Ceknricek.com -- Nama Gatot Subroto lebih banyak diingat orang sebagai nama jalan besar di beberapa kota di Indonesia dan rumah sakit kelas atas yang berada di Jakarta.
Lahir tepat pada tanggal hari ini, 112 tahun yang lalu, 10 Oktober 1907, Gatot Subroto memulai kariernya sebagai Tentara Hindia Belanda alias KNIL.
Dalam kesatuannya tersebut ia sering dijuluki "Sersan Gila" dan seorang yang keras kepala oleh komandan-komandannya.
Ketika Indonesia merdeka, Gatot juga dikenal sebagai jenderal yang cukup blak-blakan ketika berbicara. Dia memiliki panggilan keakraban untuk para bawahannya, yakni Monyet!
Si Tukang Kelahi dari Banyumas
Lebih dari satu abad yang lalu, bocah pribumi anak sulung dari Sayid Yudoyuwono, seorang guru di Tweede Inlandsche ini baru lulus dari Forbelschool atau Taman Kanak-kanak. Di kala itu, seorang guru merupakan sosok yang sangat dihormati oleh masyarakat.
Turunan priyayi ini kemudian diterima di sekolah Europe Lagere School (ELS) Banyumas. Sebuah Sekolah Dasar khusus elite Belanda yang hanya bisa dimasuki oleh beberapa anak pilihan dari pribumi.
Sumber: Wiki
Bocah ini bukanlah bocah pribumi biasa. Berbeda dengan kebanyakan bocah pribumi pada waktu itu yang siap sedia alias sendiko dawuh, Gatot Subroto kecil dikenal sebagai anak yang ‘mbeling’ dan gemar berkelahi.
Namun, mbelingnya Subroto adalah mbeling yang sembhada, kenakalan yang disertai tanggung jawab. Tidak tanggung-tanggung memang, kegemarannya berkelahi tidak hanya dilakukan melawan teman sebayanya yang pribumi saja. Ia juga berani berduel melawan anak-anak Belanda ketika di ELS.
Akibatnya memang fatal, Gatot dikeluarkan dari sekolah itu dikarenakan (ia sebagai pribumi) telah berani melawan anak Belanda tatkala masih kelas IV. Dari situlah kemudian Sekolah Dasarnya terpaksa diselesaikan di Hollandsch Indlandsche School (HIS ) di Cilacap.
Selepas lulus dari Sekolah Dasar ini Gatot enggan untuk meneruskan kembali sekolahnya. Ia lebih memilih untuk bekerja di kantoran. Namun lagi-lagi, iklim kantoran tidak cocok bagi Gatot yang suka petualangan. Ia kemudian memilih untuk masuk militer.
Sumber: Merahputih
Baca Juga: Kiprah Jenderal Moestopo, Pahlawan Nyentrik dari Kediri
Pada tahun 1928, Pemerintah Hindia Belanda memang membuka kesempatan bagi pribumi berijazah rendah untuk memasuki pendidikan militer. Kesempatan itu dimanfaatkan Gatot.
Dia kemudian diterima sebagai siswa Cader School di Magelang. Meskipun demikian ia sempat ditentang oleh ayahnya yang tak suka Gatot masuk pendidikan Koninklijk Nederlands lndische Leger (KNIL) buatan Belanda tersebut.
Bagi sang ayah, profesi militer adalah profesi yang hina pada waktu itu meskipun gajinya tergolong bagus. Menurut Budiardjo dalam biografinya, Siapa Sudi Saya Dongengi (1996), gaji Sersan KNIL jelang 1940 setidaknya 60 Gulden.
Lulus Dengan Pangkat Sersan Dua
Setelah tiga tahun dididik disekolah militer, Gatot lulus dengan pangkat sersan kelas dua atau sersan dua. Ia kemudian ditugaskan di Padang Panjang, Sumatera Barat selama lima tahun di tempat lahirnya sastrawan besar A. A Navis, sebelum akhirnya dikirim ke Sukabumi, Jawa barat untuk mengikuti pendidikan Marsose.
Pendidikan di Sukabumi ditempuh Gatot dengan cukup mudah. Setelah itu ia ditempatkan di Bekasi dan Cikarang. Pada waktu itu daerah ini terkenal dengan lintah daratnya yang cukup meresahkan masyarakat. Dari gaji kantongnya, Gatot pun tak segan-segan menolong mereka yang terkena jerat para lintah darat dengan sesekali membantu mereka melunasi utangnya.
Sumber: kotatoea.com
Ketika Pecah Perang Dunia II, Gatot dikirimkan ke Ambon untuk menahan serdadu yang masuk lewat laut. Namun dalam tempo yang singkat, pasukannya dikalahkan armada laut Jepang. Mereka pun tercerai berai.
Untuk menghindari pembunuhan ia mencopot seragamnya dan menyingkir dari Makassar untuk kemudian pulang kembali ke Jawa dengan menggunakan kapal. Di Kota Daeng ini, sebelum pulang ia menyempatkan diri berziarah ke makam Pangeran Diponegoro.
Baca Juga: Sepak Terjang Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani
Sesampainya di Banyumas, Gatot disambut penuh suka cita oleh keluarganya karena dianggap tewas dalam perang di Front Pasifik. Ia pun kembali menjadi orang sipil alias freeman atau preman di Banyumas. Tetapi status itu tidak berlangsung lama karena ia dipercaya Bupati Banyumas, untuk menangani ketertiban sebagai Kepala Polisi.
Semasa pendudukan Jepang, Gatot bergabung dengan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1943. Setelah mengikuti latihan selama enam bulan sebagai Chudanco (Komandan Kompi) dia kembali ke tanah kelahirannya, dan kemudian diangkat menjadi Daidanco (Komandan Batalyon).
Sumber: Biografiku
Di awal kemerdekaan, Batalyon pimpinannya ikut masuk ke Tentara Keamanan Rakyat. Ia juga sempat diangkat sebagi Kepala Siasat oleh Jenderal Soedirman (yang lebih muda darinya) dalam pertempuran di Ambarawa.
Setelah pertempuran yang berlangsung pada 21 November 1945-15 Desember 1949 (masa revolusi) ini Gatot kemudian dinaikkan jabatannya dengan pangkat Kolonel. Sebagai Komandan Divisi V Purwokerto, ia sering mengadakan inspeksi ke barak dan berkeliling daerah dengan menunggang kudanya.
Dari sinilah ia kemudian dikenal sebagai Koamandan yang dekat dengan bawahannya. Ada kalanya ia juga memanggil mereka dengan monyet.
“Gatot Subroto terkenal mudah bergaul dengan bawahan-bawahannya, akan persahabatannya yang kasar dan keras. Kekerasan dan kesukaannya menggunakan kata-kata mesum, meningkatkan reputasinya sebagai seorang komandan pasukan infanteri yang efektif,” tulis Peter Britton berdasar pengakuan Brigadir Jenderal Suprapto, seperti ditulis dalam Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia (1996).
Sumber: Okezone
Tahun 1953, Gatot mundur dari ketentaraan dan tinggal di Ungaran, Jawa tengah. Namun ia kembali dipanggil pada 1956 untuk menjadi Wakil KSAD. Pangkat terakhir yang disandangnya adalah Letnan Jenderal. Sosoknya yang blak-blakan dan berangasan juga sempat tergambarkan dalam film Kereta Api Terakhir (1981) yang diperankan oleh Sundjoto Adibroto.
Pada tanggal 11 Juni 1962, Jenderal yang memiliki jenggot lebat itu tutup usia dalam usia 54 tahun setelah menderita serangan penyakit jantung. Sesuai pesannya, jenazahnya dimakamkan di Ungaran. Seminggu kemudian, untuk menghormati jasa-jasanya Gatot Subroto kemudian diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 18 Juni 1962.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.