Sketsa Serba-Serbi Sholat Subuh (18)
Ceknricek.com--Salat subuh di masjid mengajarkan kepada kita: kejujuran pada diri sendiri. Kejujuran yang tanpa pretensi. Kejujuran tanpa pengawasan manusia. Kejujuran yang merefleksikan kebenaran.
Betapa tidak. Subuh hari masih dingin. Masih ngantuk pula. Kita harus mengambil wudhu atawa air sembahyang. Meski memakai air panas, rasa malas pun masih belum hilang. Apalagi kalau memakai air biasa yang terasa dingin.
Setelah kita ambil air wudhu, lantaran hari masih subuh, kini sering lantas mau buang air kecil lagi, terutama di bulan puasa. Maklumlah baru selesai sahur. Berarti harus mengambil lagi air wudhu lagi.
Selesai? Belum! Saat kita sudah selesai wudhu, dan mau memakai baju, eh, terkadang tak dapat ditahan, kita buang angin, alias, maaf, kentut.
Konsekuensinya, kita harus mengulang kembali mengambil wudhu. Terkadang, setelah membuang angin pertama, di bulan puasa, kita sering kembali kentut.
Wah, repot juga ya? Kita wajib mengulang berwudhu.
Disinilah dibutuhkan kejujuran sejati. Kita batal wudhu, tidak ada yang tahu. Kalau kita langsung salat, tidak ada yang komplain. Tidak ada yang protes. Tidak ada yang marah.
Juga tak ada sanksi dari sesama manusia. Jika kita tetap berangkat salat subuh di masjid, sesama jamaah tetap memperlakukan kita seperti biasa. Tak ada yang mencela atau mengucilkan kita, karena memang tak ada yang paham. Kendati begitu, toh, kita tetap mengulang kembali seluruh prosesi mengambil air wudhu.
Kenapa? Ini lantaran kita merasa harus jujur. Jujur terhadap diri sendiri. Jujur terhadap kebenaran fakta. Jujur sebagai sebuah pola pikir dan pola sikap yang berasal dari budi luhur diri sendiri , bukan jujur agar dianggap baik oleh sesama manusia.
Sebuah kejujuran yang hanya merefleksikan kebenaran. Kejujuran yang sejati. Sebuah kejujuran yang justeru menghormati Allah. Jika kita jujur kepada diri sendiri, berarti kita bakalan jujur pula kepada Allah. Itulah jujurnya kejujuran.
Dari sinilah kita paham, salat subuh di masjid memiliki banyak dimensi. Salat subuh selain merupakan perwujudan ketaatan kita kepada Allah, juga mengajarkan dan membentuk berbagai dimensi : disiplin waktu dan membangun kejujuran pribadi. Kejujuran sebagai sebuah nilai mulia. Kejujuran yang lahir dari sanubari dan bukan kejujuran yang merupakan tuntutan dari masyarakat. Kejujuran yang paling tinggi.
Sepanjang kita masih mampu, tak peduli berapa kali kita batal wudhu jelang sholat subuh di masjid, sebanyak itu pula kita perlu mengulanginya kembali sampai wudhu sempurna. Kejujuran yang membimbing dan menuntun kita. Konsepsi inilah yang kemudian melahirkan inspirasi kepada hamba ini untuk menulis sebuah puisi sebagai berikut:
KEBENARAN TANPA SAKSI
Ini kali keempat mengulang wudhu
dalam waktu rentang sekejap
di sebuah dingin yang sama.
Membersihkan telapak dan jari-jari tangan
dilanjutkan dengan berkumur
selesai sempurna yang pertama
tiba-tiba buang air kecil
lalu wudhu diulang dari awal.
Rampung yang kedua
langsung disambut buang angin yang ketiga.
Jika yang keempat
masih batal lagi
haruskah jujur, senantiasa mengulang dari awal.
Bukakah hanya diri sendiri yang paham
Bukankah tidak ada orang lain yang mengetahui
Bukankah Tuhan juga Maha Pemurah, Pengasih dan Penyayang?
Ada kebenaran yang tidak perlu saksi
terletak di nurani.
Meski tak ada mata memandang
meski tidak ada cemooh dari manusia manapun
Kebenaran sejati
hadir dalam hati
yang bersih.
Wudhu sampai kapanpun
tetap barus sempurna
Kendati cuma diri pribadi yang tahu keabsahanya.
Kebenaran kesempurnaan wudhu tak butuh pengakuan
juga tak perlu bukti dukungan
atau saksi penjelas.
Kebenaran kesempurnaan wudhu
Pertanggungjawaban nurani
dari seorang hamba
kepada Allah.
Jakarta, 9 Juni 2020, (Dikutip dari buku kumpulan puisi Religi “Mata Burung Gagak Gitaris Rock,” karya Wina Armada Sukardi). T a b i k.*
Bersambung……
WINA ARMADA SUKARDI, wartawan dan advokat senior serta Dewan Pakar, Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan reportase/opini pribadi.