Ibnu Batutah, Sang Petualang Abadi | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Ilustrasi : Miftah/ceknricek.com 

Ibnu Batutah, Sang Petualang Abadi

Ceknricek.com -- Sebagai seorang traveler, ia memulainya dari Tangier (sekarang Maroko), tempat ia lahir dan dibesarkan untuk pergi haji ke Tanah Suci Makkah. Setelah kurang lebih enam belas bulan perjalanan, sampailah ia di pusat kiblat umat muslim seluruh dunia dan melakukan ibadah pungkas di sana.

Namun, selepas dari Makkah, ia urung pulang ke kampung halamannya. Ia malah meneruskan perjalanan mengunjungi negeri-negeri Dar-al Islam, atau Tanah Muslim dengan mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia; melihat dunia yang lebih luas.

Dialah Ibnu Batutah, seorang pelancong keturunan bangsa Berber yang mengelilingi 44 negara, 3 benua, dengan panjang perjalanan kurang lebih 120.700 km. Ia baru kembali pulang ke kampung halaman dari naik haji setelah 24 tahun kemudian.

Mengelilingi Dunia ala Batutah

Muhammad Abu Abdullah bin Muhammad Al Lawati Al Tanjawi yang kemudian dikenal dengan Ibnu Batutah, lahir di Tangier (kota di sebelah utara Maroko) 24 Februari 1304 M/ 703 H. Ia wafat di kota kelahirannya pada 1377 M/ 779 H. Versi lain mengatakan, Ibnu Batutah wafat di kota Fez atau Casablanca. Namun pendapat yang benar, ia dimakamkan di tanah kelahirannya sebagaimana makamnya terdapat di kota wisata Tanger-Maroko.

Ibnu Batutah berasal dari keturunan bangsa Berber. Besar dalam keluarga yang taat memelihara tradisi Islam. Saat itu, Maroko sedang dikuasai Dinasti Mariniah. Ia dikenal sangat giat mempelajari fiqh dari para ahli yang sebagian besarnya menduduki jabatan Qadhi (hakim). Beliau juga mempelajari sastra dan syair Arab.

Pada usia sekitar 21 tahun 4 bulan, ia menunaikan rukun iman kelima. Perjalanannya menuju ke Baitullah telah membawanya berpetualang dan menjelajahi dunia. Ia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia. Sampai kemudian Ia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi sekitar 44 negara selama kurang lebih 24 tahun untuk kemudian baru pulang ke Tangier.

Ilutrasi sumber: althatsinteresting

‘Rihla’ (Perjalanan) Ibnu Batutah, inilah salah satu buku legendaris yang mengisahkan perjalanan seorang petualang agung itu pada 1325 hingga 1354 M. Sejatinya, Rihlah bukanlah judul buku, tetapi hanya menggambarkan sebuah genre (gaya sastra). Judul asli dari buku yang ditulis Ibnu Batutah itu adalah Tuhfat al-Nuzzhar fi Ghara’ib al-Amshar wa ’Aja’ib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan) ditulis oleh Ibnu Juzay, juru tulis Sultan Maroko, Abu ‘Inan. Karya ini telah menjadi perhatian berbagai kalangan di Eropa sejak diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Perancis, Inggris, dan Jerman.

Buku itu disusun menjadi sebuah perjalanan dunia yang mengagumkan dengan mengaitkan berbagai peristiwa, waktu pengembaraan serta catatan-catatan penting yang berisi berita dan peristiwa yang dialami Ibnu Batutah selama pengembaraannya. Dalam karyanya tersebut, Ibnu Batutah tidak mengumpulkan rujukan atau bahan-bahan dalam menunjang tulisannya, namun, hanya mengisahkan pengalaman atau sejarah empiris negara atau kota-kota yang pernah disinggahinya terutama yang menyangkut kultur setempat. Pencapaian Ibnu Batutah yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Perancis saat menjajah benua Afrika, termasuk Maroko.

Ibn battuta. Sumber: althatsinteresting

Singgah di Samudera Pasai

Ibnu Batutah menghabiskan umurnya untuk berpetualang dari satu negeri ke negeri lainnya dan hampir seluruh dunia telah dijelajahinya, mulai dari Afrika Utara ke Timur Tengah, dari Persia ke India terus ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan India. Kemudian dilanjutkan ke arah Timur Laut menuju daratan China dan ke arah Barat hingga sampai ke Spanyol.

Dalam salah satu petualangannya inilah ia sempat singgah di Samudera Pasai (Aceh), yang pada waktu itu merupakan Kerajaan Islam pertama di Nusantara yang terletak di utara pantai Aceh antara abad ke-13 hingga 15 M. dengan raja pertamanya Sultan Malikussalih (W 1297), yang sekaligus sebagai sultan (pemimpin) pertama negeri itu.

Ibu Batutah dan Sultan Muhammad Ibtaglib. Sumber: Historia

“..Setelah berlayar dua puluh lima hari, kami mencapai Pulau al-Jawa. Itu pulau dari mana kemenyan Jawa mendapatkan namanya. Kami melihat pulau itu dari jarak yang jauhnya setengah hari berlayar. Pohonnya banyak. Itu termasuk kelapa, palem, cengkeh, gaharu, papaya, jeruk manis, dan kapur barus..”  (Nukilan Ibnu Batutah dalam Rihla Ibn Battuta, dikutip dari Historia).

Dalam periwayatannya tersebut, Ibnu Batutah menyebut Pulau Sumatera dengan Jawa. Menurut Ross E. Dunn, sejarawan dari San Diego State University, dalam Petualangan Ibnu Battuta, itu hal yang umum digunakan pada zaman pertengahan. Misalnya, penjelajah Italia, Marco Polo menyebut Sumatera sebagai Jawa yang kecil.

Ibnu Batutah sebenarnya telah mengenal Sumatera sejak masih berada di Calicut, India. Dalam kisahnya, dia bercerita bagaimana hilir mudiknya pedagang dari Sumatera ke kota dagang itu. Ketika akhirnya ia  berkunjung ke Samudra Pasai, Ibnu Batutah bercerita tentang Sultan al-Malik al-Zahir (II) yang ingin memperluas wilayah kekuasaan Islam. "Negaranya merupakan negara yang masuk Islam paling awal di wilayah itu sebagaimana para sejarawan telah sanggup menemukannya," tulis Dunn.

Sang sultan, kata Ibnu Batutah, banyak melakukan perang demi keyakinan agama. Sultan juga dikisahkan selalu ingin berdiskusi tentang masalah keagamaan dengan para ulama. Sultan yang ditemui Ibnu Batutah kemungkinan merupakan keturunan ketiga dari penguasa muslim yang telah ada beberapa tahun sebelum tahun 1297 M.

Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama kurang lebih dua pekan, Ibnu Batutah akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina. Dalam catatan perjalanan Ibnu Batutah tersebut, ia menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.

Ketika akan berlayar pergi dari Samudra Pasai, Ibnu Batutah bercerita kalau Sultan al-Malik al-Zahir memberikan kehormatan kepadanya dengan melengkapi persediaan makanan pada sebuah jung. Sang sultan malahan juga mengirim seorang pejabat istananya untuk memberikan pelayanan yang baik pada acara-acara makan di kapal.

Diabadikan di Dunia

Nama besar dan kehebatan Ibnu Batutah dalam menjelajahi dunia di abad pertengahan waktu itu, hingga kini tetap dikenang. Bukan hanya umat Islam saja yang mengakui kehebatannya, Barat pun mengagumi sosok Ibnu Batutah dan menempatkannya sejajar dengan Marco Polo, Vasco da Gama, kolumbus, dll. Tak heran, karya-karyanya juga disimpan Barat.

Rute perjalanan Ibnu Batutah. Sumber: Pinterest

Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya, International Astronomy Union (IAU) Perancis mengabadikan Ibnu Batutah menjadi nama salah satu kawah bulan. Kawah Ibnu Batutah itu terletak di Barat daya kawah Lindenbergh dan Timur laut kawah bulan terkenal Goclenius. Di sekitar kawah Ibnu Batutah tersebar beberapa formasi kawah hantu.

Selain dijadikan nama kawah di bulan, Ibnu Batutah juga diabadikan dan dikenang masyarakat Dubai lewat sebuah mall atau pusat perbelanjaan bernama Ibnu Batutah Mall. Di sepanjang koridor mal itu dipajangkan hasil penelitian dan penemuan Ibnu Batutah. Sementara itu, di kampung halamannya sendiri, Tanger-Maroko Ibnu Batutah sangat terkenal, namanya  diabadikan sebagai bandara di kota Tangier bernama Ibn Battouta.

Meski petualangan dan pengembaraannya telah berlalu sembilan abad silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga kini tetap dikenang dunia. Selama hidupnya, Ibnu Batutah telah melanglang buana kurang lebih selama 29 tahun dengan mencapai 120.700 km. Ia pun dijuluki sebagai penjelajah terbesar sepanjang masa.



Berita Terkait