Ceknricek.com -- “Maka kalau ada yang bertanya apakah Partai Bulan Bintang merupakan penerus Partai Masyumi, dengan tegas saya jawab: Ya.”
Kutipan di atas adalah pernyataan Anwar Harjono, juru bicara terakhir Masyumi, pendiri dan sesepuh PBB. “Partai Bulan Bintang adalah penerus cita-cita perjuangan Masyumi, didirikan dengan niat izzul Islam wal muslimin,” tandas Anwar Harjono sebagaimana dikutip Yudi Pramuko dalam buku Sang Bintang Cemerlang (2000).

Anwar Harjono. Sumber: Istimewa
Selain tokoh Masyumi, Anwar Harjono (1923-1999) adalah salah satu pendiri Gerakan Pemuda Islam Indonesia atau GPII. Ia merupakan alumni Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta dan juga berguru kepada Hasyim Asy'ari di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Gelar doktornya bidang hukum diraih di Universitas Islam Djakarta.
Tidak lama sesudah Presiden Sukarno membubarkan DPR dan membentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR) yang seluruh anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh presiden, Harjono bersama Faqih Usman (Masyumi), Mohamad Roem (Masyumi), K. H. M. Dachlan (Ketua Liga Muslimin), Imron Rosjadi (Ketua GP Ansor), I. J. Kasimo (Partai Katolik), A. M. Tambunan (Parkindo), J. R. Koot (Parkindo), Subadio Sastrosatomo (PSI), Hamid Algadri (PSI), Sugirman (IPKI), Hamara Effendy (IPKI), Dachlan Ibrahim (IPKI), Haji J. C. Princen (IPKI), dan Ir. Abdul Kadir (IPKI) membentuk Liga Demokrasi pada 24 Maret 1960. Liga ini akhirnya dibubarkan Presiden Sukarno.
Pasca pembubaran Partai Masyumi pada September 1960, sebagian besar tokoh dan para aktivisnya, termasuk Anwar Harjono dimasukkan ke penjara. Dia ditangkap pada hari pembukaan Games of the New Emerging Forces (Ganefo), 10 November 1963. Partai Masyumi dibubarkan setelah sejumlah tokohnya dianggap terlibat dalam PRRI.
Ketika masyarakat Jakarta dan sekitarnya berbondong-bondong menuju Istora Senayan untuk menyaksikan upacara pembukaan Ganefo, Harjono digiring ke markas Komando Daerah Angkatan Kepolisian (Komdak, kini Kepolisian Daerah Metro) Jakarta Selatan. Dari Komdak, Harjono dibawa ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jalan Keagungan, Taman Sari, Jakarta Barat.
Harjono dan tokoh dibebaskan begitu Sukarno jatuh dan digantikan Soeharto. Selanjutnya, upaya untuk menghidupkan kembali Masyumi diupayakan tokoh-tokohnya begitu Orde Baru berkuasa. Miftah H. Yusufpati dalam buku Membangun Citra Islam (2007) menulis ada satu pertemuan di Masjid Agung Al Azhar yang dihadiri massa sekitar 50.000 orang menuntut rehabilitasi atas Islam dengan mengizinkan Masyumi sebagai alat perjuangan. Tokoh-tokoh yang hadir kala itu antara lain M. Natsir, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, Sjafruddin Prawiranegara, Asaat, Muhammad Roem dan lainya.

Anwar Harjono dan Mohammad Natsir . Sumber: STIDNATSIR
Sayangnya, tuntutan menghidupkan kembali Masyumi gagal memperoleh persetujuan pemerintah. Pihak Pemerintah memandang bahwa rehabilistasi terhadap partai lama seperti Masyumi akan mendorong insiden yang pernah terjadi dan akan menggagalkan kembali pembangunan nasional.

Membahas pembubaran Partai Masyumi. Sumber: Historia.id
Presiden Soeharto pada 1967 menolak upaya-upaya untuk menghidupkan kembali Masyumi yang menurutnya “belum mengutuk secara resmi” para anggotanya dalam mendukung PRRI.
Tokoh Masyumi, Prawoto Mangkusuwondo, berkirim surat kepada Presiden Soeharto pada 22 Desember 1966 tentang status Masyumi. Abdul Aziz Thaba dalam buku Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (1996) menyebut, Presiden Soeharto menjawab surat itu pada 6 Januari 1967.

Tokoh Masyumi yang bernama Prawoto Mangkusasmito. Sumber: Sindonews.com
“Pada kesempatan ini saya juga ingin secara berterus terang menjelaskan kepada Saudara, ABRI sebagai keseluruhan angkatan maupun keluarga prajurit-prajurit, sungguh-sungguh telah memberikan banyak pengorbanan lahir batin untuk menumpas pemberontakan itu. Saya berharap, Saudara dapat memahami pendirian pemerintah pada umumnya, ABRI pada khususnya, terhadap bekas partai politik Masyumi. Alasan yuridis ketatanegaraan dan psikologis telah membawa ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi.”Begitu isi surat itu.
Jalan Panjang
Partai Bulan Bintang atau PBB lahir pada 17 Juli 1998, namun baru dideklarasikan pada 26 Juli 1998. Deklarasi dilakukan di halaman Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Drs. Firdaus Syam, MA dan Drs. Ahmad Suhelmi dalam buku “Ahmad Sumargono, Dai & Aktivis Pergerakan Islam yang Mengakar di Hati Umat” menulis bahwa tanggal 17 Juli ini dipilih karena merupakan hari lahirnya Partai Masyumi 17 Juli 1947.
Sejarah lahirnya PBB adalah prakarsa sebuah badan yang bernama BKUI (Badan Koordinasi Umat Islam) yang dipimpin Anwar Harjono. Kala itu, Anwar juga menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

Kantor Pusat Masyumi. Sumber: Nusantarakini.com
BKUI merupakan wadah bagi sekitar 22 organisasi massa Islam antara lain Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Forum Ukhuwah Islamiyah (FKUI), Persatuan Islam (Persis), Al Irsyad Al Islamiyah (Al Irsyad), Forum Silaturrahmi Ulama, Habaib dan tokoh masyarakat, Syarikat Islam (SI), Persatuan Umat Islam (PUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Badan Kerja Sama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Muhammadiyah (Diwakili Majelis Hikmah) dan lainnya.
Firdaus dan Ahmad menulis, BKUI lahir dari rapat-rapat di kediaman Anwar Harjono di Jalan Marabahan Jakarta Pusat menyusul tumbangnya rezim Soeharto. Rapat-rapat di kediaman Ketua DDII itu, bukanlah sekadar mengantisipasi pascatumbangnya rezim Soeharto 21 Mei 1998.

Partai Masyumi. Sumber: Muslimedianews
Rapat di kediaman Anwar Harjono merupakan kelanjutan dari rapat-rapat sebelumnya yang diselenggarakan di dua tempat, yakni di kediaman Hartono Mardjono, di kawasan Cipete, Kebayoran Batu Jakarta Selatan dan di rumah tokoh Masyumi Cholil Badawi di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Cholil pada saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang mendiami rumah dinas pejabat tinggi negara. Rapat-rapat di dua tempat inilah sejatinya yang menjadi embrio atau jabang bayi yang kelak menjadi PBB itu.
Rapat-rapat di rumah Hartono Mardjono dan lebih banyak lagi di rumah dinas Cholil Badawi diselenggarakan sejak Juli 1997, saat Indonesia dilanda krisis moneter. Pertemuan itu diikuti belasan orang saja yang merupakan aktivis KISDI dan beberapa eksponen DDII. Hartono Mardjono adalah Wakil Ketua DDII, sedangkan Cholil Badawi Ketua DDII Jakarta Raya.

Rapat PBB Hartono Mardjono. Sumber: Liputan6
Peserta rapat-rapat itu antara lain: Abdul Qodir Djaelani, Ahmad Sumargono, Farid Prawiranegara, K.H. Anwar Sanusi, M.S. Kaban, Aru Syeif Assad, Adian Husaini, Nuim Hidayat, dan Fadli Zon. “Seluruhnya berjumlah sekitar 12 orang saja,” tulis Firdaus dan Ahmad.
Tokoh lainnya yang sekali dua kali ikut hadir pada rapat antara lain, Hussein Umar (Sekjen DDII) dan Abdul Rachman Ghaffar yang saat itu menjabat sebagai Kasdam di Irian Jaya.
Pada masa itu Abdul Racman Ghaffar dikenal sebagai deretan Jenderal TNI yang sangat dekat dengan kalangan Islam, termasuk Prabowo Subianto, Muchdi PR, Kivlan Zein, dan Syafrie Syamsudin. Mayjen Kivlan Zen pun pernah bertamu ke rumah Cholil Badawi. Ia tercatat pernah sekali ikut di dalam pertemuan dan amat mendukung berdirinya Partai Islam.
Rapat-rapat di rumah Cholil Badawi ini sejak awal dimaksudkan untuk merespons situasi mutakhir, ketika kondisi bangsa terancam perpecahan dan kehancuran bahkan terasa bakal terjungkirnya kekuasaan Presiden Soeharto.
Informasi Dari Dapur Istana
Rapat-rapat ini melahirkan berbagai gerakan. KISDI rajin menggelar berbagai tabligh akbar di Masjid Al Azhar. Organisasi ini juga menggalang berbagai demo dan protes terhadap berbagai kalangan yang melecehkan Islam.
Rapat-rapat di rumah Cholil Badawi menjadi sinkron dengan rapat-rapat resmi KISDI yang diselenggarakan di rumah Ketua Umumnya, K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafii di Tebet, Jakarta Selatan.
Walau demikian, fokus pertemuan-pertemuan di kediaman Cholil Badawi itu terus mengkristal di saat demo-demo mahasiswa semakin marak menyusul kemenangan mutlak Golkar pada Pemilu 1997. Rakyat sudah menebak Soeharto akan diangkat kembali pada sidang umum MPR Maret 1998.

Mahasiswa duduki DPR. Sumber: Era.id
Situasi semakin panas tatkala forum rapat mencium dari “dapur” penyusunan kabinet hasil Pemilu 1997. Info yang diperoleh Siti Hardiyanti Rukmana begitu dominan menentukan susunan kabinet. Dua anggota yang rapat yakni Fadli Zon dan Adian Husaini saat itu memiliki akses informasi ke lingkaran satu putri sulung Presiden Soeharto itu.
Informasi penting dan terpercaya ini mengiring rapat-rapat pada kesimpulan bahwa rezim Soeharto niscaya akan tumbang jika memaksakan susunan kabinet seperti itu. Rapat yang telah beberapa bulan menyiapkan terbentuknya partai baru, pada saat itu makin yakin bahwa partai baru Islam yang direncanakan sudah benar-benar tepat untuk segera dideklarasikan.
Sebelum Presiden Soeharto mengumumkan susunan kabinetnya pada awal Maret 1998, forum rapat di kediaman Cholil Badawi semakin intensif diselenggarakan seminggu sekali, bahkan bisa tiga hari sekali digelar karena munculnya peristiwa-peristiwa panas dadakan.
Keluarga Bulan Bintang
Pada waktu itu seluruh peserta rapat sudah bulat bertekad hendak mendirikan partai Islam baru yang merepresentasikan kelanjutan Partai Islam Masyumi. Sampai waktu itu sudah dipilih-pilih nama yang tepat untuk partai baru itu.
Hartono Mardjono misalnya mengusulkan nama Partai Kakbah dengan lambang persis seperti yang pernah digunakan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ada yang mengusulkan kembali nama asli yakni Masyumi, dan ada pula yang mengusulkan nama Bulan Bintang.
Nama terakhir itu dianggap tepat karena sejak Partai Masyumi dilikuidasi oleh rezim Sukarno pada 1960, kalangan keluarga Masyumi yang kemudian berhimpun di dalam wadah DDII sudah sangat lazim menyebut diri sebagai Keluarga Besar Bulan Bintang.

Foto Ilustrasi Partai Masyumi dan Partai Bulan Bintang. Sumber: Istimewa
Acara-acara halal bihalal di lingkungan markas Masyumi yang kini menjadi kantor pusat DDII di Jalan Kramat Raya 45 Jakarta Pusat, juga selalu menyebut diri sebagai acara keluarga besar Bulan Bintang. Karena itu nama Bulan Bintang menjadi pilihan terpenting saat itu. Lambang partai pun persis dibuat seperti lambang Masyumi, yakni Bulan Bintang. Hanya warnanya kini berubah menjadi hijau dan kuning. Dulu lambang Masyumi hitam dan putih.
Tatkala Presiden Soeharto benar-benar mengumumkan susunan kabinetnya persis seperti yang tertulis dalam daftar yang diterima peserta rapat sebelumnya, di antaranya yang paling fatal mencantumkan Tutut sebagai menteri sosial, dan Bob Hasan sebagai menteri perindustrian dan perdagangan, rapat-rapat di rumah Cholil Badawi semakin ditingkatkan volumenya. Dua hari sekali anggota diskusi berkumpul hingga jauh lewat tengah malam.
Mencermati pengumuman anggota kabinet, rapat berkesimpulan bahwa rezim Soeharto benar-benar bakal terguling. Saat itulah diatur bagaimana teknis deklarasi partai baru, mengingat masih berlaku larangan mendirikan partai politik, kecuali tiga yang eksis yaitu Golkar, PDI dan PPP.
Hartono mengusulkan agar untuk sementara didirikan semacam ormas yang merupakan embrio partai politik. Pada saatnya ormas itu akan berubah bentuk menjadi partai Islam yang menampung aspirasi orang-orang Masyumi. Asas yang dipilih pun saat itu asas Pancasila, sekadar mengantisipasi agar memudahkan proses pendirian. Tetapi direncanakan begitu situasi memungkinkan, asas itu harus diganti asas Islam.
Akhirnya, semua itu berakhir. Pemerintahan Presiden Soeharto benar-benar tumbang. Sejarah mencatat Soeharto kemudian menyerahkan kursi kekuasaannya yang telah didudukinya selama lebih 30 tahun itu kepada Wakil Presiden B.J. Habibie, sesuai dengan Undang-Undang 1945.

Soeharto berhenti menjadi presiden. Sumber: Istimewa
Ribuan mahasiswa gabungan berbagai perguruan tinggi di Jakarta yang telah menginap berhari-hari di Gedung DPR-MPR segera menyambutnya dengan sorak-sorai, menari-nari, dan bernyanyi. Keesokan harinya para mahasiswa dari perguruan tinggi Islam dan sebagian besar mahasiswa perguruan tinggi negeri menarik diri meninggalkan Gedung DPR-MPR.
Hanya sebagian lagi menganggap perjuangan belum selesai. Mereka tetap bertahan, bahkan menaikkan spanduk-spanduk kutukan kepada sang Presiden baru, Habibie. Mereka menganggap Habibie sebagai kelanjutan dan sama sebangun dengan Soeharto. Mereka tidak peduli kendati Habibie menggantikan Soeharto telah sesuai konstitusi.

