Ceknricek.com -- Sebagaimana kita ketahui, setiap menjelang pertengahan bulan Februari, tepatnya tanggal 14 Februari, di Barat, terutamanya, dan sekarang ini juga di Indonesia sendiri, disambut dan dirayakan secara tidak resmi sebagai Valentine's Day - yang disebut-sebut sebagai hari untuk memperbaharui kasih sayang antara mereka yang sudah berdua atau "hari bagi yang masih sendirian untuk mencoba menjalin suatu hubungan asmara dengan yang diminatinya."
Sebenarnya, segala kirim-mengirim bunga dan atau hadiah-hadiah lain, khususnya yang berbentuk lambang asmara ini, diatasnamakan pada seorang Santo Kristiani yang diakui masih diliputi kerahasiaan, atau ketidak jelasan asal usul serta jati dirinya.
Yang pasti adalah dalam budaya Barat, bulan Februari memang merupakan masa berkepanjangan penjalinan hubungan yang romantis.
Alhasil, yang namanya Valentine's Day atau Hari Valentinus yang kita kenal sekarang ini merupakan ramuan antara unsur-unsur Kristiani dan tradisi Romawi – pagan alias penyembahan berhala.
Soalnya sekarang, khusus sesudah peristiwa Hari Valentine ini dimanfaatkan oleh dunia bisnis di Barat untuk lagi-lagi meraup keuntungan lewat pesan dan kesan keagamaan, timbul pertanyaan:
Siapa sebenarnya tokoh yang dikenal dengan nama Santo Valentinus, dan bagaimana ia sampai disangkutpautkan dengan ritus kuno ini?
Gereja Katolik mengakui ada 3 santo atau orang suci bernama Valentinus, ketiga-tiganya dikatakan martir, artinya gugur dalam memperjuangkan agama.
Sebuah legenda menyebutkan bahwa Valentinus adalah seorang pendeta yang mengabdi pada gereja dalam abad ke-3 di Roma. Ketika Kaisar Claudius Kedua memutuskan bahwa lelaki bujang yang menjadi tentara niscaya lebih baik dari yang sudah berumah tangga, sang Kaisar melarang pemuda untuk menikah, agar sumber prajuritnya terus banyak.
Pendeta Valentinus menyadari bahwa ini sama sekali tidak adil, dan ia tetap tidak mengindahkan dekrit sang Kaisar dan menjalankan tugasnya sebagai penghulu dan menikahkan para asyik-ma'syuk - atau mereka yang sedang pacaran - secara rahasia.
Ketika perbuatannya ini terungkap, Pendeta Valentinus dihukum mati.
Berkembanglah suatu tradisi yang menghormati seorang pendeta yang berani ingkar kepada kaisarnya demi mewujudkan pernikahan yang menjadi naluri manusia.
Itu adalah salah satu kisah asal-usul Hari Valentine atau Valentinus.
Sidang Jum'at - Rahimakumullah.
Bagi Umat Islam, kasih sayang itu seharusnya setiap waktu 24/7, termasuk antara suami dan isteri.
Metafor yang digunakan dalam Islam untuk melambangkan kasih sayang dan kedekatan dan keakraban suami-isteri itu memang luar biasa, tidak ada tolok bandingnya.
Dalam Kitab Suci Al-Qur'an, Surah Al Baqarah, penggalan ayat 187, Allah (swt) memfirmankan bahwa pasangan suami isteri itu sebagai berikut:
Hunna libaasul lakum; Wa antum Libaasul lahunna.(QS 2:187)
Yang artinya kira-kira:
"Mereka (para isteri) adalah pakaian bagi kamu (para suami); dan kamu (para suami) adalah pakaian bagi mereka (para isteri)."
Subhanallah.
Yang dimaksud "pakaian" di sini adalah kedekatan antara seorang manusia dengan pakaiannya. Tidak ada yang lebih dekat dengan diri kita, kulit kita, dari pada pakaian kita.
Begitulah dengan pasangan kita.
Bagi Ummat Islam, ada contoh kasih sayang sejati yang tidak ada taranya. Lebih hebat lagi adalah kenyataan bahwa yang memprakarsai jalinan kasih sayang itu adalah pihak perempuan. Perempuan inilah yang melamar bakal suaminya itu.
Sang perempuan adalah seorang janda pengusaha kaya raya di zamannya, hampir 15 abad yang lalu. Namanya Khadijah binti Khuwailid. Ia bertempat tinggal di apa yang sekarang disebut oleh Ummat Islam sebagai Tanah Suci, Makkah.
Khadijah adalah salah seorang menak dari keluarga yang disegani di Makkah. Beliau cantik dan konglomerat di zamannya.
Tidak pelak lagi, lelaki mana saja yang berhasil mempersuntingkannya niscaya akan laksana mendapat durian runtuh - menak, disegani dan hartawan.
Tidak mengherankan kalau banyak lelaki di zamannya yang mendambakannya sebagai isteri, namun Khadijah menolak, kendati ia sendiri waktu itu telah menjadi janda.
Tampillah seorang lelaki berusia 25 tahun - juga dari keluarga sangat terpandang di Mekkah - namun yatim-piatu dan hidup hanya berpada-pada.
Untuk memenuhi keperluan hidupnya, lelaki tersebut mengembala domba di bukit-bukit sekitar Mekkah. Biar miskin papa, namun akhlaqnya sama sekali tidak ada cacatnya dan dikenal di seantero negeri sebagai Al Amin - orang yang sangat jujur.
Begitu rupa hingga Al-Qur’an menyebutnya sebagai:
‘Uswatun hasanah” – atau lengkapnya, dalam Surat Al Ahzaab, (33) ayat ke-21:
Laqad kaana lakum fii rasuluulillhi uswatun hasanah;
Li man kaana yarjullaaha wal yaumal aakhira wa dzakarallaaha katsiiraa.
Yang artinya:
“Sungguh pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari kemudian dan banyak mengingat Allah.”
Sifat-sifat inilah yang menarik perhatian perempuan menak, terpandang, cantik dan kaya raya Khadijah. Kebetulan waktu itu Khadijah sedang mencari orang kepercayaan untuk diserahi tugas mengelola usahanya - karena Khadijah sendiri, sebagai seorang perempuan niscaya akan menghadapi banyak kendala kalau berusaha dalam masyarakat yang sangat patriakhat itu.
Begitulah, seorang mantan pengembala yatim-piatu yang tidak punya, bernama Muhammad ibn Abdillah, bergabung sebagai anak buah Khadijah.
Sekembalinya Muhammad ibn Abdillah dari perjalanan bisnisnya yang pertama atas suruhan Khadijah, sang janda kaya dan cantik itu menanyakan kepada salah seorang pembantunya yang ditugasinya mengikuti perjalanan tersebut, mengenai manajer barunya itu - kemampuannya, perilakunya.
Khadijah sungguh terkesan dengan laporan yang didengarnya dari sang pembantu: Muhammad adalah manusia terbaik dan terlemah-lembut yang pernah dikenalnya. Tidak pernah memperlakukan pembantu itu sebagai pesuruh, sebagaimana yang biasanya dilakukan lelaki Quraish (Arab Jahiliah) di zaman itu.
Bukan itu saja, melainkan juga selama perjalanan di gurun pasir yang panasnya bukan alang kepalang itu, tetap saja ada awan yang seakan memayunginya.
Tidak mengherankan kalau pengusaha Khadijah ikut-ikutan terkesan.
Juga manajer baru ini ternyata jitu dalam berbisnis. Barang dagangan majikannya dibawanya ke negeri lain, dijualnya disana dan dengan keuntungan yang diperoleh membeli barang dagangan lain yang kemudian setibanya kembali di Mekkah dijual, juga dengan laba. Dua kali berjualan, dua kali memperoleh keuntungan.
Segala ini ternyata memarakkan kembali rasa kasih dalam kalbu Khadijah yang sejak menjanda sebenarnya telah nyaris padam. Khadijah memutuskan untuk MEMINANG manajernya yang 15 tahun lebih muda dari dirinya.
Khadijah mengutus saudara perempuannya untuk menemui Muhammad dan menanyakan kenapa ia belum juga beristeri.
Muhammad menjawab "Karena belum sanggup."
"Bagaimana," lanjut saudara perempuan Khadijah itu, "apabila saya menawarkan kepada anda seorang perempuan menak, cantik dan hartawan? Ada minat?"
Muhammad menjawab "ya", akan tetapi ketika terungkap bahwa calon yang diajukan itu adalah boss-nya, majikannya, Muhammad terkekeh.
"Mana mungkin?" katanya, dan melanjutkan "bukankah sudah begitu banyak lelaki terpandang dalam masyarakat ini, yang lebih kaya, lebih terkemuka yang telah meminangnya, namun tetap tidak beruntung? Apalah hamba ini, sekadar pengembala miskin."
"Jangan khawatir," kata sang saudara perempuan Khadijah, "tahu beres, aku atur semuanya."
Tidak lama kemudian, perempuan pengusaha kaya raya tersebut menikahi karyawannya yang lebih muda itu, dan itu, kata banyak sejarawan, merupakan awal dari suatu pernikahan yang penuh kasih sayang, rukun damai, bahagia dan bahkan sakral, dalam sejarah.
Ternyata perbedaan usia sama sekali tidak mengganggu; mereka saling menyintai - mereka bersama selama 25 tahun, dikarunai 6 orang anak - 2 putera dan 4 puteri. Semua putera Rasulullah wafat ketika masih kecil.
Khadijah, sang isteri, laksana tiang kukuh yang menunjang misi maha penting yang kemudian diemban Muhammad sebagai Rasulullah (saw)*.
Suatu kali sesudah sang isteri tersayang wafat, Rasulullah menemukan kalung yang pernah menjadi milik Khadijah. Rasulullah diriwayatkan tersedu sedan.
Kata Rasulullah di kemudian hari:
"Ketika tidak ada yang percaya pada kenabianku, Khadijah meyakininya; ketika masyarakat menolak agama baru yang kubawa, Khadijah merangkulnya; ketika aku dirundung kesulitan Khadijah menentramkan dan meyakinkanku."
Bagi banyak pengamat payah dicari tolok banding suatu keluarga sakinah (rukun/damai penuh kasih sayang), seperti yang dilayarkan dalam bahtera rumah tangga antara Muhammad dan Khadijah.
Ternyata Islam sama sekali tidak berkeberatan ketika seorang perempuan meminang seorang lelaki.
Islam begitu "avant garde" sebelum manusia mengenal feminisme.
Rasulullah (saw) menyontohkan kehidupan suami-isteri, sebagaimana yang disebut dalam ajaran Islam, laksana "pakaian", satu sama lain. Maksudnya, dalam diri kita yang terdekat adalah pakaian kita yang bersentuhan langsung dengan kulit yang membalut diri kita. Artinya, suami adalah yang terdekat dengan isteri dan sebaliknya isterilah yang terdekat dengan suaminya, bukan orang lain.
Dalam kedekatan sebagai suami isteri antara Rasulullah dan Khadijah, yang namanya Hari Valentinus itu meliputi mereka setiap hari, setiap sa'at. Bukan kecupan sayang hanya setahun sekali; bukan cumbuan kata-kata manis bagaikan madu hanya setahun sekali, melainkan setiap kali dan setiap hari.
Dalam kaitan kemesraan hubungan suami-isteri Muslim yang sakinah, kita tidak dapat mengabaikan pengumandangan cinta sejati, bahkan setelah jasad dipisahkan oleh ajal - seperti yang tecermin dalam sebuah bangunan di Agra, India, yang kemudian dikategorikan sebagai salah satu dari 8 keajaiban dunia - Taj Mahal.
Taj Mahal atau tugu kasih ini dibangun oleh Kaisar India, Shah Jehan, seorang Muslim yang wafat dalam tahun 1666, sebagai kenangan bagi permaisurinya, Mumtaz Mahal.
Seorang "rapper" Muslim, Native Deen, melantunkan mengenai jalinan kisah penuh kasih sayang sejati antara Nabi Muhammad (saw) dan isteri beliau Khadijah, dengan kata-kata:
"We look for stories of love in places dark and cold - When we have a guiding light for the whole world to behold."
Sementara Romeo and Juliet, pada hakikatnya hanyalah karya sastra semata oleh William Shakespeare.
Dalam bukunya "The 100" penulis Amerika Michael Hart menempatkan Nabi Muhammad (saw) pada peringkat pertama sebagai "manusia yang paling berhasil dalam percaturan agama dan politik".
Ingin kita menambahkan bahwa beliau juga sangat berhasil dalam melayarkan bahtera rumah tangga yang sarat dengan kasih sayang. Wallahu a'lam.
Editor: Ariful Hakim