Ceknricek.com -- Serangan terhadap penembakan Trump pada saat melaksanakan kampanye di Pennsylvania Sabtu lalu (13/7/2024). Hal itu, memberikan "sinyal" terbuka yang mengkhawatirkan akan terjadinya indikasi kekerasan muatan politik dalam agenda pilpres di Amerika 2024.
Fakta itu benar terjadi, ketika penembakan di lokasi kampanye Donald Trump, sesungguhnya merupakan konfirmasi mutakhir kepada publik bahwa betapa atmosfer pemilu dan kekuasaan politik yang berlangsung di negara adidaya itu berjalan begitu "keras". Bahkan, ditandai dengan cara adanya upaya pembunuhan politik pun harus dilakukan. Konklusi ini, hasil penyelidikan oleh aparat keamanan setempat.
Lebih dari itu, seorang jaksa setempat mengatakan tersangka pria bersenjata, setidaknya aksi yang dilakukan itu telah menewaskan satu orang yang hadir di arena kampanye. Dan, selanjutnya dinas rahasia menyatakan dua penonton mengalami luka parah.
Peristiwa berdarah tersebut, dilakukan oleh seorang penembak yang menurut penegak hukum kemudian dibunuh oleh Dinas Rahasia. Percobaan pembunuhan ini, hanya dalam waktu empat bulan dari pemilihan presiden dan beberapa hari sebelum Trump secara resmi diusung sebagai calon dari Partai Republik di konvensi presiden. Pertanyaannya, apakah "jalan terjal" ini Trump bisa melewatinya ?.
Kedua kandidat
Jika sosok keduanya dipersandingkan (Trump dan Biden). Maka keduanya, memiliki pengalaman yang sama pernah menjalankan roda pemerintahan Amerika Serikat ( incumbent). Walaupun, keduanya punya background yang berbeda. Presiden Biden figur yang kental sebagai politisi senior yang telah malang-melintang ranah politik dan dinamika demokrasi Amerika Serikat. Pengalaman panjang karir politiknya di senat , juga ketika terpilih pertama kali sebagai senator, ia tercatat senator tergolong masih muda belia pada masanya.
Tidak hanya itu, bahkan ia juga pernah menjadi wakil presiden Barack Obama dua periode dan kini sebagai petahana. Tentunya, konstelasi ini berbanding terbalik dengan Trump. Meski pernah sebagai Presiden satu periode, akan tetapi sama sekali tidak memiliki latar belakang politik yang mapan dan matang di kancah politik. Prestasi yang tak terbantahkan adalah dikenal sebagai entrepreneur dan popularitasnya di dunia artis.
Namun, stigmatisasi sosoknya yang "kontroversial" sepertinya akan tertolong dengan upaya pembunuhan yang sempat mencederai telinganya. Peristiwa ini, tentu saja lebih memberikan semangat dan harapan bagi pendukungnya untuk melewati "jalan terjal" menuju kemenangan.
Tak dapat dipungkiri, simpati itu spontan mengalir ke Trump dan sebaliknya membuat antipati kepada rivalitasnya yaitu Biden. Yang akhir-akhir ini memang kehilangan "trust" dikalangan kaum muslimin akibat invasi Israel ke Palestina. Bagaimanapun, negara Amerika Serikat dianggap "penyokong" utama persenjataan dibalik serangan ofensif Israel dan pelanggaran Genosida ke warga sipil yang ada di palestina. Karena itu, performa Biden yang makin memburuk akan menjadi blunder bagi Partai Demokrat jika tetap bersikukuh memenangkan Biden di konvensi internal partai.
Sistem kepartaian
Tampaknya partai demokrat haruslah ekstra hati-hati karena hal itu akan menjadi "titik krusial" figur Biden dan sekaligus menjadi celah bagi partai Republik untuk menjadi pemenang.
Seperti diketahui, sistem kepartaian Amerika Serikat menerapkan sistem kepartaian Dwi Partai. Hanya terdapat dua partai yang dominan sekaligus bisa memajukan calon kandidat Presiden di Amerika Serikat, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat. Begitu pun sistem pemilu di Amerika Serikat menggunakan sistem distrik. Dalam sistem pemilu di USA, pilihan rakyat tak mutlak menentukan kemenangan seorang calon Presiden (kandidat). Sebab dalam pelaksanaannya pemilihan calon presiden dan wakil presiden, Amerika Serikat memakai sistem "Electoral College" yaitu dewan pemilih yang akan memilih presiden.
Realitas tersebut bersesuaian dengan konstitusi tahun 1787 yang telah mengalami perubahan sebanyak 27 kali (amandemen) menegaskan: bahwa Amerika Serikat merupakan sebuah negara serikat/federal yang berkedudukan (ibu kota) Washington DC serta mempunyai 50 negara bagian.
Oleh sebab itulah, kondisi riil wilayah Amerika yang begitu luas dengan populasi penduduk yang begitu besar, juga menjadi isu strategis Donald Trump untuk "menjatuhkan" Biden yang nampak usianya sudah uzur. Apalagi dengan stamina fisik Biden yang dianggap sudah "kedodoran" menghadapi aneka ragam masalah ketatanegaraan yang ada di wilayah Amerika Serikat sebagai negara dengan predikat "super power". Tentu semuanya ini, memerlukan dinamika tinggi, sehingga butuh leader yang lebih the perfect.
Dalam konteks itulah, jika tak ada perubahan figur kandidat partai demokrat yang muncul di konvensi, maka akan memperbesar peluang momentum kemenangan Trump. Meskipun tak menafikan berbagai kasus yang dihadapi Trump di Pengadilan, namun tidak akan berdampak terhadap pilpres. Ia akan melewati "jalan terjal" itu dengan baik dan kembali memenangkan pertarungan Pilpres Amerika Serikat (I am back). Wallahu a'lam bishawab. Edit
Jakarta, 17/7/2024
Editor: Ariful Hakim