Kebangsaan-Kenegaraan, dan Demokrasi | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Kebangsaan-Kenegaraan, dan Demokrasi

Ceknricek.com--Di penghujung proses tahapan pemilu 2024, tinggal hitung hari lagi akan dilakukan pleno. Penetapan hasil resmi pemilu sebagai realisasi dari keseluruhan tahapan pemilu.Meski di luar, orang masih ribut soal apakah proses pemilu sudah dilewati berdasarkan azas jujur dan adil (Jurdil). Hal ini, harus diakui bahwa sejak pemilu dilaksanakan secara langsung (pasca amandemen UUD 1945) selalu saja ada riak-riak gejolak. Paling tidak, jika merujuk pada ke-2 pemilu terakhir, yaitu pemilu 2014 dan pemilu 2019. Atmosfir tensi " kegaduhannya " begitu tinggi.

Kini, semua pandangan dan asumsi perhitungan riil terfokus ke tanggal 20 Maret 2024. Pertanyaannya : apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan sesuai jadwal penetapan hasil pemilu, baik Pilpres, DPD, dan DPR RI. Dan apakah berbagai protes yang acapkali teman menganalogikan sebagai badai akan berlalu ?.

Kehidupan bangsa ini, memang membutuhkan lebih dari kata demokrasi. Karena itu, demokrasi bisa menjadi sarana keselamatan rakyat, namun bisa juga sebaliknya menjadi "titik konflik" di mana kondisi rakyat diperhadap-hadapkan. Padahal rakyat, kita yang menentukan arah kebangsaan - kenegaraan dan kecintaan kita terhadap Indonesia.

Mencintai Indonesia sebagai negara - bangsa haruslah menghadirkan adonan rasa kebanggaan. Ditilik dari sudut kebangsaan, Indonesia adalah bangsa yang sukses. Kita bisa bayangkan, ada suatu bangsa yang mampu mempertautkan solidaritas kultural yang merangkum tidak kurang dari 250 kelompok etnis dan bahasa yang tersebar sekitar 17.500 pulau di sepanjang 81.000 kilometer garis pantai dengan kemampuan antisipasi dan mengatasi isolasi pergaulan antarsuku. Hal ini membuat Indonesia memiliki budaya toleransi yang kuat, sehingga tak mudah tercerabut dari akar budayanya.

Akan tetapi, jika ditilik dari sudut kenegaraan, Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang masuk kategori belum berhasil. Seperti diketahui, menjadi negara setidaknya harus memiliki kedaulatan ke dalam dan keluar. Kedaulatan ke dalam ditunjukkan oleh kemampuan negara untuk mengelola/memelihara hukum dan ketertiban (keteraturan). Sedangkan kedaulatan ke luar ditandai oleh kemampuan untuk memproteksi ( melindungi ) kepentingan bangsa dalam pergaulan antarbangsa dalam posisi terhormat dan setara (equal). Sekali lagi, kedua hal itu tak terpenuhi oleh eksistensi negara ini.

Lebih jauh dapat dielaborasi, negara tanpa kedaulatan adalah negara yang lemah yang kehilangan legitimasinya. Sementara negara Indonesia adalah negara hukum, dimana telah menjadi postulat penting yang tertuang dalam teks konstitusi UUD NRI 1945.

Artinya, Indonesia berkomitmen bahwa negara hukum sebagai sebuah preposisi yang diidealisasikan hendak dicapai itu harus selalu diupayakan dan ditegakkan secara konsisten, termasuk pelaksanaan pemilu itu sendiri haruslah dilandasi dengan aturan hukum yang jelas (rule of law) untuk menghindari kesewenang-wenangan dan penyalagunaan kekuasaan (abuse of power).

Bagaimana pun, tidak ada kejahatan yang sempurna, demikian keyakinan Sherlock Holmes. Narasi itu ditutup dengan suatu penilaian moral bahwa apa yang telah dilakukan raja itu jahat di mata Tuhan. Melenyapkan nyawa prajurit adalah kejahatan yang menghina Tuhan.

Penguasa duniawi bisa sewenang-wenang seperti diktum Louis XVI, I'Etat c'est moi (akulah negara), apa titahku itulah hukum. Alih-alih menciptakan hukum, raja Ibrani hanya hamba hukum penguasa dunia moral. Tanggung jawab moralnya justru besar karena posisinya sebagai penguasa duniawi.

Oleh sebab itulah, betapapun rumitnya rintangan pemilu sebagai pilar demokrasi di republik ini haruslah di tunjukkan dengan komitmen kesungguhan, sehingga memiliki kemajuan sebagai prasyarat kesejahteraan rakyat.

Walhasil, kita pun dipanggil, baik secara ontologis maupun teologis di bulan suci ramadhan 1445 H ini, untuk bertanggung jawab pada kepentingan umum. Kebangsaan-kenegaraan, keutuhan bangsa, dan keselamatan rakyat, harus selalu diposisikan secara proporsional dibalik kepentingan diri kita. Itulah syarat fundamental ontologis ke Indonesian kita di bumi manusia yang telah dibentangkan sajadah panjang dari pendiri republik (foundhing fathers) kita.

Jakarta, 17/3/2024

#Abustan, Pengajar Sosiologi Hukum Magister Ilmu Hukum UID


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait