Dua Kasus Hukum yang Belum Tuntas Sepanjang Zaman | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Sumber: Istimewa

Dua Kasus Hukum yang Belum Tuntas Sepanjang Zaman

Ceknricek.com--Salah satu jabatan yang secara teoritis adalah paling berat tidak ayal lagi adalah jabatan sebagai hakim. Seorang hakim dituntut agar menentukan salah-tidaknya seseorang; benar-tidaknya sesuatu perkara.

Tindakan atau putusan hakim itu sendiri harus dipertanggungjawabkannya bukan saja pada masyarakat yang akan menjadi penilai, melainkan juga pada hati nuraninya dan tentu saja bagi yang percaya agama, terutama agama Islam, kepada Tuhan.

Cukup menarik adalah kenyataan bahwa di pintu gerbang Fakultas Hukum perguruan tinggi pertama di Amerika Serikat, Universitas Harvard, terpampang kutipan dari kitab suci Umat Islam, Al Qur’an, Surah An-Nisaa (IV) ayat ke:135, yang artinya:

*Hai orang-orang yang beriman,

Jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan,

Menjadi saksi (dalam menegakkan keadilan) karena Allah,

Walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu;

Jika dia kaya atau miskin,

Maka Allah lebih utama (tahu) atas (kemaslahatan) keduanya.

Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu sehingga kamu tidak berlaku adil.

Dan jika kamu memutarbalikkan keadilan atau menolak menjadi saksi maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.* (Al Quran Terjemah Indonesia karya TNI Angkatan Darat cetakan ke xx).

Begitu beratnya tugas seorang hakim hingga pernah diriwayatkan bahwa di zaman Khilafah Islamiah, ada ulama yang ketika mengetahui bahwa dirinya akan ditugaskan untuk menjadi hakim, tidak segan-segan untuk menusuk biji matanya dengan jarum hingga cacat atau bahkan buta, agar dinilai tidak memenuhi persyaratan kesehatan jasmani (karena salah satu biji matanya sudah cacat atau buta).

Menarik adalah kenyataan bahwa di gerbang Mahkamah Konstitusi di Jakarta pun terpampang kutipan dari Surah An-Nisaa ayat ke:135 itu, sebagaimana halnya dengan di Universitas Harvard.

Memang dalam ajaran agama Islam soal keadilan begitu diutamakan, hingga tidak sedikit ayat-ayat yang menyuruh berbuat adil, antaranya penggalan ayat ke:58 juga dalam Surah An-Nisaa yang artinya:

Dan apabila kamu menghukum di antara manusia hendaklah kamu menghukum dengan adil. Didalam ayat itu jelas disebut “di antara manusia” – jadi bukan hanya di kalangan orang atau bangsa tertentu.

Ada riwayat yang menuturkan tentang kasus pertikaian antara Khalifah ke-IV Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Nabi Muhammad (saw), yang menuduh seorang Yahudi mencuri pakaian perangnya.

Pendakwa (Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang nota bene adalah kepala pemerintahan waktu itu) menuduh orang Yahudi tersebut mencuri pakaian perangnya dengan mengajukan dua saksi, putera kandungnya dan pembantunya.

Hakim yang mengadili perkara ini menolak kesaksian sang putera kandung Khalifah Ali, dan menjatuhkan putusan yang memenangkan warga Yahudi tersebut.

Begitulah pelaksanaan keadilan dalam Islam.

Kasus Nabi Sulaiman (as) dan Raja Nyamuk

Alkisah suatu ketika Raja Nyamuk mendatangi Nabi Sulaiman (as) untuk mengajukan gugatan terhadap ulah angin.

“Kami,” kata Raja Nyamuk, “terancam kepunahan disebabkan ulah angin yang begitu rajin bertiup hingga apabila ada di antara makhluk kami yang ingin hinggap untuk menyedot darah makhluk lain demi kelangsungan hidup kami, akan terganggu gegara tiupan angin itu dan harus terbang.”

Sebagaimana diketahui, menurut beberapa buku ilmiah, nyamuk adalah satu-satunya makhluk yang mampu menewaskan makhluk lain yang lima ribu kali lebih besar dari dirinya, sementara semut adalah makhluk yang sanggup memikul benda yang juga lima ribu kali lebih berat dari badannya.

Nabi Sulaiman terperanjat mendengar pengaduan Raja Nyamuk itu dan bergegas menyelenggarakan sidang pengadilan untuk memeriksa gugatan ini. Hampir separuh anak negeri menghadiri sidang yang dipimpin langsung oleh Nabi Sulaiman (as) itu, yang memberikan kesempatan kepada Raja Nyamuk untuk menyampaikan gugatannya.

Setelah gugatan disampaikan Raja Sulaiman (as) kemudian memanggil Raja Angin untuk menyampaikan pleidoi alias pembelaan diri.

Namun apa hendak dikata, begitu Raja Angin datang Raja Nyamuk sudah tidak ditempat, hingga perkara ini terkatung-katung sampai sekarang. Maklum untuk memutus perkara secara adil kedua pihak – penggugat dan tergugat harus hadir!

Kasus sewa-menyewa keledai milik Abu Nawas

Syahdan, datanglah seseorang kepada Abu Nawas untuk menyewa keledainya. Setelah disepakati biaya penyewaan keledai itu, Abu Nawas menjadi bimbang, karena khawatir jangan-jangan keledainya itu tidak dikembalikan oleh si penyewa. Maka ia pun memutuskan untuk ikut bersama sang penyewa. Kedua orang ini silih berganti menunggang keledai tadi.

Tiba tengah hari, ketika teriknya sang surya laksana hanya sejengkal dari ubun-ubun kedua orang itu sepakat untuk istirahat sebelum meneruskan perjalanan. Abu Nawas mengikat keledainya dan kemudian duduk dalam bayangan keledainya itu agar terhindar dari sinar terik sang surya.

Tidak lama kemudian orang yang menyewa keledai itu pun menyertai Abu Nawas duduk dalam bayangan makhluk bebal itu. Abu Nawas berkeberatan dan mengatakan, “Saudara hanya menyewa keledai saya tidak termasuk bayang-bayangnya!”

Tidak ada yang mengetahui bagaimana akhir dari kasus itu. Apakah ketika seseorang menyewa seekor keledai, juga termasuk bayang-bayangnya? Wallahu a’lam.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait