Keragaman Tema Film Kita | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Keragaman Tema Film Kita

Ceknricek.com--Tiga kali saya mendengar statemen soal potensi keragaman tema film kita. Pertama saat peluncuran film "Koma: Berhenti Sebelum Mati", yang pembiayaannya di support Pemprov Pagaralam, Sumatera Selatan. Kedua, saat diskusi film dengan Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI), Gunawan Paggaru. Ketiga, saat mendengar pidato Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, ketika membuka Festival Film Wartawan Indonesia di Gedung RRI Jakarta, Sabtu 16/11/24) malam.

Ketiganya bicara dalam rentang sebulan. Walikota Pagaralam, Gunawan Paggaru dan Fadli Zon mengungkap, Indonesia sebetulnya bisa jadi surga tema film, saking banyaknya budaya lokal yang bisa diangkat. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Pulau Rote. Jika dicermati dengan tenaga kreatif dan daya khayal yang tinggi, sineas kita akan menghasilkan karya karya yang berbeda.

Fadli Zon mungkin berangkat dari fakta yang ada. Produksi film kita di 2024 sudah menembus 150 judul dengan jumlah penonton 80 juta orang. Ini kabar menggembirakan. Artinya, tanpa kampanye masif seperti di era Orde Baru, film kita sudah jadi tuan rumah di negeri sendiri. Bisnis film punya prospek bagus, setelah di era pandemi covid terpuruk dan harus di stimulus dana produksi oleh pemerintah.

Persoalannya mungkin, jika melihat siklus berulang yang sudah terjadi, keberagaman tema itu nampak tidak mendapat tempat memadai. Setelah kembali menggeliat pasca hantaman Covid, pasar film nasional lebih didominasi film film horor. Ceruk pasar ini bahkan coba ikut dinikmati rumah produksi kecil, sebagai upaya untuk mungkin sekedar menambah portofolio.

Tentu tidak salah. Bukan juga sebuah aib. Bisnis adalah bisnis. Ini hukum ekonomi biasa. Ada permintaan ada penawaran. Produser juga tidak mau kehilangan uang. Syukur syukur di film pertama yang dibikin, untung sudah menggunung. Pokoknya mumpung lagi pada senang nonton film horor, hajar terus bleh...sampai loyo!

Kita memang tidak tahu sampai kapan titik jenuh akan tiba. Sama seperti era 1990-an, ketika nama nama seperti Enny Beatrice, Febby Lawrence, Ayu Azhari, Kiki Fatmala, Inneke Koesherawati, Windy Chindyana dll wara wiri di layar bioskop mempertontonkan paha mulus dan payudara montok. Sampai sampai, adegan payudara gondal gandul Yurike Prastika di film Ratu Laut Pantai Selatan pun lupa digunting Lembaga Sensor Film (LSF).

Booming-nya film film seks di era itu, sudah pasti karena permintaan pasar. Hal ini didukung maraknya peredaran novel novel stensilan macam Enny Arrow dan Nick Carter. Film film impor mandarin pun, saya pernah menontonnya di bioskop yang tempat duduknya banyak kutu, tak pelak didominasi film bertema seks, seperti The Girl From Beijing.

Memang ini bisa disebut "salah" Order Baru. Setelah industri film lokal kolaps akibat pemboikotan dan larangan impor film AS di era Orde Lama karena Bung Karno anti Barat, Soeharto mendorong produksi film nasional secara gila gilaan. Saya kasih tanda petik "salah", karena kondisinya dilematis. Tak pelak, akhirnya yang bekerja adalah mekanisme pasar.

Saya sempat membaca tulisan sutradara Garin Nugroho, yang menggambarkan keresahan kondisi saat itu. Tapi jika tidak ada cawe cawe pemerintah, siapa bisa menghentikan? Beruntung serbuan film film bertema seks itu akhirnya berhenti. Mungkin pasar sudah jenuh. Produksi film nasional kembali nyungsep, sebelum film Petualangan Sherina menjadi pelipur lara dan membawa angin segar.

Tidak semua. Tapi maraknya film film horor saat ini pun ada yang dibikin tidak serius. Saya pernah menonton film horor yang dibuat seperti format Film Televisi (FTV). Dengan struktur dramaturgi yang loncat loncat, akting kaku dan setting monoton, dialog dialog yang ada juga seperti dibikin tanpa "rasa". Jangan bicara penggunaan teknologi. Beberapa teman wartawan bahkan pada keluar. Ada yang bosan, yang lain ngantuk.

Dengan nomenklatur kementerian yang sudah berubah, dimana Kementerian Kebudayaan kini dipisah, ini saatnya Fadli Zon benar benar membuat slogan film kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri jadi lebih membumi. Pemerintah mungkin bisa mengeluarkan aturan, agar kuota rumah produksi harus disisipi dengan film bertema budaya nusantara, selain film yang dibuat untuk meraup untung.

Badan Perfilman Indonesia (BPI) sebagai "agregator" para stakeholder masyarakat film mengaku sedang berusaha ke arah itu. Keberagaman tema di tiap daerah akan disosialisasikan, selain aspek hukum yang kini coba disentuh, misal kejelasan kontrak kru film dengan perusahaan film. Tak kalah penting pendekatan pada pemerintah daerah, setidaknya selain bisa jadi unsur promosi, mereka bisa mensupport soal biaya produksi.

Pada akhirnya, film adalah produk budaya, yang bisa jadi mewakili wajah kita. Korea Selatan fokus dengan drakornya yang bisa membuat emak emak nangis kebo. Hollywood suka mengeksplorasi ragam super hero dari Superman sampai Spiderman. Bollywood beda lagi. Mosok film kita dari zaman dulu sampai sekarang tidak pernah punya karakter? Bahkan lebih banyak tema yang membodohi daripada mengedukasi. Kalau begini terus, apa kata dunia?

Meruya, 17 November 2024


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait