Ketika Menunda Pemilu 2024 Menjadi Skandal Politik (2) | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Ketika Menunda Pemilu 2024 Menjadi Skandal Politik (2)

Mengapa Big Data Soal Percakapan di Media Sosial Tak Bisa Akurat Memotret Populasi Perilaku Pemilih ?

Ceknricek.com--Bagaimana dengan suara publik menyangkut penundaan pemilu? Jika para elit di belakang Jokowi terbelah, mereka pro dan kontra, bagaimana dengan publik sendiri?LSI Denny JA minggu lalu (Maret 2022) sudah mempublikasikan hasil risetnya. Mayoritas publik luas menolak penundaan pemilu dan juga menolak gagasan presiden tiga periode.

Ini datanya. Rata-rata, 68,5 persen populasi Indonesia menolak penundaan pemilu. Dan rata-rata 70,3 persen populasi Indonesia menolak gagasan presiden tiga periode. Sila pertama demokrasi dan juga reformasi, bahwa presiden hanya dibatasi dua periode saja dan itu lima tahun sekali, agaknya tertanam cukup dalam di benak populasi Indonesia. Ini juga hasil survei LSI Denny JA, mayoritas pendukung capres 2024 menolak pemilu ditunda. Data detilnya menunjukkan para pendukung Puan Maharani, sebanyak 50,8 persen menolak pemilu ditunda. Para pendukung AHY dari Demokrat juga sebanyak 78,3 persen menolak pemilu ditunda.

Kita lihat juga dalam data, pendukung Ganjar Pranowo, pendukung Prabowo, pendukung Anies Baswedan, pendukung Airlangga Hartarto, majority juga menolak ide penundaan pemilu ini. Tak hanya pendukung capres, tapi pendukung partai-partai pun, termasuk partai yang ketua umumnya pro kepada penundaan pemilu, pendukung dan pemilih partai itu, majority menolak pemilu ditunda. Pemilih PDIP 56,3 persen menolak pemilu ditunda. Pemilih PKS lebih tinggi lagi, 85,8 persen menolak pilpres ditunda. Bahkan Partai PKB dan PAN yang ketua umumnya begitu gigih mendukung dan pro kepada penundaan pemilu, tapi pemilih partai mereka justry majority menolak gagasan pemilu yang ditunda.

Ini lebih jauh lagi, bahkan mereka yang puas dengan kinerja Jokowi, yang menolak pemilu ditunda sebanyak 65,1 persen. Bahkan juga mayoritas pemilih Jokowi di tahun 2019, sebanyak 58,1 persen juga menolak pemilu ditunda.

-000-

Berdasarkan pada data inilah kemudian LSI Denny JA minggu lalu mempublikasikan ada empat alasan pada akhirnya isu penundaan pemilu akan menjadi layu sebelum berkembang. Ia akan hilang dan sirna sebelum gagasan ini sempat di-voting di badan MPR untuk mengubah amandemen. Mengapa demikian? Ini empat alasannya.

Pertama, menunda pemilu itu dianggap anti demokrasi. Clear, jelas di seluruh dunia, prinsipnya demokrasi itu justru menguat jika pemilu dilaksanakan secara reguler. Demokrasi menjadi kokoh jika pemilu dilakukan secara rutin, tanpa interupsi. Tentu saja pemilu bisa ditunda, tapi penundaannya hanya karena alasan yang sangat genting. Misalnya negara itu berada dalam kondisi perang yang panjang, sehingga mustahil untuk negara menyiapkan satu pola pemilu seperti negara normal. Di era perang, yang utama bagi mereka adalah survival. Dalam evolusi ide penundaan pemilu di Indonesia, kita tahu awalnya digunakan alasan karena Covid-19.

Alasan itu sudah ditolak oleh data. Bahkan di tahun 2022, puncak Covid sudah dilampaui karena begitu banyak populasi yang sudah divaksin. Dunia ramai-ramai menyatakan bahwa kita memasuki era endemi. Pandemi berakhir berganti dengan endemi. Covid akan terus bersama kita, mungkin sampai 100 tahun mendatang, tapi tak lagi bahaya. Puncak pandemi di tahun 2022 sudah dilampaui, apalagi di tahun 2024. Menggunakan isu Covid-19 untuk menunda pemilu, itu sangat menentang akal sehat. Itu menentang data yang telanjang, data yang terang benderang.

Digunakan juga kemudian isu ekonomi Indonesia porak-poranda, karena itu sebaiknya pemilu ditunda. Kita harus spending 100 triliun rupiah untuk pemilu. Argumen ini pun sama tak masuk akalnya. Dalam sejarah dunia, tak pernah pemilu ditunda oleh alasan ekonomi. Apalagi kita tahu di era ini juga bahkan kita memindahkan ibu kota yang biayanya lima kali lipat dari biaya untuk menyelenggarakan pemilu. Pemilu reguler yang tak ditunda itu amanah konstitusi. Apalagi Menteri Ekonomi Sri Mulyani menyatakan ekonomi Indonesia terus membaik.Tak ada alasan genting yang bisa membuat kita melawan sila pertama dari demokrasi dengan menunda pemilu.

Alasan kedua, seandainya pun ini ingin diubah, maka berarti mereka harus mengamandemen konstitusi. Sedangkan konstitusi hanya bisa diamandemen jika yang mendukung penundaan itu jauh lebih besar. Kenyataanya, yang kontra justru lebih banyak. Ada PDIP di sana, Nasdem, PKS, PPP, Partai Demokrat, semuanya kontra kepada penundaan pemilu. Yang pro selama ini terdengar hanya PAN dan PKB saja. Sementara Golkar berada di wilayah abu-abu. Kadang Golkar mendukung, kadang menolak. Jika trend ini masih berlanjut, di MPR pun yang pro pada penundaan pemilu, akan dikalahkan.

Alasan ketiga, publik luas juga kontra kepada penundaan pemilu. Mustahil terjadi perubahan mendasar dalam sistem politik Indonesia tanpa dukungan dari publik luas.

Alasan keempat, dan ini yang menjadi warning, menunda pemilu tanpa alasan yang kuat itu potensial menciptakan kerusuhan.

Di era ekonomi yang sulit seperti sekarang ini, publik luas itu rumput yang kering. Mereka mudah sekali terbakar. Isu menunda pemilu tanpa alasan yang kuat, tanpa kepentingan yang memaksa, mudah sekali dikemas menjadi kezaliman kekuasaan. Empat alasan inilah yang membuat kita merasa gagasan pemilu yang ditunda akan layu sebelum berkembang. Tak cukup alasan untuk menunda pemilu. Jika masih juga dipaksakan, maka ini akan berubah menjadi skandal politik (bersambung).

Baca Juga :Ketika Menunda Pemilu 2024 Menjadi Skandal Politik (3)


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait