Ceknricek.com--Pedoman ini sangat dikenal di kalangan jurnalis. Artinya “Kalau berdarah-darah, jadi berita utama”. Bila media cetak, berita masuk di halaman pertama. Bila media siaran, pasti ditempatkan di segmen pertama. Mengapa para awak redaksi suka meletakkan berita berdarah-darah ke halaman/segmen pertama? Mengikuti selera manusia. Kita, jujur saja, suka melihat berita semacam itu. Kecelakaan, pembunuhan, amuk massa, tawuran, korban tewas, penganiayaan, dll.
Contoh yang terbaru adalah berita George Floyd, lelaki kulit hitam yang tewas terbunuh dalam injakan lutut polisi kulit putih. Berminggu-minggu demo menuntut keadilan dengan semangat “Black Lives Matter” berlangsung di seluruh Amerika Serikat. Bila kita cermati, baik di media arus utama maupun di media sosial, gencar dilaporkan foto dan video kerusuhan. Gerombolan orang marah-marah, merusak property dan kendaraan, bahkan memukuli orang tak bersalah (warga kulit hitam memukuli warga kulit putih yang dijumpai di jalan).
Padahal, ada banyak demo yang berlangsung damai. Di antaranya ada foto para polisi di salah satu kota duduk menekuk lutut di hadapan para pendemo, sebuah gesture yang menunjukkan empati, penyesalan, dan permohonan maaf. Pemuatan atau penanyangan foto ini, dan sejenisnya, minim frekuensinya. Kalah oleh aksi brutal warga yang marah.
Semangat “if it bleeds, it leads” senyawa dengan slogan jadul yang saya tulis sebelumnya: “bad news is good news”. Dalam frame of mind para jurnalis, kekacauan adalah berita bagus. Di Indonesia, era akhir Orde Baru dan awal Reformasi diwarnai berbagai konflik ras dan antar golongan. Tragedi Mei 1998, konflik Maluku 1999, Papua, Aceh, Halmahera, Poso, Sampit (Kalimantan Tengah), semua berdarah-darah. Menurut catatan saya, pers Indonesia cukup menahan diri: tidak ada grafik sadis (foto/video) untuk kabar-kabar kebencian tersebut.
Hanya adegan polisi dikepruk batu dan kayu di dekat universitas di Papua, sampai merayap hingga ajalnya, yang diputar berulang-ulang, berkali-kali dalam sehari, berhari-hari dalam minggu itu. Video berdurasi kurang lebih 4 menit itu berakibat menimbulkan kemarahan keluarga besar kepolisian, dan mungkin keinginan membalas dendam.
Baca Juga :Bad News is Good News Itu Jadul
Tak lama kemudian, polisi menggerebeg asrama mahasiswa dan semua mahasiswa kabur. Kampus sepi selama beberapa minggu. Saya menelepon KPI saat itu, meminta agar KPI mengimbau stasiun TV untuk menghentikan tayangan sadis itu. Seingat saya hanya Liputan 6 SCTV yang tidak turut menayangkannya. Rosiana Sillalahi, Pemred saat itu, menelepon saya dan mengkonfirmasi bahwa mereka tidak menayangkannya.
Di masa damai, mungkin sebuah peristiwa kejahatan atau kecelakaan menjadi berita utama. Namun di masa susah seperti saat ini, kebijakan para praktisi jurnalis sangat diharapkan. Isu Covid-19, misalnya, selain berita keluarga yang merebut jenazah dalam adegan dramatis, perlu juga ditonjolkan berita pasien sembuh dan pulang ke rumah dengan bahagia.
Baca Juga : Pancasila dan PKI (#3)
Berita demo RUU HIP misalnya, visual para demonstran sholat berjamaah tak kalah nilai beritanya dengan demonstran membakar bendera. It’s a matter of choice. Memberitakan adalah sebuah proses pemilihan. Ada banyak fakta di luar sana, tidak semua bisa terliput/tersiar karena keterbatasan halaman dan durasi. Bila jurnalis bisa memilih bakar bendera, sesungguhnya dia juga bisa memilih sholat berjamaan, bukan? What is your choice?
Sirikit Syah, pegiat media watch
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini