Ceknricek.com -- Jika tak ada aral melintang, puasa hari pertama, 5 Mei 2019, aplikasi dompet digital LinkAja resmi meluncur. Semoga saja pilihan hari itu menjadi hari baik. Soalnya sudah beberapa kali peluncuran serentak atas aplikasi ini molor saja.
Tadinya, sudah direncanakan akan digelar bersamaan dengan peringatan HUT Kementerian BUMN pada 13 April lalu. Namun saat itu bertepatan dengan Kampanye Akbar pasangan Capres-Cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Hajatan itu pun diundur 21 April, yang akhirnya ditunda sampai pemberitahuan selanjutnya.
Nah, pekan lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, memberi kabar 5 Mei. "Kan tidak boleh ramai-ramai, rencananya waktu tarawih bersama tanggal 5 Mei di Kementerian BUMN," ujar Rini.

Sumber : Tribunnews
Soft launching LinkAja sudah dilakukan 30 Maret 2019, saat Rini melakukan kunjungan kerja ke daerah. Ia gencar melakukan sosialisasi LinkAja kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) binaan BUMN.
LinkAja merupakan aplikasi sistem pembayaran nontunai yang dikembangkan oleh PT Fintek Karya Nusantara atau Finarya. Aplikasi ini merupakan penyatuan seluruh produk fintech BUMN, yakni T-cash milik Telkomsel, Yap! BNI, e-Cash Bank Mandiri, dan T-bank dari Bank BRI.
Nantinya, LinkAja akan dimiliki delapan BUMN. Telkomsel akan jadi pemegang saham pengendali dengan kepemilikan 25%. Bank Mandiri, BNI, dan BRI masing-masing 20%. Sisanya, Pertamina 7% dan BTN 7%, Jiwasraya dan Danareksa masing-masing 0,5%.

Linkaja. Sumber : MagazineJOb-Like
Aplikasi tersebut terus disempurnakan hingga nanti diluncurkan secara resmi. Sebelumnya, LinkAja yang merupakan dompet elektronik untuk menyimpan saldo harus ditransfer dari bank yang dimiliki pengguna. Namun kini dapat disinkronkan dengan rekening pengguna.
"Dulu waktu soft launching masih seperti wallet biasa, jadi harus transfer, masukkan uang di situ. Sekarang kalau pemakai Link punya akun rekening di BTN, Mandiri, BNI, BRI, itu bisa langsung tersambung," jelas Rini.
Persaingan Kian Sengit
Kehadiran LinkAja sudah pasti akan membuat persaingan di bisnis dompet digital atau virtual bakal kian keras. LinkAja yang basisnya merupakan T-Cash sudah memiliki pengguna sebanyak 30 juta pelanggan dengan transaksi hariannya sebesar 20 juta transaksi.
Dengan jumlah pelanggan Telkomsel yang mencapai 150 juta nomor, tentu saja pengguna aplikasi dompet digital LinkAja akan terus bertambah. Telkomsel punya keunggulan jaringan layanan yang sampai ke pelosok daerah lantaran punya sekitar 35 ribu BTS jaringan 4G. Ditambah jaringan perbankan BUMN dan juga Pertamina, LinkAja benar-benar bisa menjelma menjadi pemain dompet digital kelas wahid.
Selama ini bisnis dompet digital diperebutkan antara Go-Pay dan OVO. Dua pemain dompet digital ini tengah berlomba menjadi yang terbesar, baik dari sisi transaksi maupun jumlah mitra. Keduanya sama-sama menggunakan promosi “gila-gilaan” jika menggunakan pembayaran dengan dompet digital mereka.

Dompet Digital. Sumber : Indonesia.go.id
Sebut saja misalnya untuk layanan transportasi daring, Go-Pay dan OVO sama-sama menawarkan diskon hingga sebesar 50% untuk sekali perjalanan. Jika konsumen menggunakan Go-Jek atau Grab dengan harga Rp20.000, mereka hanya cukup membayar sekitar Rp10.000.
Persaingan diskon tak cuma urusan transportasi, tetapi juga belanja di merchants yang menyematkan logo Go-Pay dan OVO. Sebuah toko baju di ITC Kuningan yang menerapkan pembayaran lewat Go-Pay dan OVO memberikan cash back jika membeli pakaian yang pembayarannya lewat kedua dompet digital tadi.
Tidak hanya Go-Pay, toko pakaian wanita itu juga melayani pembayaran menggunakan OVO. Si penjaga mengatakan pembayaran menggunakan OVO belum sebanyak Go-Pay. Padahal, sampai akhir tahun lalu, OVO pernah memberikan cash back sebesar 5%. Berbeda dengan Go-Pay, cash back yang diberikan OVO sesuai dengan jumlah transaksi yang dilakukan.
Go-Pay Masih Juara
Saat ini, Go-Pay memiliki sebanyak 240 ribu mitra dan 40% di antaranya merupakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Banyaknya UMKM yang dimitrakan lantaran Go-Pay ingin mendekatkan masyarakat dengan pembayaran digital secara komprehensif. “Upaya ini terus kami dorong secara berkelanjutan dengan memberdayakan masyarakat dan pelaku UMKM,” kata Aldi Haryopratomo, Chief Executive Officer (CEO) Go-Pay.

Sumber : Bipol.co
Ditambah dengan jumlah aplikasi Go-Jek aktif yang penggunanya mencapai 22 juta, Go-Pay menjadi pemimpin pasar dompet atau pembayaran digital. Hasil riset yang dilakukan oleh Financial Times, FT Confidential Research Mobile Payment, dan laporan Fintech 2018 dari DailySocial bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa PT Dompet Anak Bangsa (Go-Pay) berada di posisi numero uno.
Riset FT Confidential Research Mobile Payment menyatakan bahwa Go-Pay yang merupakan bagian dari ekosistem Go-Jek memimpin pasar lantaran jumlah penggunanya hampir tiga perempat dari total pengguna uang elektronik. Sementara, laporan Fintech 2018 DailySocial menyebutkan, 79,4% dari 1.419 responden menggunakan Go-Pay.
TechCrunch, sebuah situs yang fokus pada rintisan dan perusahaan TI, merilis statistik Go-Jek pada 2018. Volume transaksi tahunannya mencapai dua miliar pada 2018. Gross Transaction Value (GTV) tahunan mencapai lebih dari US$9miliar atau Rp125 triliun untuk seluruh pasar tempat mereka beroperasi. Dari jumlah tersebut, sebesar US$6,3 miliar atau Rp87 triliun GTV berasal dari Go-Pay dan US$2 miliar (Rp27 triliun) didapat dari Go-Food.
Ke depan, Go-Pay menargetkan agar semakin banyak masyarakat dan UMKM yang menggunakan layanan Go-Pay sehingga semakin cepat akselerasi ekonomi dari bawah. Caranya dengan mengedukasi masyarakat mengenai pembayaran nontunai yang selama ini hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang sudah punya akun bank. “Kami berharap bahwa melalui kemudahan yang kami sediakan ini, para pelaku UMKM bisa naik kelas dengan teknologi digital,” kata Budi Gandasoebrata, Managing Director GO-PAY.
OVO Klaim yang Terluas
OVO yang berdasarkan riset Fintech 2018 DailySocial berada di urutan kedua dengan 58,4% responden tetap mengklaim sebagai platform pembayaran digital.

OVO. Sumber : MagazineJob-Like
Penerimaannya diklaim sebagai yang terluas. OVO mencakup lebih dari 90% pusat perbelanjaan dan lebih dari 500.000 merchants serta hampir 250.000 UMKM. “Kami terus mendorong adopsi transaksi nontunai untuk mendorong peningkatan inklusi keuangan dan menjangkau lebih banyak lagi masyarakat Indonesia,” ujar Harianto Gunawan, Direktur OVO.
Saat ini, OVO tersedia di 115 juta perangkat elektronik dan merupakan dompet elektronik nomor 1 di Indonesia berdasarkan total payments volume. OVO telah hadir di 303 kota dan dalam waktu dekat akan tersedia di 500.000 gerai. Data itu menjadikan OVO satu-satunya platform pembayaran dengan penerimaan terluas di toko-toko ritel luring, termasuk hypermarket, department store, kedai kopi, bioskop, operator parkir, jaringan rumah sakit terkemuka, serta layanan O2O dan pasar elektronik.
Agar bisa bersaing, OVO akan terus membangun ekosistem pembayaran terbuka untuk memastikan konsumen dapat menggunakan aplikasi mereka di berbagai tempat, baik di mal, warung, pasar elektronik, maupun penyedia jasa transportasi daring. “Dompet digital yang hanya dapat digunakan dalam layanan ekosistem tertutup tidak akan mendorong penggunaan dan manfaat skala besar untuk konsumen dan pedagang,” jelas Harianto.
Sepertinya, OVO dan Go-Pay juga punya strategi untuk memenangi persaingan. PT Dompet Anak Bangsa tidak pernah menganggap Go-Pay hanya sekadar platform pembayaran, seperti halnya Go-Jek tidak pernah melihat diri hanya sekadar platform ride-hailing. “Go-pay akan fokus memperkenalkan kemudahan dan menyediakan akses pembayaran nontunai kepada masyarakat seluas-luasnya,” kata Budi.

Sumber : Jalan Tikus
Persaingan sengit antara Go-Pay dan OVO tak lepas dari potensi bisnis pembayaran digital ke depannya. Industri pembayaran nontunai memiliki potensi yang cukup besar untuk digarap. Saat ini, 76% masyarakat Indonesia masih menerima upah secara tunai. Artinya, masih banyak yang belum tersentuh nontunai.
Penggunaan aplikasi yang mudah dan cepat karena bisa lewat ponsel, ditambah lagi tak perlu memiliki rekening bank, membuat pembayaran digital akan semakin menjalar. Ditopang oleh penetrasi ponsel dan industri telekomunikasi yang semakin gencar kian mendukung kemudahan penggunaan dompet digital. Jangan lupa juga jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa.
Jorjorannya OVO dan Go-Pay dalam melancarkan strategi diskon atau bakar uang tentu saja tak lepas dari potensi cuan yang bisa didapat dari bisnis dompet virtual ini. Setidaknya, ada dua sumber pendapatan yang bisa diraih dari perusahaan penyedia pembayaran digital. Pertama adalah fee yang dikenakan kepada merchants yang menerima pembayarannya lewat OVO dan Go-Pay.
Memang belum terungkap berapa persen fee yang dikenakan kepada merchant oleh OVO dan Go-Pay. Namun, kita bisa berkaca kepada Alipay dan WeChat Pay dengan mematok fee sebesar 0,55%, 0,1%, hingga 2% dari setiap transaksi yang dilakukan merchant. Di Indonesia, ada tarif yang bernama Merchant Discount Rate (MDR) yang dikenakan kepada pedagang dan tarifnya diatur oleh BI.
Sumber pendapatan kedua berasal dari pengendapan dana yang tersimpan di kedua dompet digital itu. Duit-duit yang tersimpan itu bisa dimanfaatkan dengan menginvestasikannya ke sejumlah instrumen, seperti deposito ataupun obligasi. Dari situ, mereka akan memperoleh yieldatas duit-duit masyarakat yang tersimpan. Bayangkan jika nilainya mencapai triliunan rupiah.