Ceknricek.com -- Harga berbagai komoditas di pasar global berguguran menyusul merebaknya virus korona atau coronavirus. Harga minyak mentah paling menderita. Batu bara juga jeblok. Harga kopi dan crude palm oil atau CPO longsor. Begitu juga tembaga. Harapan tahun ini ada perbaikan harga komoditas kian menjauh saja. Pasar benar-benar kelam.
Harga minyak di bursa berjangka New York terperosok ke level terendahnya dalam setahun pada perdagangan Senin (3/2). Kabar bahwa konsumsi minyak China merosot sekitar tiga juta barel per hari, atau 20% dari total konsumsi, akibat serangan virus korona menjadi penyebab.
Bloomberg mencatat harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Maret 2020 merosot US$1,45 dan berakhir di level US$50,11 per barel di New York Mercantile Exchange. Minyak WTI bahkan sempat terjungkal hingga ke level US$49,91 per barel pada sesi perdagangan Senin.
Sedangkan harga minyak Brent untuk kontrak April 2020 berakhir anjlok US$2,17 di level US$54,45 per barel di ICE Futures Europe Exchange. Masing-masing minyak acuan tersebut membukukan penurunan lebih dari 20% dari level tertingginya baru-baru ini.
China adalah importir minyak terbesar di dunia, setelah melampaui Amerika Serikat pada tahun 2016. Setiap perubahan konsumsi di China memiliki dampak yang sangat besar pada pasar energi global.
Sumber: Shana
Negeri Tirai Bambu diketahui mengonsumsi sekitar 14 juta barel per hari atau setara dengan kebutuhan gabungan Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, Inggris, Jepang dan Korea Selatan.
Penurunan ini merupakan guncangan permintaan terbesar yang dialami pasar minyak sejak krisis keuangan global tahun 2008 hingga 2009. Efeknya mulai menjalar di seluruh dunia, karena sejumlah kilang China memperlambat atau bahkan menghentikan operasinya dan muatan minyak Afrika Barat dijual kembali.
Pertemuan Darurat
Menghadapi masalah ini, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan aliansinya (OPEC+) sedang mempertimbangkan pertemuan darurat untuk membahas pengurangan produksi minyak mentah sebagai upaya menstabilkan harga.
Para pakar teknis dari koalisi OPEC+ tersebut bertemu di markas OPEC, Wina, pada Selasa (4/2) waktu setempat untuk mengevaluasi dampak penyakit akibat virus korona jenis baru. “Berita tentang permintaan difokuskan pada China dan kita telah menembus level psikologis minyak di masa lalu,” ujar Bill Farren-Price, seorang direktur konsultan di RS Energy Group, seperti dikutip Bloomberg.
Sumber: Sindonews
Baca juga: Dolar di Virus Korona
Hasil penilaian dari para pakar koalisi OPEC+ dapat membantu menentukan apakah aliansi 23 negara, yang memompa sekitar setengah produksi minyak dunia, akan mengadakan pertemuan tingkat menteri darurat pada bulan ini untuk mempertimbangkan pengurangan produksi baru.
Pada bulan lalu, OPEC+ sudah memulai upaya pengurangan produksi, untuk mencegah kelebihan pasokan minyak shale AS. Menurut seorang delegasi, departemen penelitian OPEC di Wina telah menyiapkan sembilan skenario dengan perkiraan berbeda tentang bagaimana virus korona dapat mempengaruhi konsumsi minyak. Pertemuan JTC ini sendiri akan dihadiri oleh delegasi-delegasi di antaranya dari Arab Saudi, Rusia, Aljazair, Irak, Kazakhstan, Kuwait, Nigeria dan Uni Emirat Arab.
Zona Merah
Selain minyak mentah, harga komoditas lain juga kompak bertengger di zona merah sepanjang Januari 2020. Pencapaian yang mengecewakan ini mengubur optimisme pasar yang pada awalnya berharap harga komoditas akan bergerak naik di awal tahun ini.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Januari tahun ini, kinerja terburuk dipimpin oleh minyak mentah, tembaga dan kopi. Ketiga komoditas ini memimpin kejatuhan harga di masing-masing segmen komoditas.
Sepanjang bulan lalu, minyak mentah menjadi komoditas yang paling menderita, didera sentimen ketegangan hubungan AS dengan Iran. Belum lagi, AS malah membanjiri pasokan di pasar saat organisasi negara pengekspor minyak atau OPEC memangkas produksi.
Setali tiga uang, harga batu bara dunia juga turun meski tidak sebesar penurunan harga minyak. Di Bursa Newcastle, harga batu bara untuk kontrak April 2020 turun 4,63 persen. Banderol gas alam juga melorot 13,9% untuk kontrak Maret 2020.
Sumber: Istimewa
Nasib buruk yang menimpa minyak dan batu bara juga mendera harga komoditas logam. Di Bursa London, harga seluruh logam dasar terkoreksi. Penurunan harga dipimpin tembaga (-9,83%), lalu nikel (8,38%), alumunium (4,86%) dan timah (4,66%).
Malang tak bisa ditolak. Pertanian juga terimbas kondisi global. Penurunan harga dipimpin kopi (-20,86%), minyak sawit atau CPO (14,09%) dan karet (9,71%).
Semula, pelaku pasar sempat optimistis harga komoditas akan merangkak naik. Pasalnya, Amerika Serikat dan China telah meneken kesepakatan perdagangan tahap pertama. Mufakat antara dua negara itu sudah dinanti sejak 2018 dan diharapkan menjadi katalis positif terhadap permintaan komoditas.
Sumber: Istimewa
Aksi jual di bursa komoditas juga terjadi bersamaan dengan kejatuhan imbal hasil obligasi AS untuk tenor 10 tahun dalam beberapa perdagangan terakhir. Imbal hasil obligasi AS yang turun sejak 2014 seharusnya bisa menopang penguatan harga karena dolar AS melemah. Walhasil, komoditas yang dibanderol dengan mata uang dolar AS lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.
Analis First Futures Tianjin Chen Tong mengatakan, investor masih enggan berkecimpung di pasar komoditas dan berpaling ke instrumen saham. “Segala sesuatu mulai dari konsumsi hingga logistik mengalami stagnasi dengan 30 provinsi dan wilayah China mengumumkan tingkat darurat kesehatan masyarakat tertinggi akibat virus korona, sehingga pasar pada dasarnya bearish secara menyeluruh,” jelas Chen seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (3/2).
Baca juga: Dahlan Iskan: RS Kilat
Di sisi lain, Bank Sentral China telah berjanji untuk menyediakan likuiditas berlimpah dan mendesak investor untuk mengevaluasi dampak virus korona secara objektif. Bank sentral China pun telah menurunkan suku bunga pada Senin (3/2) karena menyuntikkan dana segar ke dalam sistem keuangan. Walaupun demikian, langkah Bank Sentral China mengguyur likuiditas tak mampu menghalau kekhawatiran investor.
Sumber: Istimewa
Bloomberg Economics memperkirakan, penyebaran virus korona dan bertambahnya jumlah korban jiwa serta masyarakat terjangkit dapat membuat pertumbuhan bisa merosot ke 4,5%. Level pertumbuhan itu merupakan yang terendah sejak 1992.
Mengutip riset Citigroup, dampak jangka pendek dari penyebaran virus korona juga berpotensi membuat minyak Brent mungkin akan turun ke level US$47 per barel. Harga tembaga pun diperkirakan bakal meredup ke level US$5.300 per ton. “Wabah terus memburuk sejauh ini, dan telah secara drastis mengubah prospek ekonomi China dan global. Dengan demikian prospek komoditas pada 2020 secara signifikan juga akan terkoreksi,” tulis Citigroup dalam publikasi risetnya, seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (3/2).
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, juga memprediksi kinerja ekonomi pada kuartal 1-2020 tertekan. Pelemahan ekonomi China akan terlihat pada melemahnya harga-harga komoditas. Kemudian, hal ini bisa berpengaruh pada kinerja ekspor Indonesia yang sebagian besar mengandalkan komoditas batu bara dan CPO.
Sumber: Tempo
“Rasanya kuartal I mungkin akan sangat sulit, dan itu nanti pengaruhnya kepada seluruh dunia, termasuk Indonesia. Mulai dari jalur tourism, harga komoditas dan ekspor secara umum akan terganggu,” kata Menteri Sri.
Pengaruh virus korona jelas dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Produksi pasokan barang dan makanan dari negeri itu bisa menurunkan dan menyebabkan kelangkaan barang. Ujungnya adalah inflasi di Indonesia. Seperti halnya virus korona yang cepat menyebar, pelemahan ekonomi China juga akan merembet ke negara-negara lain.
BACA JUGA: Cek OLAHRAGA, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.