Kesaktian Pawang Hujan Mandalika dan Raja Canute | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Kesaktian Pawang Hujan Mandalika dan Raja Canute

Ceknricek.com--Kata sementara media di Indonesia, ketenaran balapan MotoGP di Mandalika agak tersingkir, gegara prestasi Pawang Hujan Mbak Rara, yang oleh sejumlah media di luar negeri diacungi jempol karena dinilai mampu dan berhasil mengusir hujan.

Nampak-nampaknya akan banyak pemimpin di Tanah Air, seperti Gubernur, Bupati dan bahkan barangkali saja Presiden pun di masa depan, kalau memerlukan suasana kering namun terancam oleh awan berarak, cenderung akan meminta Mbak Rara untuk menaklukkan fenoma alamiah itu.

Sebenarnya peranan pawang hujan di Indonesia bukanlah hal baru, meski sering tidak begitu berhasil, seperti Mbak Rara. Di Medan, penyelenggaraan keramaian tahunan, yaitu Pasar Malam di Lapangan Merdeka, niscaya akan mengikut sertakan pawang hujan.

Mungkin waktu itu, ketika penulis masih kecil, jarang-jarang hujan turun ketika Pasar Malam sedang berlangsung, karena keramaian itu memang diadakan di luar musim hujan, dan juga karena waktu itu, barangkali, belum ada “perubahan iklim”.             

Alhasil Mbak Rara kini niscaya akan banyak yang menganggapnya sakti, meski tidak sedikit juga yang menyesalkan perbuatan “klenik” seperti itu. Mungkin saja ada yang bertanya, kenapa Belanda bisa begitu lama menjajah Indonesia, pada hal negeri kita punya banyak dukun dengan kemampuan di luar nalar manusia?

Mungkin karena orang Belanda barangkali tidak percaya sama dukun, jadi tidak mempan didukuni. Namun dalam abad ke-12 para bawahan Raja Inggris (dan Denmark) Canute, sering melimpahkan berbagai pujian ke atas pimpinan mereka itu, antaranya bahwa “Sri Baginda niscaya akan mampu mengendalikan alam.”

Setiap kali Sri Baginda masuk ke dalam ruangan, maka niscaya akan berhamburanlah dari mulut para pembantunya tentang kesaktian sang Raja.

“Tuanku adalah manusia teragung yang pernah hidup," kata salah seorang di antara bawahannya itu.

“Wahai Sri Paduka yang Mulia, tak mungkinlah bakalan ada seseorang manusia lainnya yang seperkasa Tuanku,” kata yang lain.

“Yang Mulia tidak ada suatu apa pun yang tidak sanggup Paduka lakukan,” kata yang lain lagi.

“Canute yang Agung, Tuanku adalah raja diraja, di atas segala-galanya dan tiada suatu apa pun di bumi ini yang berani melawan Tuanku,” kata yang lain.

Alhasil para bawahan Raja Canute memang terkesan berlomba-lomba untuk mengumbar pujian ke atas diri Sri Baginda.Ternyata Raja Canute, sebagaimana halnya dengan Presiden Joko Widodo, adalah manusia yang punya pendirian dan tidak mungkin terumbang ambing oleh pujian-pujian yang pada hakikatnya hanya untuk ambil muka.

Mirip Presiden Joko Widodo, yang ketika mendengar kasak kusuk untuk mendorongnya agar memangku jabatan selama 3 periode, menegur mereka yang mengusung wacana seperti itu, dengan kata-kata penuh murka seperti “menampar muka”, “ambil muka” dan sejenisnya.

Begitulah dengan Raja Canute yang akhirnya bosan dengan segala pujian tidak masuk akal itu. Suatu kali ketika sedang berjalan-jalan di pantai, dengan diiringi oleh para pembantunya yang tidak tahu malu itu, Raja Canute berpaling kepada mereka dan bertanya:

“Jadi menurut kalian aku adalah manusia paling hebat di dunia?” tanyanya.

“Wahai Sri Paduka yang Mulia, belum pernah ada seseorang yang sehebat Paduka dan niscaya tidak bakalan pernah ada yang akan sehebat Sri Paduka,” kata mereka laksana paduan suara.

“Jadi menurut kalian, segala di alam ini akan ta’at dan patuh padaku?”

“Benar!” jawab mereka serentak.

“Kalau begitu,”kata Raja Canute, “bawalah kemari kursi kerajaanku.”

“Daulat Tuanku, segera akan kami laksanakan titah Sri Baginda,” sahut mereka secara serentak.

Ketika kursi sampai, Raja Canute menitahkan agar diletakkan ke tepi laut, karena air waktu itu sedang pasang naik. Raja Canute pun lantas duduk di kursi menjulurkan kedua belah kakinya, seraya berkata, “Aku melihat air pasang. Apakah pada hemat kalian kalau aku titahkan air pasang itu tidak akan berani naik sampai membasahi kedua belah kakiku?”

“Pastilah!” jawab mereka dengan penuh keyakinan.

Maka Raja Canute pun bertitahlah: “Aku perintahkan kepada riak dan ombak di laut ini, jangan sampai membasahi kedua belah kakiku!” titah Sri Baginda.

Namun air berangsur-angsur terus naik dan naik hingga akhirnya bukan saja kedua belah kaki beliau yang basah melainkan juga sampai ke betis Sri Paduka. Bukan alang kepalang gemparnya para pembantu sang Raja.

“Aah," kata Raja Canute, “Ternyata kekuasaanku hanya terbatas. Semoga kalian semua dapat menarik pelajaran dari peristiwa ini. Ingatlah hanya ada satu raja yang maha segala-galanya, yang segala-galanya berada di tangannya. Sembahlah Dia (Tuhan), dan hanya Dia!” kata Raja Canute.

Bukan alang kepalang malunya para pembantu Raja Canute mendengar sentilan tajam dari sang Raja.

Di zaman Rasulullah (saw) di Madinah juga pernah terjadi suatu peristiwa yang menyangkut diri Rasul. Sewaktu putra beliau Ibrahim (as) wafat kebetulan bertepatan dengan gerhana mata hari. Banyaklah penduduk Madinah yang kemudian menyimpulkan bahwa alam pun ikut berduka atas wafatnya putra Rasul (saw) itu.

Mendengar itu Rasul (saw) memberi teguran dan pencerahan secara halus dengan mengatakan, “Jangan dikait-kaitkan antara kedua kejadian itu, wafatnya putraku Ibrahim (as) dan terjadinya gerhana. Wafatnya putraku karena ajal, gerhana karena fenomena alam.”

Pengamat Islam dari Inggris William Monstgomery Watt, menanggapi penolakan Rasul (saw) itu berkomentar, “Sungguh Muhammad (saw) hebat. Ketika pengikutnya menganugerahi kepadanya gelar bahwa beliau sakti, beliau menolaknya.”

Tokoh Islam Mesir Rashid Ridha, dalam buku “Islamic Exeptionalism” karya Shadi Hamid mengatakan, “Rasul (saw) kurang suka mu’jizat yang pernah terjadi atas dirinya disebut-sebut, Beliau (saw) ingin agar orang melihat Islam sebagai agama yang rasional”. Wallahu a’lam.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait