Ceknricek.com -- Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) resmi disetujui DPR dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9).
Terkait pro dan kontra poin-poin revisi UU KPK ini, pemerintah melalui Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) memberikan penjelasan.
Berikut penjelasan Kemensetneg tentang poin-poin revisi UU KPK dalam keterangan resminya, Selasa (17/9).
1. Terkait dewan pengawas KPK
Kemensetneg mengklaim dari hasil survei Kompas cetak, 16 September 2019, 64,7 % rakyat setuju KPK dimonitori dewan pengawas, sisanya 30,6 % rakyat tidak setuju, dan 4,7 % tidak tahu.
Menurut Kemensetneg, Presiden Jokowi tidak setuju jika penyadapan KPK diawasi lembaga eksternal seperti pengadilan. Presiden justru sedang menyampaikan (konteks) alasan menyetujui pengawasan oleh lembaga internal seperti dewan pengawas.
Konteks pernyataan presiden tersebut karena wacana izin penyadapan selama ini selalu dikaitkan dengan izin pengadilan. "Kalau lewat pengadilan dianggap waktu persetujuan lebih lama karena lintas institusi dan yang kalau lewat dewan pengawas sesuai dengan yang diatur RUU KPK hanya 1x24 jam," tulis Kemensetneg.
Foto: Ashar/Ceknricek.com
Baca Juga: Pimpinan KPK Terpilih Siap Jalankan Revisi UU KPK
Terkait penyadapan Kemensetneg kembali menjelaskan menyadap pembicaraan manusia adalah penerobosan yang sangat dalam atas privasi manusia. Di sini kepentingan penyidik berhadapan dengan hak setiap manusia atau privasi.
"Di sini perlu diatur mekanismenya, sehingga potensi penyalahgunaan wewenang diminimalisir. Dalam konteks inilah dewan pengawas hadir. Praktek pada umumnya di negara-negara lain, izin lewat pengadilan," kata Kemensetneg.
Menurut Kemensetneg Presiden setuju dengan RUU KPK sekarang yaitu izin hanya lewan dewan pengawas tanpa harus ke pengadilan. Dan izin diberikan 2x6 bulan seperti jangka waktu cegah ke luar negeri (sebelumnya RUU KPK 2x3 bulan).
2. Terkait KPK yang harus dilengkapi SP3
Menurut Kemensetneg survei Kompas cetak, 16 September 2019 menyebutkan 55,5 % rakyat setuju KPK perlu dilengkapi SP3, 35 % tidak setuju, dan 9,5 % tidak tahu.
Kemensetneg mengatakan kita harus membedakan PPNS dan ASN pada umumnya. Presiden Jokowi tidak setuju terkait RUU KPK yang mengatur penyelidik (semuanya) harus berasal dari penyidik polisi, penyidik jaksa, dan PPNS (dengan pengalaman penyidik masing-masing dua tahun).
Foto: Ashar/Ceknricek.com
Baca Juga: KPK Tegaskan Terus Berikhitiar Melawan Korupsi
"Presiden Jokowi inginkan ASN yang direkrut langsung KPK (dari penyelidik KPK) selama memenuhi syarat, tanpa harus berpengalaman sebagai penyidik di instansi lain sebelumnya, tanpa harus menjadi PPNS sebelumnya (Mis. PPNS di Kementerian Perhubungan)," kata Kemensetneg.
Dua hal ini berbeda yang harus dipahami baik oleh sarjana hukum.
3. Terkait UU KPK Direvisi
Menurut Kemensetneg, masih dari survei Kompas cetak, 16 September 2019, 44,9 % rakyat setuju UU KPK direvisi, 39,9 % tidak setuju dan sisanya 15,2 % tidak tahu.
Kemensetneg menjelaskan RUU KPK mengatur LHKPN diadministrasi masing-masing lembaga dan peran KPK sebatas koordinasi dan supervisi.
"Presiden menginginkan LHKPN tetap diadministrasi dan tidak diubah," kata Kemensetneg.
4. Tentang koordinasi penuntutan dengan Kejaksaan Agung
Kemensetneg mengatakan di dalam RUU KPK menghendaki dalam melakukan penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.
"Presiden menghendaki tidak seperti sekarang, tidak boleh berkoordinasi apalagi minta izin ke Kejaksaaan Agung," kata Kemensetneg.
5. Terkait perhentian perkara (SP3/SKPP)
Kemensetneg memastikan presiden menghendaki KPK diberi wewenang (opsi yang bisa digunakan/bisa tidak) untuk menghentikan perkara setelah 2 tahun (RUU KPK menyebut setelah 1 tahun).
Menurut Kemensetneg, berdasarkan alasan empiris, sejumlah tersangka nasibnya digantung karena jadi tersangka lebih dari 4 tahun tanpa kejelasan kelanjutannya. Padahal sejumlah hak keperdataannya, termasuk status sosial signifikan terdampak dengan status tersangka tersebut.
"Selama ini yang mendukung KPK tidak pernah diberi wewenang SP3 dengan alasan akan diperjualbelikan dan sebagainya, tidak mencoba melihat dan memahami pengalaman empiris sejumlah tersangka di KPK yang perkaranya mandek. Mereka masih tersangka (yang perkaranya mandek bukan tersangka biasa) yang juga memiliki HAM," kata Kemensetneg.
BACA JUGA: Cek HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini