Hijrah Yes, Parpol Islam No | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Law Justice

Hijrah Yes, Parpol Islam No

Ceknricek.com -- Pada tahun 1970, saat masih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, Nurcholish Madjid mengeluarkan pernyataan yang sangat fenomenal: “Islam yes, partai Islam no”. Pernyataan ini disampaikan menjelang digelarnya pemilihan umum 1971.

Sumber: Tirto

Pada penyelenggaran Pemilu selanjutnya, “Islam yes partai Islam no”, sepertinya sudah mendarah daging bagi mayoritas umat Islam Indonesia. Urusan berpartai, umat Islam Indonesia tidak menjatuhkan pilihan kepada partai politik (parpol) Islam. Akibatnya, pada Pemilu 2019, kondisi paling buruk terjadi: parpol Islam kalah telak.

Sungguh, ini sebuah paradoks. Kondisi terpuruknya parpol Islam justru terjadi pada saat kesalehan muslim Indonesia tengah meningkat. Tanda-tanda itu bisa dirasakan ketika menjelang Pemilu 2019. Terjadi fenomena “hijrah” di tengah masyarakat kita. Hijrah adalah bahasa Arab yang bermakna “migrasi”.

Hijrah, sering digunakan untuk merujuk pada muslim yang ‘dilahirkan kembali’. Mereka yang menjalani transformasi spiritual untuk meninggalkan gaya hidup sekuler, hedonistik, atau berdosa, untuk menjadikan Islam bagian yang lebih besar dari kehidupan mereka. Ringkasnya, berislam secara kafah, atau utuh; tidak setengah-setengah.

Makna teologis hijrah, menurut Muhammad As’ad, telah bergeser ke makna budaya, yang menandai saat seseorang meninggalkan perilaku buruk mereka demi gaya hidup yang lebih baik menurut ajaran Islam.

“Mereka yang memilih untuk hijrah biasanya adalah kaum muda kelas menengah, terutama mahasiswa. Mereka berpendidikan dan secara finansial lebih kaya dari orang-orang di daerah pedesaan, jadi lebih cenderung berhijrah karena telah dipopulerkan online melalui media sosial,” kata dosen Universitas Hasyim Asy’ari di Jawa Timur ini.

Fenomena ini juga direkam Nikkei Asian Review dalam laporannya berjudul “Indonesia election: Has Jokowi lost his touch with millennial voters?”. Media ini mencontohkan sosok perempuan bernama Anna sebagai perahu untuk membawa cerita yang ingin dipaparkan. Anna adalah seorang pekerja kantor berusia 27 tahun di Jakarta. Ia memulai hijrah setelah demonstrasi muslim bertajuk Aksi Bela Islam pada akhir tahun 2016. Aksi ini sukses menjatuhkan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Sumber: Istimewa

“Saya bersimpati dengan Aksi Bela Islam karena ini menunjukkan bagaimana umat Islam di Indonesia bersatu untuk membela agama kami,” terang Anna kepada Nikkei. “Saya memutuskan untuk melakukan hijrah pada Januari 2017.”

Sejak itu, ia telah mengganti rok mininya dengan busana muslim. Ia tak lagi datang ke klub malam, dan menggantinya dengan menghadiri pengajian di masjid. Soal makanan, ia juga sangat berhati-hati. Harus yang bersertifikat halal. Dia pun memindahkan tabungannya dari bank konvensional ke bank syariah.

Sumber: Istimewa

Cerita yang mirip juga diangkat South China Morning Post tentang Andi Mardiansyah, milenial yang telah memilih untuk hijrah. Andi meninggalkan segala hal yang dilarang oleh Islam, menuju kehidupan yang lebih Islami.

Sales IT berusia 34 tahun itu terlihat seperti milenial pada umumnya. Pada hari itu, ia fokus dengan laptopnya di sebuah kedai kopi di Jakarta. Ada alasan khusus mengapa dia berada di kedai kopi itu. Dia telah memutuskan untuk tidak membeli produk Barat, non-muslim, seperti Starbucks. Selain itu, ada juga faktor lain yang membuatnya memilih kedai kopi tersebut.

“Kafe ini tidak menyetel musik,” katanya, menjelaskan bahwa ia menganggap musik itu haram. “Saya tidak ingin nongkrong di mal karena ada musiknya, dan saya lebih suka untuk tidak minum kopi di Starbucks, tetapi bukan berarti saya benar-benar menghindari tempat-tempat itu. Jika ada tempat pilihan lain, saya akan memilih untuk ke tempat lain itu,” ujarnya.

Bergeser ke Makna Budaya

Bagi Andi, perubahan gaya hidupnya setelah hijrah sangat terasa. Dia dulunya adalah anggota band punk saat SMA dan kuliah, menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mabuk-mabukan dengan teman-teman band-nya. “Sebelum tampil kami biasanya minum-minum dulu, bahkan menggunakan narkoba. Sepertinya, dosa yang belum saya lakukan hanyalah membunuh orang,” katanya sambil tertawa. 

Bahkan setelah lulus kuliah dan bekerja, ia masih melanjutkan gaya hidup yang “penuh dosa” dengan menghabiskan waktu luangnya di klub-klub malam. Pada pertengahan tahun 2017, Andi--yang telah memiliki anak usia lima tahun--memutuskan untuk mengubah hidupnya.

Fenomena hijrah semakin meluas dengan banyaknya kajian Islam ataupun tablig akbar, yang dihadiri selebritas Indonesia dan ustaz populer, mengajak orang lain untuk mengikuti teladan mereka. Di antara mereka, ada Ustaz Abdul Somad, yang memiliki lebih dari 10 juta pengikut di YouTube, Instagram, dan Facebook, ada juga mantan presenter MTV Arie Untung, artis Teuku Wisnu, dan Dude Herlino.

Anna dan Andi adalah generasi milenial Indonesia--yang secara luas digambarkan sebagai mereka yang lahir antara awal tahun 1980-an hingga awal tahun 2000-an. Mereka ini memainkan peran sangat besar dalam menentukan hasil Pemilu 2019. Soalnya, menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), milenial mewakili 40% pemilih yang memenuhi syarat, mencakup 80 juta orang.

“Milenial membentuk kelompok usia terbesar di antara para pemilih. Mereka adalah orang-orang yang akan menentukan masa depan Indonesia,” kata Hasanuddin Ali, seorang analis politik dan kepala eksekutif perusahaan riset Alvara Research Center.

Sejatinya, kata hijrah telah diserukan oleh kelompok-kelompok politik Islam seperti Partai Partai Keadilan Sejahtera atau PKS dalam beberapa tahun terakhir. Namun yang mendorong Anna dan Andi serta sebagian besar milenial muslim lainnya untuk hijrah adalah proliferasi konten Islam online, acara televisi, film, dan musik.

Bahkan ada acara realitas berjudul “Hijrah” di Trans TV, yang menceritakan kisah-kisah tokoh masyarakat yang ‘dilahirkan kembali’ sebagai muslim. Bulan November tahun lalu juga puluhan ribu orang menghadiri acara Hijrah Fest, festival hijrah yang diselenggarakan selama tiga hari.

Quinton Temby, seorang peneliti di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura mengatakan, hijrah menarik bagi kaum milenial muslim karena hijrah menjanjikan suatu penebusan. “Cara untuk mendamaikan ketegangan antara bagaimana Anda bisa beriman kepada agama Anda, tetapi juga masih menikmati aspek terbaik dari budaya pemuda global, aspek yang tidak dimiliki dua organisasi muslim utama di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, karena kedua organisasi ini tidak terlalu mahir di dunia online,” katanya.

Quinton Temby ISEAS Yusof Ishak Institue. Sumber: Istimewa

Para milenial muslim melakukan hijrah dengan cara yang berbeda. Perbedaan cara hijrah tergantung pada aliran Islam yang mereka anut. Andi, misalnya, menganut aliran Salaf--aliran Islam yang ketat yang dianggap oleh para penganutnya sebagai yang paling murni.

Andi menganggap musik dan perayaan kelahiran Nabi Muhammad sebagai haram, bahkan dia telah membakar gitar akustiknya. Dia juga menolak untuk meningkatkan keuntungan perusahaan media sosial Barat, meskipun menurutnya situs media sosial Barat juga dapat digunakan untuk tujuan yang sah--menyebarkan dakwah.

“Gerakan hijrah lebih seperti sebuah spektrum, di salah satu sisi, gerakan itu adalah bentuk kebangkitan Islam yang marak di antara kelas menengah dan mahasiswa, dan dilakukan oleh anak-anak muda yang mencari ekspresi iman mereka dengan mendamaikan Islam dan semua jenis budaya anak muda, termasuk musik,” kata Temby. “Di ujung lain dari spektrum itu adalah Salafisme, yang jauh lebih tidak toleran terhadap beberapa aspek budaya kontemporer, terutama musik.”

Politisasi Hijrah

Tren hijrah juga menjangkiti banyak kalangan, termasuk figur publik, bukan hanya kaum milenial. Produk-produk dengan label syariah seperti bank syariah mulai jadi primadona. Selain itu, dahaga masyarakat terhadap majelis-majelis dan pengajian-pengajian juga tengah menanjak.

Hal-hal tersebut sebenarnya bisa menjadi bahan bagi sesuatu yang disebut sebagai marketing morality. Pasar masyarakat Islam seharusnya bisa digarap oleh partai-partai Islam yang memiliki identitas serupa.

Pada kondisi yang ideal, jika partai-partai Islam harus memiliki momentum kebangkitan, boleh jadi sekarang adalah saat yang tepat. Saat ini, sentimen populisme Islam tengah benar-benar menanjak dan kerap mengisi pembicaraan di ruang-ruang publik.

Idealnya, bangkitnya momentum politik Islam itu bisa menjadi keuntungan bagi partai politik Islam atau yang terafiliasi dengan massa Islam. Partai-partai seperti PKB, PKS, PAN, PPP, dan PBB di atas kertas  seharusnya bisa panen suara pada Pemilu 2019. Nyatanya tidak demikian. Partai Islam masih seperti dulu: gagal merebut pemilih muslim.

Sumber: Istimewa

Pada praktiknya, momentum menanjaknya populisme Islam tersebut tidak bisa dengan mudah dikuasai oleh partai-partai Islam. Partai-partai berhaluan sekuler-nasionalis masih merajai perolehan suara Pemilu 2019. Padahal, di atas kertas, partai-partai ini seharusnya tergerus oleh kebangkitan populisme Islam tersebut.

Berdasarkan hasil hitungan akhir KPU, parpol Islam, dan yang berbasis massa Islam hanya mengoleksi 29,05%. Ini adalah angka kecil bahkan terkecil dalam sejarah pemilu di Indonesia. Perolehan angka 29,05% itu adalah dari hasil penjumlahan perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 7,21%, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 4,52%, Partai Bulan Bintang (PBB) 0,79%, Partai Kebangkitan bangsa (PKB) 9,69%, dan Partai Amanat Nasional (PAN) 6,84%. Partai nasionalis justru mengantongi suara signifikan. Total suara partai nasionalis menguasai 70,95%.

Kondisi itu seperti menggambarkan bahwa sentimen populisme Islam bukanlah sesuatu yang bisa dimonopoli satu kubu, termasuk partai Islam. Partai-partai berhaluan nasionalis dalam kadar tertentu tetap bisa bermain dengan sentimen tersebut, sehingga momentum seolah dinikmati semua jenis partai.



Berita Terkait