Ceknricek.com--Akhirnya seorang perempuan di Australia yang sebelumnya pasrah menanggungkan segala kezaliman dari pasangannya (pacar/bekas pacar/suami dan seterusnya) kini dapat “lampu hijau” untuk meninggalkan pasangannya.
Hari ini, 1 Mei 2024, pemerintah Australia mengumumkan bahwa “dalam waktu dekat mereka (umumnya orang perempuan) yang melarikan diri dari pacar (yang hidup bersama dengannya dalam apa yang disebut “kumpul kebo”) atau suami yang gemar menggunakan kekerasan, akan dapat memperoleh santunan sebesar sebanding 50-juta rupiah,” apabila melarikan diri dari pasangan hidupnya itu.
Memang pemerintah pusat Australia tidak lagi dapat menghindari kenyataan bahwa selama tahun ini saja (2024) dalam setiap 4 hari seorang perempuan dilaporkan terbunuh baik oleh pasangan hidupnya maupun mantan pasangan hidupnya.
Yang namanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebenarnya bukan dan tidak lagi merupakan “budaya” suatu kaum saja, melainkan hampir men jagad raya.
Kalau sebelumnya apa yang dikenal sebagai KDRT umumnya adalah kezaliman yang lebih sering terjadi di kalangan bangsa-bangsa di bagian “Selatan” bumi kita (maksudnya bukan di kalangan orang Barat/Kulit Putih), maka statistik akhirnya mengungkapkan sesuatu yang sudah tidak lagi dapat “disembunyikan”.
Sebagaimana suka dikemukakan dalam budaya Anglo Saxon “lies, damned lies and statistics” – artinya “dusta, dusta keparat dan statistik”. Maksudnya yang namanya statistik memang sudah tidak dapat dibantah atau dipungkiri, seperti statistik bahwa “selama 4 bulan pertama tahun 2024 setiap 4 hari seorang perempuan di Australia dibunuh”.
Dan pemerintah pusat Australia harus bergerak, khusus sesudah unjuk-rasa besar-besaran dilancarkan di berbagai kota di benua ini.
Perlukah Statistik Diubah?
Sebelumnya (mungkin saja sampai sekarang) memang ada pandangan bahwa salah satu agama yang memicingkan mata terhadap kenyataan bahwa kaum perempuannya hidup dalam tekanan/kezaliman kaum lelakinya adalah Islam.
Itulah sebabnya Islam suka disamakan dengan “budaya misogini” (misogyny alias ketidak-sukaan/kebencian terhadap perempuan atau anak perempuan). Meski pada hakikatnya masih ada agama-agama lain yang lebih ekstrim “misogini”-nya.
Memang budaya Arab terutamanya suka dilukiskan sebagai “misogini”, hingga ada kesimpulan kemudian bahwa apa-apa yang dilakukan “orang Arab” adalah atas suruhan Islam.
Banyak yang melupakan sejarah bahwa walikota pertama yang diangkat Nabi Muhammad (saw) ketika beliau “berkuasa” di Kota Madinah adalah seorang perempuan bernama Safiah. (“Muhammad: The World Changer” oleh Mohammad Jebara).
Bahwa memang ada kecenderungan kaum lelaki dalam budaya Timur Tengah yang merasa punya hak Istimewa atas kaum perempuannya, payah untuk dibantah atau dipungkiri.
Dan ini, kata seorang pakar Islam, Sheikh Mohammad Akram Nadwi, yang sampai tahun 2015 masih dikontrak oleh salah satu perguruan tinggi paling terkemuka di dunia, Universitas Oxford, di Inggris, adalah gara-gara “keterlanjuran pakar Arab/Muslim yang menerjemahkan pandangan atau karya filosof Yunani Aristotle.”
Ternyata dalam salah satu karyanya Aristoteles mengatakan: “penindasan terhadap kaum perempuan adalah sesuatu yang alamiah dan merupakan kebutuhan sosial” (The subjugation of women was both “natural” and a ”social necessity”). (“If The Oceans Were Ink” oleh Carla Power).
Sheikh Mohammad Akram Nadwi juga menjelaskan hadits Rasulullah (saw) “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istri mereka.” Bukan itu saja melainkan juga Sheikh Mohammad Akram telah menulis bahwa “pernah ada ribuan Muslimah ahli hadits, dan banyak di antara suami mereka yang dianggap sebagai ulama tidak segan-segan bertanya kepada para istri mereka itu tentang hal-hal yang berkaitan dengan hadits.”
Dalam bukunya “Heaven on Earth – A Journey Through Sharia Law”, penulis Sadakat Kadri, menulis “Aisah (ra) pernah melabrak sejumlah sahabat Rasulullah (saw) yang menganggap perempuan lebih rendah dari lelaki dengan mengingatkan mereka betapa Rasulullah (saw) melaksanakan salat pada hal ia (Aisah) sedang berbaring di depannya (kemungkinan bantal atau benda lainnya terletak di samping Aisah sebagai pemisah).”
Alm. Ayah Saya Tidak Misogini
Almarhum ayah saya (Mahmud bin Muhammad Khaiyath), adalah seorang Arab “tulen”. Beliau lahir di Makkah (Tanah Hijaz), dan kemudian merantau ke Tanah Deli dan menikah dengan seorang dara Melayu asli.
Saya adalah anak bungsu beliau (kami abang/kakak/beradik terdiri dari tiga putera dan lima puteri).
Ada yang pernah mengingatkan saya bahwa “Ayah kamu itu adalah ulama pertama yang menyampaikan khutbah Jumat dalam Bahasa Melayu; beliau juga adalah ulama pertama yang menyelenggarakan sholat Idulfitri di tanah lapang, bukan di masjid. Dan beliau juga di masa penjajahan Belanda tidak segan-segan menuding para bangsawan Melayu yang cukup berpengaruh waktu itu karena dimanja penjajah Belanda, sebagai ‘waliul khamar’ bukan “waliul amr (khamar berarti minuman keras).
Almarhum Buya Hamka pernah menuturkan bahwa ketika Kempetai Jepang (Komandan Polisi Militer Jepang) yang pernah berkuasa di Medan memanggil sekitar 40 alim-ulama Sumatera Timur (waktu itu belum dikenal istilah Sumatera Utara), untuk mendengarkan arahan bagaimana mereka harus berperilaku di pagi hari (menghadap ke mata hari terbit dan tunduk) dan bahwa mereka harus turun dari sepeda atau sado (delman) kalau melewati kediaman Gubernur dan memberi hormat dengan menundukkan kepala, Mahmud Khaiyath langsung berdiri dan mengatakan:
“Saya hanya menundukkan diri/kepala pada Allah!”
Dan beliau pun meninggalkan pertemuan tersebut.
Syukur sang Kempetai Jepang tidak melakukan sesuatu terhadap Alm. ayah saya. Dia tidak mempedulikan pembangkangan almarhum.
Yang ingin saya tuturkan di sini adalah bahwa meski sebagai seorang Arab “tulen” dan pemuka agama Islam, beliau tidak pernah menzalimi kakak-kakak saya.
Saya ingat betul, apabila salah seorang kakak saya selesai mencuci pakaian, maka sayalah yang harus mengangkat cucian yang masih basah itu (dan sangat berat) ke tempat jemuran, bukan kakak saya.
Jadi sebenarnya tidak semua orang Arab suka menzalimi perempuan mereka. Setuju? Semoga.