Kartini dan Hippocratic Oath 2.0 | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Kartini dan Hippocratic Oath 2.0

RNI (Rangkaian Ngobrol Imajiner) bersama Gus Dur:

Ceknricek.com--Saat tengah asyik menikmati berbagai acara Hari Kartini, tetiba ada breaking news wafatnya Bapa Paus Fransiskus yang sebelumnya diwartakan membaik kesehatannya setelah dirawat di rumah sakit sejak Februari lalu. Sungguh suatu yang mengejutkan, tidak hanya bagi kaum Katolik yang baru saja merayakan Paska tetapi juga bagi seluruh dunia tatkala mesti kehilangan sosok yang cinta damai dan sempat mengunjungi Indonesia September 2024 sembari menegakkan terowongan silaturahmi dan cinta kasih yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta.

‘’Mas, saya sungguh berduka..satu sahabat saya berpulang di usia 88 tahun di Vatikan sana, sebelumnya kita juga ditinggal salah satu penyanyi pujaan saya Titiek Puspa..aduuuh kita sungguh banyak kehilangan nih. Tetapi sungguh aneh..koq makin banyak terungkap para dokter melakukan kekerasan dan pelecehan seksual ya di saat kita tengah ramai merayakan Hari Kartini? Kondisi miris dan ironis ini mesti kita bedah dengan seksama lhoo Mas, tidak bisa dibiarkan bagai asap berlalu begitu saja dan terlupa," Gus Dur mendadak muncul dan bertutur dalam duka.

Beliau langsung melanjutkan: ‘’Sumpah Hipokrates (Hippocrates Oath) adalah dokumen etika medis tertua yang masih relevan hingga kini, dinamai dari Hippocrates (460–370 SM), 'Bapak Kedokteran' Yunani Kuno, sumpah ini mencerminkan filosofi yang menggabungkan komitmen moral, tanggung jawab profesional, dan hubungan sakral antara dokter dan pasien. Sumpah ini ditulis sekitar abad ke-4–5 SM sebagai bagian dari Corpus Hippocraticum, suatu kumpulan teks medis yang menjadi dasar pengobatan rasional, menandai pergeseran dari pengobatan berbasis takhayul atau ritual magis ke pendekatan empiris dan berbasis prinsip moral.

Sumpah Hippocrates mengandung beberapa pilar filosofis yang menjadi fondasi etika kedokteran modern, diantaranya para dokter bersumpah untuk menghormati guru sebagai 'orang tua', melanjutkan tradisi pewarisan ilmu secara turun-temurun. Ini mencerminkan filosofi bahwa pengetahuan medis adalah amanah yang harus dijaga dan dibagikan secara selektif, ilmu kedokteran dianggap sebagai warisan suci yang harus dipelihara melalui kepatuhan pada prinsip etika.

Selanjutnya adalah pilar filosofis Primum Non Nocere (Pertama, Jangan Merugikan), dimana frasa ini tidak eksplisit dalam teks asli, namun prinsip non-maleficence (tidak menyakiti) muncul dalam larangan memberikan obat mematikan atau melakukan aborsi. Filosofi ini menekankan bahwa tindakan medis harus lebih berfokus pada manfaat (beneficence ) daripada risiko. Pada intinya filosofi-filosofi di atas menekankan bahwa kedokteran harus menggabungkan pengetahuan teknis dengan empati dan kebijaksanaan, dokter adalah pelayan masyarakat, pelayan kemanusiaan, bukan sekadar profesi untuk mencari keuntungan pribadi semata.

Dalam konteks Indonesia, maraknya kasus kekerasan seksual dan pelecehan seksual oleh dokter (yang bertentangan dengan prinsip non-maleficence dan kerahasiaan) menunjukkan keterasingan antara sumpah dan praktik. Tak berlebihan bila dinyatakan dunia medis nasional ternoda aib jumbo, tempat Sumpah Hipokrates kini diubah jadi Sumpah Hipokrit: sumpah tersebut kini direvisi secara diam-diam oleh beberapa dokter Indonesia menjadi bersifat optional untuk menguntungkan diri sendiri atau merugikan pasien yang tergantung padanya, inilah Hippocrates Oath 2.0 versi kekinian.

Bagaimana tidak? Sebuah 'pemeriksaan' oleh dokter melibatkan lebih sedikit stetoskop dan lebih banyak 'sentuhan profesional' demi memenuhi nafsu syahwat mereka. Kementerian Kesehatan kiranya perlu mengeluarkan pengumuman layanan publik: 'Waspada dokter bawa ‘sentuhan profesional’. Toh, tidak ada yang lebih menyembuhkan daripada dokter yang mengira konsultasi itu ajang casting film. Saya jadi teringat, sahabat saya Paus Fransiskus pernah berkata, 'Cinta kasih tidak pernah gagal', namun agaknya di Indonesia, cinta kasih sering gagal bahkan di ruang-ruang yang seharusnya paling steril: rumah sakit, pengadilan, dan hati nurani para pemangku kekuasaan.

Selamat merenung, Indonesia. Sementara para dokter predator ini tetap jadi trending topic yang lebih panas daripada neraka. Seyogyanya Sumpah Hippocrates adalah manifestasi filosofis dari identitas dokter sebagai penyembuh, bukan sekadar teknisi medis. Ia mengajarkan bahwa keahlian medis harus dilandasi integritas, kerendahan hati, dan pengabdian kepada kemanusiaan. Meski zaman berubah, esensi sumpah ini tetap relevan: kedokteran adalah panggilan untuk melayani, bukan memperkaya diri atau menyalahgunakan kekuasaan kompetensi yang dimiliki’’.

Lagi, belum sempat saya mencerna itu semua dan menanggapi, Gus Dur sudah menghilang lagi…

*) Greg Teguh Santoso, pemikir lepas-bebas, doktor di bidang Knowledge Management and Digital Communication



Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait