Islam Yes, Partai Islam No: Siapa Saja Tokohnya? | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: VOA Indonesia

Islam Yes, Partai Islam No: Siapa Saja Tokohnya?

Ceknricek.com -- Pernyataan “Islam yes, partai Islam no” dipopulerkan Nurcholish Madjid pada 1970-an. Paham politik ini menjadi luar biasa karena ada tokoh-tokoh muslim berpengaruh lainnya yang terlibat. Siapa saja mereka?

==                                                                                                                  

Makalah berjudul, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” itu sangat fenomenal. Dalam makalah ini Nurcholish Madjid atau Cak Nur menuangkan gagasan pemikiran baru Islam. Makalah dibacakannya pada awal 1970-an pada acara silaturahim HMI, GPI, PII dan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia. 

Nurcholish Madjid. Sumber: Madania

Dalam makalah itu Cak Nur mengesankan pemikiran seorang sekularis sehingga memancing kontroversi dan perdebatan. Hanya saja, di sisi lain, banyak pihak justru menerjemahkan dari sinilah gagasan pemikiran baru Islam menemukan bentuknya.

Poin penting yang berkaitan dengan persoalan perpolitikan Islam dari makalah Cak Nur itu adalah refleksi kritisnya terhadap partai Islam. Cak Nur memaparkan tentang meningkatnya orang-orang yang menjalankan Islam setidaknya secara formal setelah penumpasan PKI. Dengan nada bertanya, Nurcholish dalam Kemoderenan dan Keindonesiaan (1989), mengajukan gugatannya: 

“Sampai di manakah mereka tertarik kepada partai-partai/organisasi-organisasi Islam? Kecuali sedikit saja, sudah terang mereka sama sekali tidak tertarik kepada partai-partai/organisasi-organisasi Islam. Sehingga perumusan sikap mereka kira-kira berbunyi: Islam yes, partai Islam, no! Jadi, jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide itu sekarang sedang menjadi absolute memfosil, kehilangan dinamika. Ditambah lagi, partai-partai Islam tidak berhasil membangun image positif dan simpatik, bahkan yang ada ialah image sebaliknya.” (hal 205)

Sumber: imgrum

Lebih lanjut, dalam kesempatan lain, Cak Nur menyarankan agar segera digantikannya kecenderungan ideologi partai-partai politik dan jangan “tenggelam” dengan pola lama. Doktor lulusan Universitas Chicago itu mengritik kecenderungan para tokoh muslim waktu itu sebagai telah “mensakralkan” institusi-institusi profan seperti: partai Islam, ideologi Islam dan gagasan negara Islam.

Dalam kerangka pikir Cak Nur, yang absolut hanyalah Allah semata, sedangkan persoalan negara Islam, partai Islam atau ideologi Islam tidaklah sakral, karena Alquran juga tak memerintahkan pembentukan pranata-pranata semacam itu.

Dalam bingkai premis tersebut kemudian dia menyerukan “Islam Yes, Partai Islam No!” sebuah jargon yang dikemukakan untuk mendorong umat Islam agar mengarahkan komitmen mereka kepada nilai-nilai Islam, bukan kepada institusi-institusi kendatipun memakai nama Islam.

Muhammad Kamal Hassan dalam Modernisasi Indonesia Respon Cendekiawan Muslim (1982) menyebut pandangan Cak Nur yang memilih melakukan pembaruan dengan risiko timbulnya perpecahan umat Islam jelas kontradiktif dengan arus utama yang menyemangati hampir seluruh pemimpin politik Islam yang ingin menggalang solidaritas Islam, di antaranya melalui Kongres Umat Islam Indonesia yang digagalkan rezim Orde Baru. Gagasan lain yang tak kalah kontroversialnya adalah anjuran perlunya sekularisasi dan liberalisasi pandangan terhadap ajaran Islam. 

Sumber: Bukalapak

Refleksi Amien Rais

Amien Rais Muda. Sumber: Brilio

Hanya saja, Aminudin dalam Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto (1999) mengingatkan penolakan Cak Nur terhadap pengikatan mutlak umat terhadap institusi kepartaian Islam haruslah dipahami sebagai penolakan bukan karena Islamnya, tetapi perlu dilihat sebagai ketidaksetujuannya terhadap pemanfaatan Islam oleh mereka yang terlibat dalam kehidupan partai politik Islam. Tingkah laku politik dan pemanfaatan Islam seperti itu pada gilirannya justru menjatuhkan nilai-nilai ajaran Islam sebenarnya.

Rasa tak percaya terhadap efektivitas perjuangan politik umat melalui partai Islam merupakan gejala general di kalangan gerakan “pemikiran baru”. Bahkan Endang Saifuddin Anshari --intelektual yang dekat dengan tokoh Masyumi yang dalam banyak hal berbeda pendapat dengan Cak Nur-- juga menyetujui pandangan itu.

Menurut Endang, tesis “Islam yes, partai Islam no” memang tengah menggejala di kalangan umat. Pernyataan lebih eksplisit yang mengekspresikan pandangan sangat skeptis terhadap “partai Islam” juga ditemukan dalam beberapa tulisan Amien Rais. Dalam sebuah refleksi terhadap dinamika politik Islam Indonesia, dia menyatakan: 

“Terbukti pada basil Pemilu, baik untuk parlemen maupun konstituante 1955, empat partai Islam (Masyumi, NU, PSII dan Perti) hanya berhasil mengumpulkan suara sekitar 42%. Demikian juga dalam Pemilu 1971 (NU, Parmusi, PSII dan Perti), tahun 1977 dan 1982 (PPP) menunjukkan bahwa Partai Islam hanya mampu mencapai sepertiga dari jumlah suara. Bahwa mungkin ketiga Pemilu di zaman “Orba” di sana-sini merupakan “rigged election” merupakan suatu kemungkinan, namun kiranya disepakati bahwa andaikata Pemilu benar-benar luber pun, partai Islam tidak akan dapat menjadi mayoritas.”

Pandangan yang hampir sama, meskipun secara tidak langsung, dinyatakan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Tokoh sentral “pembaruan” dari NU ini ketika melakukan tinjauan kritisnya terhadap posisi gerakan Islam (Islamic Movement) dalam konstelasi Orde Baru menulis:

“Selanjutnya yang perlu kita garap adalah kelompok-kelompok strategis itu. Saya berkali-kali mengatakan bahwa keputusan politik di Indonesia ditentukan oleh tujuh pihak: militer, birokrat, orpol, ormas, profesi, LSM dan pers. Saya kira inilah kelompok-kelompok strategis.”

GusDur. Sumber: Boombastis

Dari ungkapan pemikiran Gus Dur, bisa ditangkap adanya semangat untuk tidak memandang “partai politik” sebagai instrumen politik yang segala-galanya bagi umat Islam. Kalaupun harus melalui jalur “partai Islam” seperti PPP, itu bukan satu-satunya bagi artikulasi politik kaum muslimin,

Dalam banyak hal, tesis-tesis “pemikiran baru” itu juga berusaha melakukan perumusan baru secara lebih ilmiah terhadap dasar-dasar doktrinal Islam yang secara langsung memberi respon terhadap perubahan-perubahan sosio-politik masyarakat agar dapat diterima oleh kalangan elite yang sedang berkuasa.

Dalam bahasa lain, gerakan “pemikiran baru” berusaha memformulasikan konsep pembaruan Islam sedemikian rupa sehingga menjadi suatu rumusan yang mampu menetralkan kekhawatiran militer, dan sementara itu secara perlahan menancapkan akar Islam secara nasional.

Dengan harapan, umat Islam lebih optimal terlibat dalam proses modernisasi dan pembangunan bangsa. Tanpa adanya respon semacam itu, mengembangkan perjuangan umat Islam, secara resisten dan beroposisi, tampaknya hanya akan memperburuk posisi umat Islam secara keseluruhan.

Tentang kecenderungan oposisi politik kelompok Islam, Cak Nur berkomentar, “Dalam satu hal agak disayangkan bahwa orientasi keislaman yang kuat selalu dikaitkan dengan oposisi terhadap pemerintah.”

Hampir senada dengan pernyataan Cak Nur, Gus Dur berpendapat, “Kewajiban hidup bermasyarakat, dan dengan sendirinya hidup bernegara, adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar. Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan".

Sumber: Istimewa

Dalam hal perbedaan penyimpangan, kata Gus Dur, perlu mengambil sikap bijaksana dan tidak mengambil sikap konfrontatif“. Melainkan melakukan perbaikan-perbaikan gradual."

Baik Cak Nur maupun Gus Dur agaknya sama-sama menyadari perlunya umat Islam mengembangkan perubahan keadaan secara gradual dan berusaha menghindari sikap resistensi dengan beroposisi atau berkonfrontasi terus-menerus. Karena, akibat pilihan strategi para pemimpin politik Islam yang menekankan pertarungan ideologi dan petualangan politik yang tak menentu pada awal Orde Baru, menurut Cak Nur, umat Islam tertinggal dalam persaingan dengan kelompok-kelompok masyarakat Indonesia yang lebih modern.

Dalam mencermati Orde Baru, Cak Nur mencatat penampilan yang lebih baik dari kelompok masyarakat China, Kristen dan teknokrat yang berorientasi Barat dalam perusahaan swasta dan negara. Buat apa mengutuk keadaan itu sebagai bukti kebijakan pemerintah yang melawan Islam, Cak Nur menyatakan bahwa kenyataan itu merupakan bagian dari kesalahan masyarakat Islam sendiri. Jika umat Islam terus menghabiskan seluruh energinya dalam inisiatif politik yang bangkrut, mereka hanya akan semakin membawa diri sendiri terpisah dari pusat pengaruh dalam masyarakat Orde Baru.

Depolitisasi dan Deideologisasi

Gagasan-gagasan “pemikiran baru” terutama dari Cak Nur tersebut, jelas berimpit dengan strategi politik negara yang menghendaki depolitisasi dan deideologisasi masyarakat, termasuk umat Islam. Berangkat dari kesejajaran pencapain tujuan itu elit politik Orde Baru merasa berkepentingan untuk mendorong keberhasilan gerakan “pemikiran baru” dengan memberikan beberapa ”hadiah politik".

Pada 1974 Cak Nur dipilih sebagai anggota Majelis Pembina KNPI dengan tokoh-tokoh non-Muslim lainnya. Pada tahun sebelumnya Cak Nur dikirim negara ke negeri-negeri muslim untuk mempelajari organisasi-organisasi pelajar di negeri-negeri muslim. Fachri Ali berpendapat fenomena ini dapat dianggap sebagai titik awal (starting point) keterlibatan kalangan intelektual muda Islam dalam tata politik nasional.

Kenyataan ini menciptakan kesan di kalangan sebagian pemimpin politik Islam, gerakan pemikiran yang dipelopori oleh Cak Nur tak lebih sebagai upaya menarik simpati pemerintah. Akan tetapi keterlibatan Cak Nur yang telah lama di kalangan gerakan politik Islam dan rasa percayanya yang kuat bahwa gebrakan pemikiran yang dilakukannya demi kepentingan jangka panjang umat Islam, Cak Nur tidak mundur dari gagasannya.

Lebih lanjut, kalangan pemikiran baru melihat kenyataan yang membuat mereka terkejut, yakni gejala yang menunjukkan betapa sedikitnya jumlah kelompok teknokrat dan intelektual dari masyarakat Islam.

Padahal mereka yakin bahwa justru kelompok teknokrat ini sangat dibutuhkan oleh pembangunan Orde Baru. Dalam pengertian ini, kemunculan kelompok teknokrat di kalangan Islam akan memberikan kompensasi lain dari keruntuhan politik Islam.

ltulah pula sebabnya, mengapa pentingnya kualitas daripada kuantitas merupakan tema penting dalam kelompok ini, sama pentingnya dengan tema “Islam Yes, Partai Islam No! Suatu tema, atau juga slogan, yang berangkat dari asumsi bahwa pergulatan Islam dalam dunia politik telah menghabiskan potensi intelektual dan teknokrat Islam di masa lalu.

Berdasarkan latar belakang empiris semacam ini mereka mencetuskan gerakan yang sering disebut “pembaruan”. Dengan “pembaruan” ini, kelompok “pemikiran baru” berharap umat Islam Indonesia bisa mengambil bagian dalam merencanakan perubahan-perubahan sosial dan politik serta ekonomi di Indonesia masa Orde Baru.”

Dalam rangka merealisasikan peran lebih besar umat Islam untuk melakukan perubahan-perubahan di tingkat nasional, gaya ekspresi politik kaum muslimin dekade 1970-an yang lebih banyak “bermain di pinggiran” dengan sendirinya perlu ditinjau kembali. Oleh karena itu, gerakan “pemikiran baru” umumnya berpandangan, partisipasi umat mempengaruhi prose: politik akan lebih efektif bila kaum muslimin berada pada struktur negara.

Hanya dengan cara bergabung dengan instituasi politik dan birokrasi yang ada mereka dapat terlibat dalam proses pembuatan kebijakan. Lebih dari itu, proses demikian akan dapat menghilangkan mitos apa yang diistilahkan Kuntowijoyo sebagai “pembangkangan Islam” terhadap birokrasi.

Tentang proses politik kaum muslimin dalam birokrasi dan pemerintahan, Cak Nur menjelaskan:

“Keterlibatan mereka dalam pemerintahan dan birokrasi tidak berarti bahwa mereka mencampakkan semua aspirasi politik yang lama mereka perjuangkan. Malah, sebagian dari mereka mulai melihat jalan-jalan baru untuk mewujudkan aspirasi-aspirasi mereka, dan sebagian dari mereka mendapatkan keuntungan dengan 'bekerja dari dalam'. Sejauh menyangkut Islam, dampak sistematis peranan berkembang intelektual-intelektual santri ialah proses menaik dari lslamisasi lebih lanjut.”

GusDur-CakNur. Sumber: Kompas

Dari petikan pemikiran Cak Nur tersebut, terlihat sekali akan harapannya agar umat Islam memprioritaskan perjuangannya dari dalam tubuh negara (pemerintahan). Di sini lagi-lagi kita menemukan adanya kesejajaran pemikiran dengan Gus Dur, meski dengan ungkapan bahasa yang berbeda. Dalam ulasannya mengenai proyeksi arah yang hendak ditempuh NU dalam konstelasi kenegaraan tokoh sentral pembaharuan organisasi para ulama itu menyatakan:

”Perlu diketahui, sebenamya di negara kita ini sedang terjadi proses Islamisasi besar-besaran. Membuat Indonesia menjadi negara muslim adalah tindakan politik tidak melalui partai politik. Dan ini yang sedang kita upayakan sekarang, sebetulnya. Indonesia bukan negara Islam, cukup negara muslim. lni adalah puncak segala tujuan.

Daripada repot-repot memperjuangkan undang-undang di DPR tidak berhasil, minta subsidi melalui DPR tidak berhasil. Lebih penting lagi, bagaimana caranya putra-putra kiai dan santri ini dapat masuk ke eselon pemerintahan sehingga mereka menjadi eksekutif.

Dengan kata lain, suatu pilihan strategi baru politik Islam apa yang disebut Hefner sebagai “akomodasi berprinsip” perlu segera dilakukan, bilamana perlu memanipulasi sistem politik dari dalam.



Berita Terkait