Kambing Hitam Minyak Goreng, Kedelai, Daging, dan Pupuk ? | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Kambing Hitam Minyak Goreng, Kedelai, Daging, dan Pupuk ?

Ceknricek.com -- Sejak satu bulan yang lalu minyak goreng di banyak pedagang lapak mendadak “hilang” dari peredaran. Harganya pun serentak naik. Konsumen panik, marah-marah, pemerintah tidak siap menjawab berondongan pertanyaan konsumen dan media. Syahdan, salah satu penyebab yang dijadikan “kambing hitam” adalah Pandemi Covid-19. Akibat Covid-19 produksi CPO ikut menurun drastis, selain itu arus logistik juga ikut terganggu.

Sebenarnya kenaikan harga minyak goreng telah terjadi sejak akhir 2021. Sejak November 2021, harga minyak goreng kemasan bergerak sampai Rp 24.000 per liter.

Penyebab lain naiknya harga minyak goreng, versi pemerintah, karena kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel seiring dengan penerapan kebijakan B30. Faktor lainnya: gangguan logistik selama pandemi Covid-19, seperti berkurangnya jumlah kontainer dan kapal.

Macam-macam kambing hitam dilepas

Kenaikan harga minyak goreng dipengaruhi oleh harga crude palm oil (CPO) dunia yang naik menjadi US$ 1.340/MT.

Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) tidak mau kalah berteori: “Secara total, produksi minyak nabati dunia anjlok 3,5% pada tahun 2021. Padahal, setelah lockdown mulai dilonggarkan, permintaan meningkat. Jadi, short supply picu kenaikan harga,” kata Direktur Eksekutif GIMNI.

Menteri Perdagangan beberapa kali turun ke pasar melihat kerumunan ibu-ibu yang menyerbu minyak goreng dan bertanya kepada para pedagang. Setelah itu pemerintah menetapkan semacam HET: harga minyak goreng curah Rp 14.000,- per liter. Pedagang yang menjual lebih dari HET akan ditindak.

Kebijakan pemerintah ternyata tidak efektif: minyak goreng tetap “lenyap” dari pasar. Harga memang tidak naik, tapi barangnya kosong. Kenapa tidak mau jual: pedagang serempak menjawab: Ketika kami beli beberapa bulan yang lalu, harganya lebih mahal. Maka, mereka rugi jika dijual Rp 14.000,- per liter.

Ketika satu gudang minyak goreng di Jakarta berisi 1 juta lebih liter berhasil digrebek, kehebohan lain terjadi: ternyata ada pengusaha yang diam-diam menyimpan minyak goreng di gudangnya. Timbunan minyak goreng di gudang, ternyata, terungkap lagi di berbagai daerah. Ada pengusaha yang NAKAL dan BERMAIN. Hal itu terjadi 3 minggu yang lalu. Sampai sekarang, pihak berwajib belum juga menangkap dan menyeret pelaku penimbunan ke pengadilan. Kenapa didiamkan? Jangan tanya saya! Mungkin ada “orang kuat” di belakang misteri kekosongan minyak goreng. Tidak heran, sampai tulisan ini dibuat, 7 Maret 2022, misteri kenaikan harga minyak goreng masih belum terjawab dan di beberapa daerah antrean Panjang ibu-ibu masih terjadi.

Segera setelah heboh minyak goreng, masyarakat dikejutkan lagi oleh naiknya harga tahu tempe. Para pengrajin tahu tempe di Bekasi demo. Mereka mogok produksi, karena harga kacang kedelai meroket. Mungkin baru pertama kali ini, rakyat kecil sekali pun nyaris tidak sanggup mengkonsumsi tahu tempe, padahal tahu tempe sejak dulu makanan rakyat kecil kita.

Mengapa harga kedelai mendadak membubung tinggi? Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memberikan 2 (dua) argumentasi: Kedelai impor mahal di Indonesia karena cuaca buruk El Nina di Argentina, Amerika Selatan. Hal itu mengakibatkan harga kedelai per gantang naik, dari 12 dolar AS menjadi 18 dolar AS. Penyebab kedua: permintaan kedelai tinggi, terutama dari China. Menurut Mendag, China memiliki 5 (lima) miliar ekor babi dan pakannya adalah kedelai. Awalnya, kata Mendag, pakan babi di China bukanlah kedelai. Namun kini pakan utamanya adalah kedelai. Kenapa terjadi perubahan pola makan babi China? Mendag tidak jawab!

Toh, Kementerian Perdagangan masih memberikan jaminan kepada pengrajin tahu-tempe kita : pasokan kedelai nasional diperkirakan aman untuk memenuhi kebutuhan kedelai rata-rata 2,5-2,6 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, 90 persen dipenuhi oleh kedelai impor dan 10 persen kedelai lokal. Berdasarkan data Asosiasi Importir Kedelai Indonesia (Akindo), para importir selalu menyediakan stok kedelai di gudang importir sekitar 450.000 ton.

Harga daging sapi pun ikut-ikutan naik tinggi. Memang menjelang Idul Fitri, daging sapi selalu mahal harganya. Tapi, sekarang bulan puasa pun belum datang. Kenapa sudah “mendahului” naik?

Harga daging sapi pada awal minggu ke-2 Maret sudah menyentuh Rp 130 ribu lebih. Pedagang daging sapi di Pasar Kebayoran Lama mengeluarkan ancaman untuk mogok jualan selama 5 hari. Kenaikan harga daging sapi juga dikeluhkan pedagang pasar tradisional di Depok, Jawa Barat. Menurut Dewan Pengurus Pusat Jaringan Pemotong dan Pedagang Daging Indonesia (Jappdi), kenaikan harga daging sapi sudah terjadi sejak Desember 2021, karena dipicu oleh kenaikan harga sapi hidup di tingkat importir.

Menurut Kementerian Perdagangan kenaikan harga daging sapi karena situasi global.

Salah satu negara pengekspor sapi ke Indonesia yakni Australia mulai membatasi ekspornya hanya 40 persen dari jumlah normal. Konsumsi daging sapi di negara kita sejak bertahun-tahun memang sangat tergantung pada ekspor dari Australia, 70% lebih. Jika terjadi “gejolak” produksi daging sapi di Australia, otomatis harga di Indonesa pun bergolak.

Beberapa tahun yang lalu saya sempat bertanya kepada Menteri Pertanian, Amran Sulaeman, kenapa Indonesia tidak mampu keluar dari “jeratan Australia” ? Upaya itu sudah kami rintis. Jawab Amran. Instansinya sudah menjajaki Brasil untuk melakukan “ternak sapi secara massal” di Indonesia, bukan hanya ekspor daging sapi ke negara kita. Kurang jelas apa sebab strategi baru itu kemudian kandas.

Yang juga menarik adalah fakta bahwa kebutuhan daging sapi Malaysia pun sangat tergantung pada impor dari Australia. Namun, harga daging sapi di Malaysia jauh lebih rendah dari harga di Indonesia dengan kualitas yang sama. Kenapa? “Dugaan kita ada permainan”, kata seorang petinggi BUMN yang paham betul dengan masalah pangan.

Harga cabe merah, dan cabe rawit ikut-ikutan “nakal”. Cabe merah sempat mendekati Rp 100.000,- per kg. Edan ! Ada petani yang mengatakan karena permintaan yang melonjak tajam menjelang Tahun Baru 2021, Tapi kok sampai sekarang harga masih bertengger terus? Cuaca yang didominasi oleh hujan deras dijadikan “kambing hitam”. Tapi petani tadi celoteh “di tingkat petani enggak bisa mainkan harga. Yang menaik-turunkan harga biasanya pengepul tingkat atas!” Jadi, faktor “permainan” lagi ! yang lain-lain tidak lebih kambing hitam ?

Setelah minyak goreng, kedelai, daging sapi, beragam cabe, bagaimana dengan pupuk? Bisakah harga pupuk pun sebentar lagi membubung tinggi? Kenapa tidak bisa ?

Perang Rusia – Ukraina mempengaruhi perekonomian dunia, kata Presiden Jokowi beberapa hari yang lalu. Maka, kita semua harus waspada mengelola perekonomian kita. Pupuk terkait langsung dengan produksi padi/beras dan kehidupan petani. Jika pupuk mahal, petani bisa berteriak. Dan harga pupuk dipengaruhi oleh harga gas alam. Sekitar 70% biaya produksi pupuk berasal dari harga gas. Perang Rusia lawan Ukraina membuat harga minyak dan gas alam melambung tinggi. Ketika tulisan ini disusun, minyak mentah standard Belanda sudah mengalami kenaikan harga 62%, sedang minyak mentah Jerman naik 60% lebih. Harga minyak di Eropa Barat rata-rata sudah mencapai US 110 per barel. Kecuali harga yang lompat tinggi, perang juga mengancam supply-demand minyak dan gas.

Rusia negara produsen gas terbesar di blok Barat, bahkan produsen minyak terbesar ke-2 di dunia. Lebih dari 1/3 pasokan gas untuk negara-negara Eropa Barat berasal dari Rusia. Separoh dari pasokan gas itu dikirim melalui Ukraina. Bayangkan apa yang bakal terjadi dengan pecahnya perang Rusia-Ukraina yang digambarkan bisa mengancam Perang Dunia III karena nafsu Rusia untuk menjatuhkan rezim pemerintahan Ukraina pimpinan Volodymyr Zelenskyy dan ketidak-berdayaan negara-negara barat dalam blok NATO untuk membantu Ukraina. Setiap hari Russia ekspor 5 juta barel minyak mentah, sekitar 12% dari total ekspor minyak di dunia.

Sanksi ekonomi negara-negara Barat terhadap Rusia sebagai akibat serbuannya terhadap Ukraina sejauh ini tidak terlalu memukul ekonomi Rusia. Putin masih bisa mencari negara-negara yang mau impor minyak mentahnya. Sebab pada waktu yang sama tidak sedikit negara “net importer” sedang mencari-cari minyak yang “menimbunnya” sebagai Langkah jaga-jaga peperangan akan berkepanjangan.

Sebagai produsen minyak dan gas alam terbesar ke-2 di dunia, negara ini tentu dapat menentukan masalah minyak dan gas secara internasional. Negara yang menggantungkan kebutuhan gasnya pada Rusia, tapi dinilai kurang bersahabat dengan Rusia (dalam perang Rusia-Ukraina), bisa saja mendadak dihentikan pasokan gasnya ke negara itu. Kita tidak tahu apakah pembatalan kontrak pembuatan jalan kereta di IKN oleh Rusia terkait dengan sikap RI dalam perang Rusia-Ukraina atau tidak. Sejumlah negara yang was-was kekurangan gas akibat perang di Ukraina diam-diam dikabarkan sudah bernegosiasi dengan Rusia (dan China) karena melihat situasi peperangan di Ukraina ke depan.

Apakah Kementerian Pertanian dan PT Pupuk Indonesia sudah mengkaji masalah ini secara jernih dan mengambil langkah-langkah yang berani untuk mengamankan komoditas pupuk yang strategis ini?

Perang Rusia-Ukraina dalam sekejap telah “memompa” harga gas di Indonesia. Memang kenaikan harga gas alam di tingkat internasional membawa “rezeki nompok” juga bagi pemerintah kita karena RI pengekspor gas juga. Toh, di dalam negeri harga gas tabung 3 Kg sudah mendekati Rp 20.000,-, naik dari Rp 15.000,- Yang berisi 12 kg sudah tembus Rp.186.000,- Harga gas bumi sebesar US$6 per MMBTU baru dinikmati tujuh sektor industri. Pemerintah mempertahankan harga ini sekerasnya. Tapi permintaan 13 sektor industri lainnya untuk harga gas alam yang sama belum disetujui.

Andaikata perang Rusia-Ukraina berkepanjangan, hampir dipastikan harga gas alam akan terus membubung. Industri pupuk pasti terkena dampaknya secara serius juga karena 60-70% biaya produksi pupuk “disumbang” oleh harga gas. Subsidi pupuk pun akan bergerak naik. Subsidi pupuk dari pemerintah pasti melambung. Sekitar 33 juta petani kita tentu akan berteriak andaikata harga pupuk naik akibat kenaikan harga gas alam. Buntutnya, harga padi/beras akan bergolak pula. Sama dengan minyak goreng, kacang kedelai, daging sapi dan cabe, beras pun bisa “hilang” di pasar, atau dijual dengan harga tinggi.

Drama selanjutnya sudah bisa kita tebak: Segera impor beras! Kelompok saudagar yang dari dulu senang impor beras, saat ini, hampir dipastikan sudah pasang kuda-kuda.

Waspadalah,Presiden Jokowi !!***

*Prof. Tjipta Lesmana, Pengamat Ketahanan Pangan


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait