Ceknricek.com--Sejarah Amerika Serikat mencatat bahwa “sampai pada tahun 1798, George Washington, yang sebelumnya berhasil memimpin perjuangan kemerdekaan bersenjata Amerika dari Inggris, juga ikut berjasa dalam membentuk pemerintahan di Amerika, dan sempat mengabdi selama DUA periode (masing-masing periode berlangsung selama empat tahun) sebagai presiden pertama negara itu (1789-1797).
Seorang pengamat Amerika pernah menilai bahwa “sekiranya George Washingotn, sang pahlawan, ingin bukan saja meneruskan jabatannya sebagai presiden selama berkali-kali melainkan juga menyatakan dirinya sebagai Raja (yang biasanya berkuasa sampai akhrir hayat dikandung badan), maka niscaya tidak bakalan ada yang berkeberatan.”
Namun George Washington yang ternyata berjuang tanpa pamrih melainkan karena semata-mata menentang penjajahan oleh Inggris dan cintanya pada Amerika, menolak, karena khawatir akan memberi suri tauladan yang tidak elok kepada bangsanya.
Akan tetapi ketika penerusnya sebagai presiden, John Adams, mengajaknya agar menjadi pimpinan Tentara Amerika dalam bulan Juli 1798, demi membantu Amerika mempersiapkan diri untuk, kemungkinan berhadapan dengan pasukan Prancis, George Washington, dengan berat hati, menerima, karena pada hematnya “tugas demi negara dan bangsa memanggil.”
Setahun kemudian, dalam bulan Juni 1799, Gubernur Negara Bagian Connecticut (AS) Jonathan Trumbull Jr. yang pernah menjadi Menteri Urusan Ketentaraan dalam pemerintah pimpinan George Washington sewaktu Amerika masih melancarkan revolusi untuk merdeka dari Inggris, menulis surat kepadanya untuk mendesaknya agar mencalonkan diri untuk menjadi presiden KETIGA kalinya.
“Pemilihan presiden sudah di ambang pintu,” kata Trumbull Jr. “dan saya yakin sekiranya nama anda kembali masuk dalam bursa pencalonan (untuk kembali menjadi presiden), anda tidak bakalan mengecewakan harapan dan keinginan dari mereka yang Bijak dan Berbudi di setiap negara bagian.”
Gubernur Trumbull Jr. mengaku khawatir bahwa seandainya George Washington tidak berusaha untuk kembali terpilih sebagai presiden, maka ia khawatir “negara akan celaka”.
Namun George Washington yang telah mengabdi sebagai presiden selama dua masa jabatan, mengemukakan sejumlah alasan kenapa ia tidak bersedia. Pertama adalah janji yang pernah disampaikannya untuk tidak mengusahakan “kekuasaan dengan cara tidak adil sebagai seorang pejabat pemerintah dan keinginannya untuk menghindari, sebagaimana ditulisnya kepada Gubernur Jonathan Trumbull Jr. “dituding menyimpan ambisi yang tersembunyi.” Juga dikemukakannya keinginan untuk menjalani hidup sebagai pensiunan, hingga sisa dari hidupnya tidak terganggu.
Ternyata George Washington patuh pada pepatah kita: “Janji ditepati, ikrar dimuliakan” (Janji harus ditepati karena merupakan utang). Janji yang pernah diberikan oleh George Washington dan daya tarik hidup sebagai pensiunan merupakan alasan baginya menolak untuk mempertarungkan masa jabatan ketiga sebagai presiden Amerika Serikat.
Pengamat-pengamat lain mengatakan, alasan lain mengapa George Washington tidak bernafsu untuk “Tiga Periode” adalah karena suasana percaturan politik di Amerika waktu itu sudah sangat buruk, hingga “yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan” demi tujuan politik.
Juga George Washington sangat sadar bahwa segala perilakunya akan menjadi pedoman bagi para presiden di masa mendatang. George Washington khawatir bahwa sekiranya ia sampai meninggal ketika masih menjadi presiden, maka rakyat Amerika akan menganggap jabatan presiden adalah untuk seumur hidup.
Karenanya ia menolak dan sekaligus mewariskan “hanya dua masa jabatan seorang presiden Amerika.”
Ratusan tahun kemudian, Henry Kissinger, lelaki asal Jerman yang dianggap sebagai salah seorang pakar politik di era Presiden Richard Nixon, menyimpulkan bahwa “sesungguhnya kekuasaan itu adalah laksana perangsang seksual (aphrodisiac)”.
Mungkin kalau sekarang bisa disebut Viagra. Tetapi tidak sedikit orang yang cemas dengan kekuasaan karena dapat menggoda untuk korupsi (Lord Acton).
Di zaman khilafah, begitu menurut buku “Heaven On Earth – A Journey Through Sharia Law” (Sadakat Kadri – Vintage Books hal. 38) banyak ulama yang saking takutnya diangkat sebagai qadi (hakim) rela berpura-pura gila atau bahkan dilecut, asalkan terhindar dari jabatan yang harus menentukan “kesalahan atau kebenaran” seseorang yang berperkara.
Jadi tidak semua orang rakus akan kekuasaan.
Konon di Amerika Serikat, ketika masa jabatan 4 tahun pertama Presiden Richard Nixon sudah mencapai batas waktunya, dan pemilihan presiden akan dilangsungkan dua hari kemudian (di Amerika Serikat pilpres diselenggarakan 4 tahun sekali, pada hari Selasa pertama bulan November), seorang pendeta ketika mengakhiri khutbahnya dalam kebhaktiandi Gereja pada hari Minggu sebelum pilpres, mengingatkan jema’atnya agar “Jangan lupa bahwa lusa, pada hari Selasa, adalah hari pemilihan KEMBALI presiden.”
Sang pendeta tidak mau terkesan berpihak dalam politik, jadi dia hanya menggunakan kata “kembali” untuk meyakinkan jemaatnya agar memberi suara untuk Presiden Nixon.
Sungguh bukan satu jalan ke Roma! Allahu a’lam.#
Editor: Ariful Hakim