Ceknricek.com -- John Howard Griffin, jurnalis, fotografer, novelis asal Texas, AS, adalah contoh istimewa seorang profesional. Untuk menyelami kehidupan orang negro yang diperlakukan rasialis, dia mengubah warna kulitnya yang putih menjadi hitam. Griffin, yang juga dokter, mengkonsumsi obat Oxsoralen dan memaparkan kulitnya dengan sinar lampu ultraviolet.
Dia menyiram cairan kimia ke sekujur tubuhnya, tulis tshaonline.com. Griffin juga mencukur seluruh rambutnya. Plontos. Semua itu merupakan penyamaran "sempurna" sebagai pria kulit hitam. Seorang negro yang sering menyemir sepatunya tak lagi mengenalinya. Restoran, tempat Griffin acap kali makan di situ, melarang dia masuk. Selama enam minggu di tahun 1959, jurnalis itu berkeliling ke sejumlah negara bagian yang memberlakukan segregasi rasial. Kebijakan yang menghina martabat dan merendahkan warga kulit hitam.
Penelurusan dan investigasinya itu lalu dimuat secara serial di majalah _Sepia_. Kemudian dibukukan menjadi buku berjudul _Black Like Me_. Terbit tahun 1961, buku tersebut menjadi best seller, diterjemahkan ke dalam 13 bahasa. Di halaman pembuka, Griffin menyodorkan pertanyaan yang hendak dijawabnya, "What is it like to experience discrimination based on skin colour, something over which one has no control?"
Buku yang menghebohkan itu diangkat ke layar perak pada 1964, dibintangi oleh James Whitmore dan sutradara Carl Lerner. Buku tersebut terjual lebih dari 10 juta. Di bukunya itu, Griffin menyimpulkan bahwa "orang kulit hitam bukan warga negara kelas dua, melainkan kelas 10." Hingga 1990 _Black Like Me_ masih dicetak ulang, 10 tahun setelah Griffin meninggal pada 1980 di Fort Worth. Menikah dua kali, dia meninggalkan empat anak.
Latar belakang pendidikannya memang menunjang. Selepas SMA, Griffin pergi ke Perancis, kuliah sastra dan bahasa Perancis di University of Poitiers. Lantas belajar ilmu kedokteran di École de Médecine. Dia juga belajar musik dan memperoleh sertifikat dari Conservatoire de Fontainebleau. Griffin menjadi anggota berbagai asosiasi profesi dan mendapat sejumlah gelar doktor honoris causa.
Griffin pernah bertugas sebagai tentara AS dan ikut dalam Perang Dunia II. Dia dikenal berani. Sampai akhirnya dia cacat. Kedua matanya buta. Hebatnya, dibantu orang lain, selama buta 11 tahun (1946-1957), Griffin mampu menulis 5 novel. Buku-bukunya antara lain _The Devil Rides Outside_ (1952); _Nuni_ (1956); _Land of the High Sky (1959)_, the story of the Llano Estacado region and his only book on Texas; _The Church and the Black Man_ (1969); and _A Time to be Human_ (1977).
Griffin juga menulis buku fotografi: _Jacques Maritain: Homage in Words and Pictures_ (1974) and _Twelve Photographic Portraits_ (1973) dan menulis sejumlah buku: _Thomas Merton: A Hidden Wholeness_ (1970), _The Hermitage Journals_ (1981), and _Follow the Ecstasy: Thomas Merton, the Hermitage Years, 1965–1968_ (1983). _Black Like Me_ sampai sekarang masih dijual US$ 14,35 di amazon.com.
Setelah era reformasi, jurnalis kita bisa menikmati kebebasan pers. Setahap demi setahap, mereka mulai belajar melakukan investigasi. Majalah _Tempo_, misalnya. Selama Januari-Februari 2021, telah menerbitkan sejumlah laporan utama investigatif, hasil kerja bersama beberapa wartawan. Misalnya laporan utama tentang bancakan bansos untuk golongan masyarakat bawah yang paling terdampak pandemi Covid-19: Laput tentang rebutan lahan di Pulau Komodo dan obral gelar doktor honoris causa.
Dalam laporan investigasi berjudul _Mainan Baru Tanoto_, _Tempo_ bekerja sama dengan Organized Crime and Reporting Corruption Project dan koran _Suddeutsche Zeitung_, Jerman. Laporan utama tersebut menguak sepak terjang Susanto Tanoto, salah satu konglomerat pemilik Royal Golden Eagle Group, yang membeli sejumlah properti di Jerman. Termasuk gedung perkantoran di Munchen seharga sekitar Rp 6 trilyun.
Profesionalisme kerja merupakan salah satu dari ajaran-ajaran Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Profesionalisme biasa diartikan secara sederhana sebagai suatu pandangan untuk selalu berfikir, berpendirian, bersikap dan bekerja sungguh-sungguh, dengan disiplin, jujur, dan penuh dedikasi untuk mencapai hasil kerja yang memuaskan.
Nabi Muhammad SAW berpesan agar pekerjaan itu dilakukan sebaik mungkin. Beliau menyandingkan pekerjaan yang dilakukan seseorang secara giat dan ikhlas dengan jihad. Barang siapa bekerja keras untuk keluarganya, ia seperti pejuang di jalan Allah SWT.
Semangat kerja dan etos profesionalisme seorang muslim tidak hanya berkembang karena ada tuntutan realitas empirik masyarakat modern, melainkan dilandasi oleh semangat keberagamaan sebagai bagian dari amal saleh yang menjadi prasyarat ketakwaannya, tulis lazis-sa.org.
Dengan kata lain, dalam melakukan suatu karya atau pekerjaan, seorang muslim tidak hanya demi memenuhi kebutuhan hidupnya semata, melainkan karena agama mendorongnya. Dan oleh karenanya merupakan salah satu bentuk pengabdian (ibadah) kepada Tuhannya. Sampai kapan pun, menjadi profesional adalah tantangan bagi siapa pun, di profesi apa pun. (nh)