Kata Ibunya, Hardi Bakal Hidup Enak | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Kata Ibunya, Hardi Bakal Hidup Enak

In Memoriam Tujuh Hari  Wafatnya Pelukis Hardi (4)           

Ceknricek.com--Sebagaimana dengan banyak seniman besar lainnya, sebelumnya persahabatan saya dengan Hardi, tak banyak diketahui orang, termasuk para seniman dan para pelukis sendiri. Mereka tak banyak yang menyangka, Hardi yang mereka nilai sering temperamental dan pelukis yang selalu bicara apa adanya, bisa bersahabat dengan saya, seorang wartawan hukum dan kebudayaan serta seorang advokat yang terkesan “serius.” Manalah mungkin dua kepribadian semacam itu dapat bersatu, demikian pikir banyak orang.

Lantaran saya banyak bersahabat dengan seniman-seniman tulen yang tenar, bukan seniman “abal-abal” yang cuma berpakaian asal “dekil and the kumel,” tapi tanpa karya berarti, saya menjadi faham bagaimana menghadapinya. Dari dunia seni rupa saya antara lain, bersahabat dengan Nyoman Gunarsa dan Kriyono almarhum, sekedar menyebut dua contoh nama. Dari pengalaman itu saya mengerti kapan harus mendengarkan mereka. Kapan untuk memuji mereka, tapi juga kapan harus mengkritik dan mencela mereka tanpa mereka sakit hati, tetapi mereka mengetahui apa yang kita pikirkan dan rasakan.

Demikian juga persahabatan sayab dengan Hardi. Saya dapat “menempatkan” diri dalam berinteraksi dengannya. Tapi ini tak berarti penuh basa-basi. Hardi  tetaplah seniman yang blak-blakan. Kalau dia pandang tak sesuai dengan pikirannya, dia tetap mencelanya. Termasuk ke saya. Bahasanya pun umumnya lugas. Tegas.

Menyadari ada niat baik di belakang ucapan-ucapan Hardi, selalu  saya maklum. Tak ada rasa sakit hati.

Sebaliknya saya juga berlaku begitu. Sering membantah pendapatnya dengan pernyataan yang keras. Walhasil kami kerap berdebat dengan argumentasi terbuka. Sepanjang saya tahu, “debat” kami pada akhirnya sampai pada kesimpulan yang sama.

Sedemikian dekat hubungan kami, Hardi sering mengusulkan ke panitia panitia pameran lukisan  agar saya yang membuka pameran lukisan, baik Hardi ikut berpameran atau pun tidak ikut.

Persahabatan saya dengan Hardi sudah berjalan panjang. Sekitar tahun 1976 saya mulai sering main ke Radio ARH yang terletak tak jauh dari pintu masuk TIM waktu itu. Saya kesana untuk berlatih teater, namanya dulu Teater Bengkel Belia ARH, di bawah asuhan Arthur John Horoni. Selain itu untuk membentuk komunitas pendengar Radio ARH, satu-satunya radio pendidikan di Jakarta sampai sekarang. Pendengar Radio ARH menyasar kalangan menengah bawah, yang memang haus pendidikan tetapi mungkin sulit menembus universitas. Segmen ini berbanding terbalik dengan Radio Prambors yang waktu itu juga terkenal, mengarah kepada segmen menengah atas.

Radio ARH dikenal kritis terhadap hampir semua aspek kehidupan dan penghidupan berbangsa dan bernegara. ARH merupakan salah satu radio pengkritik pemerintah yang keras. Bukan hanya politik yang dikritisi Radio ARH, tapi juga aspek-aspek kebudayaan terutama musik dan sastra.

Saya sendiri di usia yang sangat muda, diberi kepercayaan mengasuh acara “Ilmu-ilmu Sosial.” Rubrik itu selain saya tampilkan dalam bentuk narasi, juga dalam ragam dialog, drama dan tanya jawab.

Sikap Radio ARH yang kritis rupanya sejalan dengan sikap Hardi. Dia pun lantas sering main ke ARH kalau kebetulan ke TIM. Dari sana Hardi mulai bergaul dengan kami.

Waktu ARH menerbitkan kumpulan “Puisi Tempe” covernya dikerjakan oleh Hardi. Sebelum meninggal Hardi pula yang mengerjakan desain buku kumpulan lima Penyair  (Muwardi Muchtar, Eka Budianta,  Heryus Saputro, Wina Armada Sukardi dan Arthur John Horoni) yang  bakal segera menerbitkan buku “Puisi Tempe”jilid 2. Jika sebelumnya Hardi memilih desain hitam putih, kali ini covernya full color.

Selanjutnya kami sering berinteraksi.  Kami banyak  “ngopi-ngopi “ di mall, tidak di warung-warung sederhana. Katanya Hardi, “Pelukis sekarang, banyak yang tidak sadar zaman sudah berubah. Mereka kurang bergaul di tempat-tempat yang sesuai zaman. Makanya pelukis sekarang kering pengalaman  dan pikirannya masih sama dengan pelukis tahun 30an sampai 60an. Makanya kalau melukis sesuatu yang terkait suasana modern, banyak dari mereka yang jelas kelihatan gagal.”

Atas dasar itu, Hardi  berpendapat, para pelukis harus lebih sering ke mall. Selain  untuk menyesuaikan diri dengan deru suasana jiwa yang modern atau sesuai zaman, juga dengan demikian dapat memiliki koneksi kaum berduit calon-calon konsumen!

Ada satu tempat di suatu sudut di sebuah mall yang menjadi tempat favorit Hardi. Ini lantaran dari tempat itu kita dapat memandang ke semua sudut.  Mereka yang berlalu lalang dari arah depan atau belakang, terpantau mata. Belakangan tempat yang ada di sebuah kafe itu, ditutup, sehingga Hardi tak lagi dapat duduk disana.

Sekali-kali saya juga mengajak Hardi “dugem.” Misalnya ke diskotik atau karaoke, tempat yang tata nilainya berbeda dengan di dunia nyata. Disana serba permisif. Awalnya Hardi masih canggung, tapi setelah  beberapa kali ke sana dia cepat beradaptasi.

“Pergaulan Anda luar biasa, dari kampus, seniman sampai hiburan malam faham….,” kata Hardi, entah sesungguhnya atau ingin menyindir saya. Tapi kami hanya tertawa-tawa.

Sekali-kali saya  suka iseng mengirim WA kepada Hardi foto-foto wanita dengan pakaian  seronok. Hardi biasanya menanggapinya dengan tersenyum. “Nakal juga ya!” jawabnya.

Pada umumnya sayalah yang menjadi “bandar” alias yang bayar makan minumnya kalau kami keluar makan, karena memang sayalah yang sering mengajaknya.  Kalau pun dia yang mengajak, tetap saya wajib “tahu diri”  membayarnya.

Walaupun demikian, sekali-kali Hardi ikut membayar. “Udah ndak usah khawatir, biar saya yang bayar!” katanya dengan wajah ceria.

Ada apa rupanya? “Saya lagi banyak duit! Hahaha…”ungkap Hardi dengan bangga. Kalau sudah begitu, saya paham, Hardi tidak mungkin dicegah. Maka saya biarkan saja.

Berkali-kali Hardi bercerita, manakala kecil ibunya bercerita Hardi bakal melakoni pekerjaan yang enak. Hidupnya nyaman. Pekerjaan akan sesuai dengan kepuasan hati nurani Hardi, tetapi  dapat uang.

Mulanya Hardi mengaku tak faham apa maksud ibunya. “Ternyata yang dimaksud Ibu  saya, ya jadi pelukis  ini,” beber Hardi.

Jadi pelukis  bekerja sesuai hati nurani Hardi, sekaligus menghasilkan uang.“Dari awal rupanya ibu saya sudah mengetahui saya bakal jadi pelukis.”tandasnya.

Hardi juga sering bercerita, bagaimana pun kehidupan dan penghidupannya harus disyukuri. Dia membandingkan kehidupan dan penghidupan dirinya dengan seorang penyair terkenal yang juga teman dekatnya dan sudah agak lama meninggal. Dia bercerita teman dekatnya sang penyair beken itu relatif sulit dalam kehidupannya. Rumah tangganya berantakan.  Anak-anaknya mengalami kesulitan ekonomi. Sekolahnya juga kucar-kacir.  “Jadi, begini-begini juga, saya alhamdulillah hidup saya cukup baik, “ ungkapnya.

Bersambung……

#Wina Armada Sukardi, kolektor lukisan Hardi 

 

 

 

 


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait