Ceknricek.com -- Pemilu Presiden sudah kelar. Pentolan partai pendukung pemenang pilpres terus menerus kasak-kusuk mengajukan calon menteri ke Joko Widodo. Kayak berebut rampasan perang saja, mereka berisik menuntut balas budi. Kini, Jokowi mesti melayani tuntutan-tuntutan itu. Repot juga, ya.
Pasangan presiden dan wakil presiden yang dimenangkan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu itu kabarnya sudah mewacanakan komposisi menteri yang bakal disusun. Jokowi kabarnya akan menunjuk 34 menteri. Susunannya, 10% dari pensiunan jenderal, 45% dari profesional, dan 45% dari kader partai. Kabinet yang bakal diumumkan pada bulan Oktober 2019 ini, menurut Jokowi, akan didominasi oleh tokoh muda. Presiden bilang, ia butuh anak muda yang memiliki kemampuan manajerial dan berani mengeksekusi kebijakan.
Setelah itu, belakangan beredar nama beberapa tokoh muda yang diperkirakan bakal direkrut Jokowi. Mereka antara lain adalah anak-anak mantan presiden. Ada Agus Harimurti Yudhoyono (putra Susilo Bambang Yudhoyono), Yenny Wahid (putri KH Abdurahman Wahid), Ilham Habibie (putra Baharuddin Jusuf Habibie), dan Prananda Prabowo (putra Megawati Soekarnoputri).

Sumber: Liputan 6
Nama Grace Natalie (Ketua Partai Solidaritas Indonesia), Nadiem Makarim (CEO Go-jek), Prananda Surya Paloh (putra Surya Paloh), dan Angela Tanoesoedibjo (putri Hary Tanoesoedibjo) juga sudah masuk dalam daftar. Partai-partai politik anggota koalisi sudah mengajukan nama-nama pemuda idaman itu ke Jokowi.

Sumber: Tribun
Beberapa partai secara terang-terangan memang telah meminta jatah menteri ke Jokowi. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, telah menyerahkan 20 nama kader untuk dipilih presiden masuk ke dalam Kabinet Kerja Jilid II. “Terserah beliau," kata Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar Mei lalu. Cak Imin berharap ada 10 kader PKB yang masuk kabinet.
Mimpi PKB ini mendapat respon sinis Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Politisi Nasdem, Taufiqulhadi, mengingatkan partainya kurang berkenan dengan cara PKB yang mengajukan nama menteri sebanyak itu. Pasalnya, jumlah kursi partai Surya Paloh di Parlemen lebih banyak banyak ketimbang partai Muhaimin Iskandar.
"Suara Nasdem kan lebih besar dari PKB di DPR berdasarkan kursi, maka sepantasnya Nasdem mengusulkan 11," ujar Taufiq sambil tertawa Rabu (3/7). Nasdem mengoleksi 59 kursi sedangkan PKB 58 kursi. Maknanya, Nasdem sudah pasti mengajukan calon menteri lebih banyak dari PKB.
Partai Golkar lebih realistis. Sang Beringin meminta jatah lima kursi. Jumlah ini lebih banyak dibanding dengan periode saat ini yang hanya dua. Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, Agung Laksono, mengingatkan Partai Golkar adalah partai dengan kursi kedua terbanyak di DPR RI. "Saya kira wajar kami minta empat atau lima kursi, tak perlu 10 kursi seperti PKB," ujar Agung pada bulan yang sama.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga ingin jatah menteri ditambah karena pada periode pertama hanya mendapat semata wayang: menteri agama. "PPP ingin portofolionya bertambah di pemerintahan mendatang. Kalau portofolionya apa, terserah Pak Presiden nanti," kata Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani.
Lalu, bagaimana dengan PDI Perjuangan? Sebagai pemenang pemilu, Banteng Moncong Putih tampaknya lebih kalem. Banteng tidak perlu ikut gaduh karena sang ketua umum, Megawati Soekarnoputri, adalah pengendali juga. Terserah Mega dan Jokowi mau memasang siapa.
Parpol-parpol anggota Koalisi Indonesia Kerja atau KIK ada sembilan yakni PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, Perindo, Hanura, PSI dan PKPI. Dari Sembilan itu hanya lima yang lolos parliamentary threshold yakni PDIP, Golkar, Nasdem, PKB dan PPP. Persoalannya, lolos nggak lolosparliamentary threshold, partai pendukung tentu punya hak untuk mengajukan kadernya sebagai calon menteri.
Ini belum lagi ketambahan dua partai yang nyebrang dari Koalisi Adil Makmur. Bergabungnya PAN dan Demokrat tentu juga perlu diakomodasi. Kan ada deal-deal khusus soal itu. Mana mungkin PAN dan Demokrat rela masuk koalisi tanpa kursi?
Melayani sebelas partai, bukanlah perkara mudah. Belum lagi tuntutan dari Nahdlatul Ulama (NU) yang terang-terang mengatakan bantuan NU memenangkan Jokowi tidaklah gratis. NU adalah bagian kekuatan yang ikut pengeruk suara di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk memenangkan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Gerindra
Kini, tinggal Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sudah memastikan diri tak akan bergabung dengan koalisi Jokowi. Anggota DPR dari Gerindra, Muhammad Syafri’I, menyebut sikap Gerindra beroposisi sebagai upaya “untuk menegakkan kehormatan demokrasi”.

Gerindra-PKS. Sumber: Potret News
Hanya saja, konon sebelum Gerindra menyatakan diri oposisi pihak Jokowi sudah mencoba mengajak bergabung. Hanya saja syarat yang diajukan Prabowo membuat pihak Jokowi mundur teratur. Kabarnya, Prabowo bisa menerima ajakan koalisi Jokowi asal empat jabatan menteri utama, yakni Kementerian BUMN, Pertanian, Keuangan, dan Pertahanan diserahkan ke Gerindra.
Pada bulan April tahun lalu, ketika ada spekulasi bahwa Jokowi dan Prabowo mungkin bergabung dalam kekuatan politik, Prabowo juga dikabarkan mengajukan tuntutan yang tak mungkin dipenuhi. Tuntutan itu adalah tujuh kursi menteri di kabinet baru, termasuk Kementerian Pertahanan. Tuntutan itu disampaikan Prabowo dalam pertemuannya dengan Luhut Panjaitan.
Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, mengatakan dirinya ragu Gerindra sebagai partai besar mau menerima tawaran koalisi begitu saja. "Saya kenal dan bersahabat dengan Prabowo, saya yakin dia punya pride (harga diri). Urusan apa saya ikut-ikut (koalisi), apa saya serendah itu? Saya ndak yakin (Prabowo dan Gerindra) mau, Apalagi setelah persaingan yang demikian keras dan ketat," tutur Surya kepada detikcom, Senin (8/7).
Stand Up Comedy
Kalangan analis menyarankan Jokowi hendaknya lebih banyak merekrut teknokrat di kabinet. Secara teoretis, banyaknya teknokrat di kabinet akan memungkinkan Jokowi mengubah arah dalam mencapai keseimbangan yang lebih baik antara kebijakan nasionalisnya dan kebutuhan akan investasi asing yang lebih banyak. Ini jika Indonesia ingin tumbuh lebih dari 5% selama lima tahun ke depan.

Sumber: Liputan 6
Jokowi mungkin merasa tak ada beban dalam masa jabatan kedua dan terakhirnya ini. Hanya saja, seperti yang sudah diajarkan pendahulunya, bahwa selalu ada utang politik yang harus dibayar.
Juanda, seorang pakar hukum konstitusi dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) memperingatkan bahwa jika terlalu banyak partai yang bergabung dalam pemerintahan dan terlalu sedikit yang tetap menjadi oposisi, efeknya akan menjadi negatif untuk demokrasi. “Jika hanya ada dua partai oposisi, kekuatan oposisi tidak akan seimbang dan efektif untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah,” ujarnya. “Keberadaan oposisi dibutuhkan untuk mengontrol dan mengawasi seluruh program dan kebijakan pemerintah.”
Jika PAN dan Partai Demokrat mengalihkan dukungan mereka kepada Jokowi, tujuh partai akan membentuk koalisi pemerintah dengan hanya dua partai oposisi. Berdasarkan hasil pemilu legislatif, dukungan partai untuk pemerintah di parlemen meningkat menjadi 78% melawan 22% oposisi.
“Jika sebagian besar partai di parlemen mendukung pemerintah, maka pemerintah jadi memiliki kecenderungan otoritarian,” lanjut Juanda. Ia berharap partai-partai yang mendukung Prabowo akan tetap menjadi oposisi.

Sumber: Merdeka
Sekretaris Jenderal DPP Partai NasDem, Johnny G. Plate, juga menyarankan partai politik pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mengambil peran konstruktif dalam membangun negara tanpa masuk dalam kabinet Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Johnny menyebut kalau semua partai politik mempunyai perwakilan di kursi kabinet maka pemerintahan mendatang akan menjadi 'stand up comedy'. “Ditonton sebagai drama politik yang tidak menyenangkan bagi masyarakat," kata Johnny kepada wartawan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (9/7). Maknanya, sebagai stand up comedy yang tidak lucu, tapi menjengkelkan.