Ceknricek.com -- Upaya tokoh-tokoh Masyumi menduetkan Amien Rais-Yusril Ihza Mahendra menemui jalan buntu, setelah Amien menganggap ibarat baju, format Partai Bulan Bintang terlalu sesak buat dirinya.
Anwar Harjono kecewa berat pada hari itu. Upayanya mendudukkan Amien Rais menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang kandas. Padahal, semula Amien sendiri datang ke rumah Anwar. Mereka bertangis-tangisan menyatakan siap berdampingan dengan Yusril memimpin PBB. Kala itu Yusril tengah berada di Banyuwangi, Jawa Timur.
Yudi Pramuko dalam buku “Sang Bintang Cemerlang” (1999) menceritakan dialog antara Yusril dengan Anwar Harjono, saat Yusril diberitahu tentang upaya para pendiri PBB untuk menyatukan Amien-Yusril.

Anwar Harjono. Sumber: Istimewa
“Saudara Yusril,” ujar Anwar Harjono serius, “Pak Amien Rais sudah datang dan perkembangan sudah mencapai 90%. Alhamdulillah, Pak Amien Rais menjadi Ketua, dan bagaimana kalau Saudara menjadi Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang.”
Tanpa ragu-tagu Yusril menjawab, “Kalau semua orang menerima, Insya Allah saya terima.”
Semua tokoh Islam, dalam pertemuan yang dihadiri beberapa pimpinan organisasi Islam, menyatakan setuju dengan komposisi ideal itu. Ketua umum Amien Rais dan Sekjen Yusril.
Entah apa penyebabnya, beberapa jam kemudian usai salat Jumat di masjid PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya Jakarta, Amien membuat peryataan pers seraya mengatakan dirinya tidak sesuai duduk sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang. Ibarat baju, format PBB terlalu sesak buat dirinya.
Buyarlah rencana Anwar Haryono. Akhirnya, Yusril dipilih atas pertimbangan sebagai tokoh intelektual yang dianggap sangat tenang penampilannya. Sejumlah pendamping dari usia muda dan tua di jajaran DPP Partai Bulan Bintang tak lain atas pertimbangan saling melengkapi agar barisan partai ini menjadi solid.

Yusril Ihza Mahendra. Sumber: Jawapos
Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang kemudian selain menempatkan Yusril sebagai ketua umum, didudukkan pula Hartono Mardjono, Cholil Ridwan, dan K.H. Drs. Anwar Sanusi sebagai wakil ketua umum.
Sementara jajaran para ketuanya, antara lain, Ahmad Sumargono, Abdul Qodir Djaelani, Farid Prawiranegara, dan lain-lain. Praktis seluruh anggota rapat di kediaman Cholil Badawi duduk di jajaran puncak Partai Bulan Bintang.
Sementara sang tuan rumah, Cholil Badawi, yang telah memfasilitasi rapat-rapat embrio pembentukan PBB hanyalah tampil sebagai tokoh deklarator saja bersarna K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i.
Cholil Badawi sebagai murid tokoh Masyumi Prawoto Mangkusasmito itu mengaku sangat mencintai Masyumi sejak masa muda. Ia pernah menjabat Ketua Wilayah Masyumi Jawa Tengah yang berkedudukan di Semarang pada 1950-an. Kala itu ia bermaksud untuk mengantarkan “lahirnya” kembali Masyumi melalui PBB.
Mentor Politik
Kegagalan memadukan kedua tokoh, Amien-Yusril, sebagai “dwitunggal” mengecewakan tokoh-tokoh Masyumi.

Sumber: Ashar/Ceknricek.com
“Memang ada inti perbedaan di antara kami, saya ingin membentuk partai yang berasaskan Islam, sementara Pak Amien Rais ingin membentuk partai yang multiagama, multi-etnis,” ujar Yusril kepada Yudi Pramuko.
“Pak Amien Rais bilang PBB platform-nya kekecilan, ibarat baju sesak dipakai, memang saya katakan bahwa PBB ini partai tertutup, soalnya tidak ada di dunia ini partai yang sesungguhnya terbuka, semua partai itu aliran, kalau tidak ada aliran, orang tak membuat partai,” tambah Yusril mengomentari kegagalan tandem dirinya dengan Amien.
Kedudukan Yusril kemudian dikukuhkan melalui Muktamar I Partai Bulan Bintang di Jakarta, 26 April-1 Mei 2000. Sosok PBB yang baru saja dibentuk dan diketuai Yusril itu boleh disebut sebagai “pewaris Masyumi”. Ini karena sebagaimana diakui oleh Yusril, PBB yang dipimpinnya banyak mengambil inspirasi dari Partai Masyumi di bawah kepemimpinan M. Natsir.
“Memang benar, partai ini mengambil banyak aspirasi dari Masyumi dan kemudian belajar dari pengalaman-pengalaman Masyumi. Masyumi lahir dari ide besar yakni Isilamic modernization. Selama dua belas tahun Pak Natsir saya anggap sebagai mentor politik, dan dari beliaulah saya mengenal para pemikir Islam,” katanya.
Kritik Terhadap Partai Islam
Berdirinya PBB yang berasaskan Islam, serta banyak partai lainnya yang didasarkan pada asas yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) mendapat kritikan dari berbagai kalangan. Para pengkritik itu menolak agama (Islam) dijadikan trade mark partai politik karena hanya akan dipolitisasi semata demi kepentingan politik partai bersangkutan. Ini antara lain kritik dua cendekiawan terkemuka Muslim Indonesia, Nurcholish Madjid, dan Kuntowijoyo.
Nurcholish berpendapat, partai-partai baru yang nanti didirikan tidak boleh mengandung SARA, “Meski dari sisi kebebasan berserikat boleh, sebaiknya tidak mengatasnamakan agama.”
Kuntowijoyo bahkan menulis artikel khusus dalam Republika yang isinya adalah kritik atas pendirian partai-partai baru berasaskan aliran ideologis dan agama tertentu. Akan tetapi para pendukung berdirinya partai Islam pun mempunyai alasan untuk menjadikan Islam sebagai landasan ideologi partai yang mereka bentuk.
Firdaus Syam dan Ahmad Suhaimi dalam buku “Ahmad Sumargono, Dai & Aktivis Pergerakan Islam yang Mengakar di Hati Umat” (2004) menulis tentang alasan yang dikemukakan Ketua KISDI Ahmad Sumargono yang mengatakan, pelarangan penggunaan asas Islam untuk partai yang didirikan tidak lain merupakan bagian dari global depolitisasi Islam.
Catatan Sumargono
Selain cerdas, Sumargono berpendapat Yusril adalah anak muda yang berhasil dalam pendidikan. Lebih dari itu, sebagai ketua umum jika berdebat selalu leading. Ia berpotensi menjadi pemimpin nasional. Jabatannya sebagai menteri baik di masa Gus Dur maupun di era Megawati semata didasari kemampuan yang profesional.

Ahmad Sumargono. Sumber: Istimewa
Ketika terjadi rivalitas antara Habibie dengan Megawati dalam pertarungan perebutan kursi Presiden, Gogon--panggilan akrab Sumargono--menyebutkan kemungkinan calon alternatif, "jika ada yang lebih baik, ya mungkin saja. Yusril bisa, namun selain masih muda, ia juga perlu waktu untuk menghapus citra sebagai orang dalam lingkaran Sekretariat Negara, karena pernah bekerja di sana.”
Mengenai masalah kepemimpinan Yusril di internal PBB, Gogon memberikan beberapa catatan: pertama, sebagai pemimpin puncak partai, Yusril dirasakan kurang “turun ke bawah” mengunjungi para pendukungnya di tingkat akar rumput (grass root level).

Yusril kampanye PBB. Sumber: Jhn.co.id
Padahal, jika hal itu dilakukan akan memiliki pengaruh luar biasa bagi peningkatan dukungan massa terhadap PBB. Kedua dalam masalah kepemimpinan partai ada “kecemburuan” dan persaingan yang tidak sehat yang bersumber dari kepribadian Yusril. Ketiga, ada masalah dengan keinginan Yusril untuk menjadi “orang nomor satu” di Indonesia.
“Saya pernah bilang kepadanya, sebaiknya jangan jadi orang nomor satu dulu, jadilah orang nomor dua di Indonesia untuk masa pemilihan Presiden sekarang. Saya juga mengusulkan agar Susilo Bambang Yudoyono dijadikan partner dalam proses kepemimpinan ke depan dan memasukkan dia ke lingkungan partai,” kata Gogon kepada Tempo, 23 November 1998.
PBB adalah partai yang pertama kali mencalonkan SBY sebagai calon presiden pada 2004. Kala itu, Yusril ingin maju, namun Gogon dan banyak pengurus PBB lainnya keberatan. Yusril masih relatif muda. Menjadi “orang nomor dua” akan berarti Yusril bisa belajar dari pengalaman “orang nomor satu” sambil mematangkan dirinya agar suatu saat kelak siap menjadi “orang nomor satu”.
Pentingnya menarik SBY ke “orbit politik” PBB karena ia selain memiliki leadership yang kuat, berpembawaan tenang, dan cerdas, juga kuatnya dukungan kalangan tentara (TNI) terhadap kepemimpinannya seandainya ia benar-benar menjadi “orang nomor satu” di Indonesia. Dukungan TNI, bagi Gogon, tidak bisa diabaikan mengingat tentara merupakan salah satu kekuatan politik paling riil dalam percaturan politik Indonesia sekarang dan masa akan datang.
Peninggalan Masyumi
Gogon adalah tokoh penting PBB. Pada akhirnya, ia meninggalkan PBB dan bergabung dengan PPP sampai akhir hayatnya (2012). Gogon mengakui dibandingkan partai-partai politik Islam, PBB punya keunggulan. “Kelebihannya pada unsur sentimen Masyumi yang terus terang saja, paling nyata,” ujarnya kepada Majalah Matra edisi April 1999. “Pembangunan wilayah di PBB itu paling sempurna, enggak hanya asal daftar, tiap cabang, ranting, punya kantor, dan itu peninggalan Masyumi. Orang-orang lamanya masih fanatik.”
Selain itu, PBB tidak memperjuangkan orang, tetapi sistem, maka amandemen terhadap UUD 1945 tetap akan diperjuangkan, sebab kuncinya di situ. Kalau tidak, akan tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan.
Kepemimpinan di PBB bersifat kolektif. “Tanpa Yusril Ihza Mahendra, kami tetap akan jalan. Kita lihat, hanya dalam waktu tiga bulan, 25 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PBB telah terbentuk,” ujar Gogon kepada majalah Media Dakwah edisi Rajab 1419/November 1998.

Yusril PBB. Sumber: Tribunnews.com
Sampai pada 1998, agenda perjuangan memasukkan syariat Islam ke dalam konstitusi negara masih menjadi cita-cita PBB. Gogon mengatakan Piagam Jakarta mesti dihargai dan dijunjung tinggi. Mengenai munculnya ketakutan sejumlah kalangan terutama non-Muslim bila syariat Islam ditegakkan, menurutnya, merupakan kekhawatiran yang berlebihan.
Sumargono meyakinkan, kekhawatiran itu tidak beralasan karena Islam sangat toleran dan menghargai perbedaan, termasuk dalam urusan agama. Malah dalam sejarah membuktikan, banyak pemimpin Islam yang sangat demokratis. Mereka tak takut berbeda pendapat, bahkan siap diluruskan jika melakukan kesalahan.
Dalam kiprahnya di PBB, Gogon termasuk anggota, fungsionaris yang aktif sejak partai ini mulai dirintis sampai terjadinya deklarasi pendirian partai. Kehadiran Gogon di Partai turut pemberi warna “wajah” partai. Ia merupakan kombinasi yang saling melengkapi dengan Yusril.
Yusril bertipikal romantis, filosofis, dan artikulatif dalam menyampaikan visi, misi perjuangan partai. Sedangkan Gogon bersifat populis, evokatif-gamblang dalam mengemukakan pendapat, responsif, dan artikulatif untuk membuka komunikasi politik dengan siapa saja. Dalam bahasa politik, mereka berdua dapat menjadi spirit dan “ladang” suara PBB.
Kekecewaan keluarga besar Bulan Bintang sejatinya tak hanya soal kegagalan mereka menyatukan Amien-Yusril. Bahkan tokoh lainnya juga tercerai-berai. Keluarga Bulan Bintang terpecah menjadi sedikitnya 5 partai. PBB yang dipimpin Yusril, Partai Amanat Nasional (PAN) oleh Amien Rais. Lalu tokoh lainnya, Deliar Noer mendirikan Partai Umat Islam (PUI), Abdullah Hehamahua membidani Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, dan Ridwan Saidi Partai Masyumi Baru.

Amien Rais. Sumber: Dok.Net
Dari kelima partai itu hanya PAN dan PBB yang masih bisa bertahan sampai sekarang. Hanya saja, PAN dianggap terlalu terbuka sehingga tidak lagi sebagai partai tempat berlabuhnya keluarga Masyumi. Sementara PBB makin tertatih-tatih. PBB terlalu banyak kehilangan tokoh-tokohnya.