Soeharto berhenti jadi presiden. Sumber: Reuters
Seluruh rapat di kediaman Cholil Badawi yang mengantisipasi perkembangan di DPR-MPR itu segera bergabung dengan berbagai eksponen Islam di kantor Institute Policy Studies pimpinan Fadli Zon di Jalan Suwiryo 6 Menteng Jakarta Pusat.
Reformasi Konstitusi
Rapat pada 21 Mei itu dihadiri pula oleh Ketua Umum KISDI K.H. Abdul Rasyid yang juga dikenal sebagai ulama kharismatis Betawi. Hadir pula berbagai pimpinan ormas Islam seperti PII, GPI, BKPMRI, dan HMI. Kesimpulan rapat, Gedung DPR-MPR harus segera diambil alih.
Malam hari itu juga segera dilakukan koordinasi untuk mengerahkan massa anggotanya. K.H. Abdul Rasyid dan Ahmad Sumargono menjanjikan anggota KISDI dikerahkan seluruh kekuatannya, begitu juga halnya seluruh ormas Islam yang hadir, siap menerjunkan seluruh massa yang dimiliki.
Malam itu dikalkulasi massa yang akan disiapkan “menyerbu” DPR-MPR tak kurang 100 ribu orang sehingga mengimbangi jumlah massa yang akan diusir dari dalam gedung dan halaman DPR-MPR.
Tercatat dalam sejarah keesokan harinya, Jumat, 22 Mei 1998 Gedung MPR-DPR benar-benar diserbu ribuan massa. Dengan teriakan "Allahuakbar” massa gerakan Islam ini mengusir dengan mudah demonstran yang telah bertahan berhari-hari di DPR-MPR. Massa mengenakan ikat kepala bertuliskan “Reformasi konstitusi” sebagai kontra tuntutan massa “revolusi”.
Tampak memimpin “penyerbuan” ini K.H. Abdul Rasyid Abdullah Syafl’i, Ketua Umum KISDI yang juga dikenal sebagai pimpinan Perguruan Islam As-Syafijyah. Tampak juga Sumargono, Ketua Pelaksana Harian KISDI, yang tampil di mimbar Masjid DPR seraya dielu-elukan massa Islam. Ada juga Fadli Zon yang ikut terjun mendampingi massa generasi muda, seluruh demonstran sampai malam harinya berhasil dievakuasi atau “diusir” dari Gedung DPR tak tersisa.
Di era pemerintahan baru Habibie inilah forum rapat di kediaman Cholil Badawi, juga sesekali di kediaman Hartono Mardjono, semakin menemukan ketetapan sikap untuk segera melahirkan partai baru kelanjutan Partai Masyumi di masa silam.
Menurut Firdaus dan Ahmad, Hartono Mardjono yang tampil mengusulkan lambang partai yang direncanakan berupa Kakbah, dan partai pun boleh dinamakan Partai Kiblat. Hartono Mardjono sudah sejak 1997 menyiapkan secara lengkap anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Partai Kiblat itu. Dan ternyata kelak AD-ART Partai Kiblat itulah yang dijadikan AD-ART Partai Bulan Bintang. Tatkala PBB dideklarasikan di halaman Masjid Al Azhar pada 26 Juli 1998, Pidato Anwar Harjono pun disusun seluruhnya oleh Hartono Mardjono.

Ahmad sumargono dan dr anwar haryono pada proses pembentukan partai bulan bintang. Sumber: Bulan Bintang Media - WordPress.com
Sekitar Juni 1998 rapat-rapat di kediaman Cholil Badawi memutuskan agar hasil akhir rapat-rapat estafet di situ--sejak September 1997-]uni 1998-- dibawa dan dikonsultasikan kepada Anwar Harjono. Alasannya ketua DDII ini tatkala Masyumi dibubarkan pada 1960, oleh pimpinan Masyumi saat itu Prawoto Mangkusasmito, telah disepakati dan ditetapkan sebagai juru bicara resmi Masyumi yang diberi wewenang membuat keterangan berkait dengan Masyumi pascapembubarannya.
Dengan dalih inilah kemudian forum rapat dipindahkan ke kediaman Anwar Haryono di Jalan Marabahan Jakarta Pusat.
Kemudian sejarah tercatat sebagaimana sudah diungkapkan banyak pihak, di forum kediaman Anwar Harjono--yang saat itu ia dalam upaya penyembuhan dari sakit stroke--itulah lahir badan yang dinamakan BKUI yakni gabungan 22 ormas Islam yang bertindak mendirikan PBB.
Ide seperti ini seakan mengulang sejarah Masyumi yang merupakan gabungan seluruh elemen dan organisasi Islam di Indonesia.