Kedaulatan Natuna Ekonomi Maritim Indonesia | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Kedaulatan Natuna Ekonomi Maritim Indonesia

Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2024

Ceknricek.com--Laut China Selatan adalah jalur maritim vital yang melintasi wilayah strategis bagi banyak negara di Asia Tenggara khususnya, termasuk Indonesia. Konflik di wilayah ini muncul karena klaim sengketa kedaulatan atas kepulauan dan wilayah di sekitarnya oleh beberapa negara, terutama Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Tak bisa dipungkiri bahwa China alias Tiongkok telah mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan, jalur perdagangan kapal tahunan senilai US$ 3 triliun ini. Ketegangan semakin memanas seiring dengan upaya penguatan militer, pembangunan infrastruktur, dan klaim maritim yang saling tumpang tindih. Pada titik ini, dalam perspektif Indonesia, ancaman konflik di Laut China Selatan terhadap kedaulatan Indonesia merupakan isu yang penting dan kompleks dalam hubungan internasional maupun regional. Di lain sisi, patut pula dicamkan bahwa Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag memutuskan klaim historis Tiongkok atas Laut Cina Selatan tidak memiliki dasar hukum berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), tetapi Tiongkok menolak putusan ini dan terus mempertahankan klaimnya.

Kilas Balik

Laut Cina Selatan adalah jalur perdagangan dunia yang vital nan menggiurkan, betapa tak, sebagaimana data berbicara: pada tahun 2023 lalu , 10 miliar barel minyak bumi dan produk minyak bumi serta 6,7 ​​triliun kaki kubik (Tcf) gas alam cair (LNG) melewati Laut Cina Selatan (International Energy Outlook 2023). Lautnya membentang dari Singapura dan Selat Malaka di barat daya hingga Selat Taiwan di timur laut dan sangat kaya akan sumber daya, mempunyai potensi besar sebagai sumber hidrokarbon, dan mempunyai kepentingan strategis dan politik yang signifikan.

Seiring dengan meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan, banyak negara di kawasan tersebut, termasuk Tiongkok, Vietnam, dan Filipina, telah meningkatkan anggaran militer dan modernisasi peralatan pertahanan mereka. Tiongkok, sebagai salah satu aktor utama dalam konflik actual dan potensial, telah melakukan peningkatan signifikan dalam pembangunan dan modernisasi angkatan laut dan udaranya, termasuk pengembangan kapal induk, rudal anti-kapal, dan pesawat tempur canggih (Zhang, 2012). Demikian pula pembangunan infrastruktur di wilayah Laut China Selatan, terutama oleh Tiongkok, telah menjadi salah satu sumber ketegangan, dimana Tiongkok telah melakukan pembangunan pulau buatan dan instalasi militer di kepulauan yang dipersengketakan, seperti Kepulauan Spratly. Hal ini memicu kekhawatiran dari negara-negara tetangga dan pihak lain yang memiliki klaim atas wilayah tersebut, karena dianggap melanggar hukum internasional dan dapat mengubah keseimbangan kekuatan di wilayah tersebut (Storey & Lyons, 2016).

Salah satu faktor utama yang menyebabkan ketegangan di Laut China Selatan adalah klaim sengketa atas kedaulatan wilayah dan jalur maritim oleh Tiongkok berdasarkan pada konsep sembilan garis putus-putus, yang bertentangan dengan klaim dari negara-negara lain seperti Filipina, Vietnam, dan Indonesia. Klaim yang saling tumpang tindih ini menjadi pemicu konflik dan meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut (Parameswaran, 2018). Dalam konteks ini, Tiongkok telah lama mengklaim sebagian wilayah perairan Indonesia, terutama di sekitar Kepulauan Natuna, berdasarkan pada konsep sembilan garis putus-putus yang dipersengketakan. Hal ini telah menjadi sumber ketegangan antara kedua negara dan telah menimbulkan keprihatinan atas kedaulatan Indonesia di wilayah tersebut.

Pada titik inilah menjadi amat relevan tatkala kita menyoroti potensi konflik yang dapat berimbas pada kedaulatan Ibu Pertiwi di masa depan, di luar area konflik aktual maupun potensial sebagaiamana dipaparkan di atas: Kepulauan Natuna. Kepulauan Natuna (khususnya yang dikenal sebagai East Natuna atau Natuna D Alpha), merupakan salah satu bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia, terletak di sebelah utara Laut Natuna, yang merupakan bagian dari Laut China Selatan. Meskipun secara geografis berada di luar sembilan garis putus-putus yang diklaim oleh Tiongkok, Natuna menjadi fokus klaim Tiongkok karena potensi sumber daya alamnya, terutama sumber daya alam bawah laut seperti gas alam. Merujuk data Asset Report dari Wood Mackenzie yang dirilis bulan Agustus 2023 lalu, per 1 Januari 2024 diperkirakan masih ada 10 juta barel kondensat (merupakan cairan hidrokarbon yang umumnya ditemukan bersama dengan gas alam dalam reservoir) dan 45.000 miliar kaki kubik gas alam yang belum dieksploitasi, sungguh amat bernilai laksana harta karun terpendam! Terletak di lepas pantai Natuna Timur, Natuna D Alpha saat ini merupakan sumber gas terbesar yang diketahui di Asia Pasifik. Seharusnya begitu dikembangkan, skalanya akan berdampak signifikan terhadap pasar gas Indonesia dan regional namun tantangan besar mesti dihadapi bersama: lokasi bermasalah. Natuna D Alpha terletak di sembilan garis putus-putus Tiongkok, pihak manapun yang ingin berpartisipasi dan memanfaatkannya perlu memahami risiko yang ada. Selain itu, sekitar 220 kilometer dari Pulau Natuna Besar di Indonesia, bloknya juga sangat strategis, terpencil dan jauh dari pasar gas utama. Rencana pengembangan akan memerlukan investasi infrastruktur yang besar untuk mengaktifkan pasar dan penjualan. Tiongkok telah membangun instalasi militer di beberapa pulau dan terumbu karang di dalam sembilan garis putus-putus, meningkatkan ketegangan dengan negara-negara tetangga dan Amerika Serikat. Di sisi lain, wilayah-wilayah ini termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen yang secara sah diakui oleh hukum internasional sebagai milik negara-negara yang berada di seputar area tersebut.

Analisis dan Reaksi Indonesia

Pemerintah Indonesia telah secara tegas menolak klaim Tiongkok atas wilayah di sekitar Natuna, menyatakan bahwa klaim tersebut bertentangan dengan hukum internasional, termasuk Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Indonesia menegaskan bahwa Natuna adalah bagian integral dari wilayah kedaulatannya dan bahwa klaim Tiongkok tidak memiliki dasar hukum yang sah. Peta sembilan garis putus-putus tidak memiliki koordinat geografis yang jelas, menyebabkan ambiguitas dan interpretasi yang bervariasi. Ini membuat negara-negara lain kesulitan untuk menentukan dengan pasti batas-batas klaim Tiongkok dan untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai. Klaim Tiongkok atas Laut Cina Selatan melampaui batas yang diakui oleh UNCLOS. Pelanggaran terhadap UNCLOS dan prinsip-prinsip dasar hukum internasional serta implikasi geopolitik dari klaim ini menjadikan masalah ini salah satu sengketa maritim paling menonjol dan menantang di dunia saat ini. Tindakan Tiongkok di kawasan ini sering dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak berdaulat negara-negara lain atas ZEE dan landas kontinen mereka. Ini termasuk aktivitas penangkapan ikan, eksplorasi sumber daya, dan pembangunan militer di wilayah yang diklaim oleh negara-negara tetangga.

UNCLOS merupakan hasil dari konferensi internasional yang melibatkan banyak negara, dan telah diratifikasi oleh lebih dari 160 negara, menjadikannya salah satu instrumen hukum internasional yang paling penting dan diterima secara luas. Konvensi ini menyediakan mekanisme untuk penyelesaian sengketa maritim melalui pengadilan internasional, seperti Pengadilan Hukum Laut Internasional (ITLOS) dan Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA).

Indonesia telah menolak keras klaim Tiongkok yang tidak beralasan terhadap wilayah kedaulatannya di Natuna dan menandaskan bahwa Natuna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah kedaulatan Indonesia (Sumber: Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia). Selain itu, Indonesia telah mengambil langkah-langkah diplomatis dan militer untuk menegaskan kedaulatannya atas Natuna. Ini termasuk peningkatan patroli laut dan udara di wilayah tersebut, serta pembentukan Pos TNI AL di Natuna. Selain itu, Indonesia juga telah memperkuat kerja sama dengan negara-negara tetangga dan mitra internasional untuk mendukung posisinya dalam persengketaan tersebut.

Dalam konteks geopolitik global saat ini, di mana perang-perang seperti konflik Rusia-Ukraina dan ketegangan antara Israel dan Iran terus berlangsung, tantangan terhadap kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan menjadi lebih kompleks. Persaingan antara kekuatan besar seperti Rusia, Amerika Serikat, dan Tiongkok dalam mendukung pihak-pihak dalam konflik regional dapat memperumit upaya penyelesaian konflik di Laut China Selatan. Keterlibatan aktor-aktor eksternal ini dapat meningkatkan ketegangan dan membuat solusi menjadi lebih sulit dicapai.

Indonesia dapat terus menerapkan penegakan hukum terhadap pelanggaran maritim di wilayahnya, termasuk penangkapan kapal-kapal ilegal dan penyelesaian konflik secara diplomatik. Diplomasi multilateral juga penting untuk memperoleh dukungan internasional dalam menegakkan kedaulatan maritim Indonesia. Penguatan pertahanan dan keamanan di wilayah perairan Natuna perlu ditingkatkan untuk menghadapi ancaman potensial dari kehadiran militer Tiongkok. Ini termasuk peningkatan patroli laut dan udara, serta pembangunan infrastruktur pertahanan yang memadai.

Indonesia dapat meningkatkan kerja sama dengan negara-negara tetangga dan mitra regional dalam menghadapi tantangan di Laut China Selatan. Kerja sama dalam bidang keamanan maritim, patroli bersama, dan penegakan hukum dapat memperkuat posisi Indonesia dalam mengatasi ancaman konflik. Lebih banyak dukungan dan peran dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi regional seperti ASEAN diperlukan untuk memfasilitasi dialog, mediasi, dan implementasi kebijakan yang dapat mengurangi ketegangan dan meningkatkan keamanan di wilayah tersebut. Indonesia harus meningkatkan kerja sama dengan negara-negara tetangga dan mitra regional dalam menghadapi tantangan keamanan maritim di Laut China Selatan. Ini meliputi patroli bersama, pertukaran informasi intelijen, dan latihan militer bersama untuk meningkatkan kesiapan dan respons terhadap ancaman. Patut pula diupayakan memanfaatkan peran Organisasi Kerjasama Shanghai, kerja sama BRICS, Konferensi Tindakan Membangun Kepercayaan dan Interaksi di Asia, mekanisme “Tiongkok+Asia Tengah” yang amat ditekankan sendiri oleh Xin Jin Ping.

Sebagaimana dikutip dalam The Global Security Initiative Concept Paper (2023): ‘’Upholding world peace and security and promoting global development and prosperity should be the common pursuit of all countries. Chinese President Xi Jinping has proposed the Global Security Initiative (GSI), calling on countries to adapt to the profoundly changing international landscape in the spirit of solidarity, and address the complex and intertwined security challenges with a win-win mindset. China stands ready to work with all countries and peoples who love peace and aspire to happiness to address all kinds of traditional and non-traditional security challenges, protect the peace and tranquility of the earth, and jointly create a better future for mankind, so that the torch of peace will be passed on from generation to generation and shine across the world…’’

Pada titik ini, adalah amat penting dan strategis guna mengedepankan komunikasi global sebagai bagian utama proses membangun kedaulatan bersama para mitra Pertiwi. Komunikasi manusia dipengaruhi oleh isu-isu dalam lingkungannya oleh karena itu, isu-isu kedaulatan nasional dapat menentukan isu-isu topikal di media dan hubungan manusia suatu bangsa pada suatu waktu tertentu. Selain kebijakan dan kekuatan militer yang sering dikerahkan pemerintah dalam mengatasi keamanan nasional; komunikasi global juga amat penting dalam hal ini, karena informasi adalah alat yang dapat digunakan untuk melindungi bangsa dan mencapai keamanan atau menghancurkannya. Media adalah mediator antara pemerintah suatu negara dan rakyatnya, oleh karena itu, kebijakan suatu negara ditransmisikan dan ditafsirkan oleh media. Media dan institusi sosial lainnya di negara ini juga mempunyai peran dalam mendidik masyarakat akan dampak komunikasi mereka di platform media sosial terhadap keselamatan dan kedaulatan bangsa.

Tidak mengherankan bahwa dalam demokrasi maupun keamanan dan kedaultan nasional dapat dipengaruhi oleh jejaring sosial dalam hal pengumpulan dan verifikasi intelijen/dan informasi; menilai dan mempengaruhi opini publik. Hal ini juga melibatkan berbagi komunikasi risiko yang dapat membantu warga negara dalam situasi darurat yang dibutuhkan; melakukan penelitian dan mengembangkan kebijakan; perencanaan dan pelaksanaan program dan melakukan operasi informasi yang semuanya bisa terancam atau diperkuat oleh serangkaian postingan di platform digital. Hubungan antara keamanan dan kedaulatan nasional serta komunikasi global perlu ditekankan melalui penggunaan alat tertentu dalam ekosistem nasional, yang mempengaruhi dialog persatuan nasional dan keamanan bangsa. Saatnya kaum muda dilibatkan untuk tak sekedar memanfaatkan jejaring sosial dan platform media digital bagi kepentingan sendiri tetapi juga bagi kedaulatan bangsa: melek digital, melek kedaultan!

*)Greg Teguh Santoso, sedang menyelesaikan progral doktoralnya sambil terus berbagi pengetahuan. 


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait