Ceknricek.com -- “Siapa anak muda ini?” tanya Presiden Soeharto mengarah ke Yusril Ihza Mahendra, suatu ketika. “Dialah yang membuat pidato-pidato Bapak selama ini,” jawab Menteri Sekretaris Negara Moerdiono terus terang. “Lho ini kan orangnya Natsir?” Moerdiono mengangguk, membenarkan penilaian Presiden dan nampaknya kesimpulan telah diperoleh ‘bahwa Yusril adalah orangnya Natsir”

Mohammad-natsir. Sumber: Penaaksi.com
Yusril Ihza Mahendra adalah penulis sekitar 204 naskah pidato Presiden Soeharto yang bekerja selama lebih kurang dua tahun dalam karirnya. Menulis pidato politik memerlukan tingkat kecerdasan yang tinggi, pemahaman yang luas terhadap persoalan-persoalan yang berkembang dan dikaitkan dengan kebijakan serta strategi politik dari seorang Presiden.
Sungai sejarah memang kerap bergerak ke arah yang tidak pernah diduga. Yusril sendiri tidak mengira ia kemudian hari mampu, sedikit atau banyak, ’mengendalikan’ corak pidato Presiden Soeharto.
Firdaus Syam dalam bukunya Perjalanan Hidup Pemikiran dan Tindakan Politik (2004) menceritakan, pada masa tiga tahun terakhir jabatan Presiden Soeharto, Yusril berjuang dengan cara yang halus. Ia berupaya menyusupkan gagasan dan permikirannya agar pidato politik Soeharto memiliki nuansa persahabatan dengan politik Islam. Setidaknya, ia berupaya pidato politik Presiden yang ditulisnya tidak anti-Islam.
Pada detik-detik terakhir di bulan Mei 1998, menurut Firdaus, Yusril bekerja jauh lebih keras dan mendalam. Ia menyusun dan memperbaiki konsep pidato pengunduran Presiden Soeharto. “Setidaknya, pada tingkat tertentu ia berperan dalam ’memuluskan' jalan bagi berhentinya Soeharto dari tahta kepresidenan. Bersama komponen bangsa lain, Yusril ikut aktif mengakhiri sebuah kediktatoran yang berusia lebih dari tiga dasa warsa,” ujarnya.
Asisten Osman Raliby
Yusril lahir di Kampung Lalang, Manggar 5 Februari 1956. Ia anak seorang naib, penghulu yang juga kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di daerahnya pada masa 1960-1970-an. Abahnya bernama Idris. Kata Ihza dalam nama Yusril Ihza Mahendra adalah singkatan dari Idris Haji Zainal Ahmad, merupakan gabungan nama abah dan nama sang kakek.

Foto Yusril,HM Yunan Nasution,Mohammad Natsir dan Osman Raliby. Sumber: Twitter Yusril Ihza Mahendra
Abah Idris adalah simpatisan Partai Masyumi tatkala partai ini masih berjaya. Abah selalu berlangganan harian seperti Pedoman, Abadi, Suluh Marhaen, Panji Masyarakat serta buku-buku yang dikirim dari Kota Medan dan Bandung.
Yusril merantau ke Jakarta dan kuliah di Universitas Indonesia (UI). Dari sinilah ia mulai berkenalan dengan tokoh Masyumi yang dan juga salah seorang pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Osman Raliby. Osman juga dosen Agama Islam di UI.
Pada waktu tingkat tiga, Yusril menjumpai Osman. Ia merasa tertarik dengan kuliah-kuliah Islam yang dibawakan Sang Dosen. Yusril kerap bertanya dan berdiskusi hangat dengan gurunya itu. Kecerdasan Yusril, membuat Osman mengajak Yusril ikut membantu mengajar.
Sejak itulah tali persahabatan antara Yusril dan Osman Raliby terpintal kuat. Osman mengangkat Yusril sebagai asisten pada tahun 1978, satu tahun setelah Yusril mengikuti perkulihan Osman di UI.
Persahabatan itu tidak terbatas dalam hubungan dosen dan asistennya. Melainkan lebih jauh dari itu. Setiap pengajian yang dibawakan Osman Raliby di luar kampus, Yusril senantiasa diajak serta menemani.
Pihak universitas rupanya juga tertarik dengan kepribadian Yusril yang bersemangat maju dalam hidup. Prof. H.M. Rasyidi, Prof. Slamet Imam Santoso dan Prof. Osman Raliby, mempersiapkan Yusril untuk menjadi dosen di Universitas Indonesia.

Yusril. Sumber: winnetnews.com
Apakah Osman Raliby dengan sengaja mengkader Yusril untuk menjadi tokoh dan pewaris Masyumi? “Jawabnya, tidak,” tulis Yudi. Osman Raliby berkata lain. ”Saya berharap suatu saat kamu menjadi Profesor.”
Di mata Yusril, Osman Raliby ini orangnya baik. Semangat mendidik Osman benar-benar pedagogis. Apalagi tahun 1978, Islam, dalam panggung politik sangat ditekan oleh pemerintah. Sehingga Osman Raliby lebih banyak berpikir akademik dan tidak banyak bicara politik. Kepada Yusril, Osman mengajarkan Islam secara akademik, seperti kalam, dan pemikiran Islam modern.
Berkenalan dengan Natsir
Suatu hari Yusril bertanya kepada Osman Raliby. ”Pak, bagaimana kalau saya belajar Islam di IAIN?” Osman Raliby menyambut dengan tertawa. “Tidak perlu,” katanya. ”Kamu bejalar Islam seperti Al Ghazali saja,” lanjutnya. Osman menyarankan Yusril belajar tafsir dan ushul fiqh kepada Ustaz Nurasyik. “Untuk tasawuf, nanti saya carikan guru namanya Abu Bakar Aceh, tapi orangnya agak ’gila-gilaan’,” urai Osman Raliby.
Akhirnya Yusril belajar tafsir, ushul fiqh, dan tasawuf kepada guru yang dicarikan Osman. Soal pelajaran politik, Osman bilang, “Kalau mau belajar politik benar-benar, belajarlah sama Bung Natsir.” Istilah ’Bung Natsir’ kerap dipakai oleh Osman Raliby untuk menunjuk Mohammad Natsir (1908-1992), Perdana Menteri Negara Kesatuan RI tahun 1950.
“Lalu, bagaimana caranya?” tanya Yusril dengan rasa ingin tahu yang besar. Osman lalu mengajak Yusril naik kendaraan roda tiga, Bajaj, menuju Masjid Al Munawarah, di kawasan Tanah Abang I, Jakarta Pusat. Ini terjadi pada tahun 1978.
Di masjid itu Yusril berkenalan dengan M. Natsir, Anwar Harjono, Buchari Tamam, Kahar Mahyuddin dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya yang sejak tahun 1967 mendirikan dan mengorganisasikan diri ke dalam yayasan da’wah, DDII.
Sejak saat itulah Yusril menjadikan M. Natsir (1908-1993) sebagai mentor politik Islam. Bagi Yusril, Natsir adalah guru politiknya yang terbesar. Jika Osman Raliby melempangkan jalan bagi karir akademiknya yang bermula di Universitas Indonesia, maka Natsir melempangkan jalan bagi perjalanan karir politik Islam di tanah air.

M.Natsir dan Yusril. Sumber: Media.Purnawarman.Blogspot.com
Menerima Peniti Emas
Hari bersejarah itu terjadi sekitar Maret 1999, saat Partai Bulan Bintang melakukan musyawarah kerja nasional atau Mukernas. Ida, putri M. Natsir, menyerahkan peniti emas peninggalan sang ayah kepada Yusril. Mohammad Natsir wafat pada 6 Februari 1993.
”Kami keluarga besar Natsir menganggap Yusril layak memegang Peniti Emas, yang berada di tangan Bapak sejak tahun 1955,” ucap Ida M Natsir, saat menyerahkan peniti emas itu kepada orang yang dianggapnya sebagai pelanjut perjuangan Masyumi. “Peniti Emas itu milik keluarga besar Bulan Bintang dan harus diserahkan kepada pelanjut perjuangan Masyumi.”

Mohammad-natsir. Sumber: Istimewa
Peniti Emas tersebut telah menjadi simbol perjuangan Masyumi. Benda ini merupakan pemberian pengurus Masyumi Muam Aman, Bengkulu, kepada Natsir saat Ketum Masyumi ini berkampanye di sana. “Sejak itu peniti dari emas murni tesebut, senantiasa dibawa Bapak dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan Bapak. Setelah Masyumi dibubarkan, benda ini disimpan Bapak sampai akhir hayatnya,” lanjut Ida.
Yudi Pramuko, dalam “Sang Bintang Cemerlang” (2000), menggambarkan penyerahan dan penerimaan Peniti Emas sudah tentu tidak sekadar simbolik sifatnya. Karena Peniti Emas, milik M. Natsir tokoh teras Masyumi yang terkemuka, telah dicitrakan oleh keluarga besar Bulan Bintang sebagai simbol perjuangan politik Islam, dalam hal ini Masyumi, yang kini diteruskan oleh Partai Bulan Bintang.

Partai Masyumi. Sumber: Serbasejarah.com
Dengan diterimanya Peniti Emas itu, menurut Yudi, berarti Yusril tengah memasuki ruang-ruang publik dalam pergulatan sejarah Islam di tanah air, dengan cara meneruskan cita-cita besar Islam yang yang pernah diperjuangkan oleh Masyumi selama 15 tahun sejak awal kemerdekaan Republik ini.
Sebagai Ketua Umum PBB, Yusril tengah diberikan amanah secara langsung oleh umat Islam guna memperjuangkan cita-cita Islam itu melalui PBB di masa kini dan masa mendatang. Peniti Emas bagaikan peneguh hati baginya untuk terus tidak menyerah menyuarakan aspirasi politik Islam di tengah-tengah percaturan aspirasi yang beragam.
Ida sendiri, menurut Yudi Pramuko, menyambut baik kepemimpinan Yusril yang secara langsung dipercaya oleh kalangan tokoh tua Masyumi, yang memang sangat suka dengan Yusril. "Karena itu, kami sendiri tidak kaget mendengar ketika Yusril ditunjuk memimpin PBB. Ketokohannya dan kemampuannya merangkul berbagai kalangan mulai dengan misi dan visi PBB. Insya Allah mampu dia emban,” tambah Ida M. Natsir.