur pers, kalau ada wartawan nulis salah ya dihukum sebagaimana layaknya warga negara lain yang bersalah. The press is not above the law. Banyak kisah wartawan Amerika dipenjara, didenda, dll, melalui pengadilan dan hukum yang berlaku umum. Yang paling terkenal di abad 21 ini adalah Judith Miller, wartawati the New York Times, yang menolak memberikan catatannya pada pengadilan dan memilih dipenjara.
Baca Juga : Mencari Pancasila Yang Hilang
Oleh sebab itu, wartawan di Indonesia boleh dikata adalah wartawan paling manja di dunia: bisa menolak dipanggil polisi, tidak mau diadili di pengadilan, kalau salah berlindung di balik MOU Dewan Pers-Polri. Bagus sih untuk kalangan pers. Tapi, apakah adil bagi pihak yang telah dicemarkan nama baiknya (korban pemberitaan)?
Sirikit Syah, Dosen dan Pengamat Media
BACA JUGA: Cek LINGKUNGAN HIDUP, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.