Frank Zappa-nya Indonesia ini lahir tepat pada tanggal hari ini 68 tahun silam, 10 September 1951, di Bandung. Selama hidupnya ia tidak hanya fokus menciptakan musik, tapi juga membuat kelompok teater dan lantang mengkritik Orde Baru.
Keluarga Terpandang
Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli lahir dari keluarga yang terpandang. Ayahnya, Roeshan Roesli, adalah Mayor Jenderal Purnawirawan TNI. Sementara Ibunya, Edyana, seorang dokter. Kakeknya, Marah Roesli, merupakan sastrawan Pujangga Baru yang menulis Sitti Noerbaja (1922).
Sumber: CNN
Perkenalan Harry dengan dunia musik terjadi kala ia mulai rutin mendengarkan The Rolling Stones, Gentle Giant, hingga John Milton Cage Jr. Di antara banyak musisi yang ia dengarkan, Harry terpikat pada sosok Frank Zappa.
Baca Juga: Kiprah dan Kematian Raja Rock n Roll Elvis Presley
Seiring bertambahnya usia, ia pun tumbuh dalam pendidikan yang baik, hingga diterima di Teknik Mesin Institut Teknik Bandung (ITB). Namun, di saat yang sama kecintaannya terhadap musik membuatnya mbalela terhadap orang tuanya. Ia memilih meninggalkan ITB dan kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Sebelumnya, keinginan untuk memilih musik sebagai bekal hidupnya mendapat penolakan keras dari kedua orang tuanya. Bagi mereka bermain musik cukuplah sebatas hobi. Namun, setelah diyakinkan oleh Harry dan didukung oleh ketiga kakaknya, ia pun diizinkan menggeluti musik.
Motivasi tersebut membuat Harry terus mempelajari dan mengembangkan musik hingga menerima beasiswa mendalami musik di Rotterdam Conservatorium, Belanda pada 1978. Ia mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM). Harry hanya butuh waktu tiga tahun untuk menyelesaikan proses belajar dan meraih gelar doktoralnya.
Sumber: CNN
Sekembalinya ke Indonesia pada 1981, dengan semangat yang meluap-luap Harry melahirkan berbagai karya, baik musik dan teater. Tidak hanya itu, ia juga mulai aktif mengajar di jurusan seni musik di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan Universitas Pasundan Bandung.
Karya dan Protes Sosial
Proyek pertama Harry Roesli lahir tatkala Ia memulai dengan membentuk Gang of Harry Roesli pada 1971 hingga akhirnya merilis album Philosophy Gang dua tahun sesudahnya. Di sinilah ia membuat geger dunia musik.
Di album ini Harry bersama Indra Rivai, Hari Pochang, Albert Warnein, Janto Seodjono, dan Dadang Latiev menelurkan tujuh komposisi musik, lima di antaranya ditulis Harry dan sisanya dibikin Albert.
Lewat album Philosophy Gang ini, diperdengarkan bagaimana jeniusnya Harry dalam meramu paduan antara rock dengan blues, funk, dan jazz. Jika tidak percaya, simak saja nomor-nomor musiknya seperti; Don’t Talk About Freedom, Peacock Dog, hingga Malaria. Hasil musiknya dinilai sangat magis.
Namun sayangnya, perjalanan The Gang of Harry Roesli ini cuma bertahan selama lima tahun. Penyebabnya dikarenakan Harry mulai sibuk dan mefokuskan diri pada kelompok teater Ken Arok.
Dikutip dari Tirto, menurut penuturan Pochang, Ken Arok bisa dibilang salah satu proyek ambisius Harry. Kata Pochang, Teater Ken Arok terinspirasi oleh pementasan bertajuk Jesus Christ Superstar yang dibawakan Remy Sylado dan kelompoknya di Orexas pada 1973.
Baca Juga: Kurt Cobain, Legenda Musisi Grunge Dunia
Pertunjukan Rock Opera Ken Arok kemudian diadakan di Gedung Merdeka Bandung, meskipun Ia lebih cenderung menamai kegiatan tersebut wayang orang kontemporer. Pergelaran yang banyak menarik perhatian itu kemudian dipentaskan ulang pada 2 Agustus 1975 di Balai Sidang Jakarta dan Semarang setahun sesudahnya.
Sumber: Meta Ruang
Meskipun Harry mulai disibukkan oleh teater ia tidak serta merta meninggalkan musiknya. Dengan konsisten meramu musik dan menyelami dimensi-dimensinya yang lain, ia kemudian menghasilkan album terbaik Titik Api dan tentu saja Ken Arok sebagai karya magnum opus-nya yang lain.
Dalam dua album tersebut, Harry mengawinkan rock dan bebunyian karawitan Sunda secara apik dan bernas hingga menghasilkan musik yang sangat megah. Denny Sakrie pun menuliskan ulasan terhadap album Titik Api di dalam blognya:
“Titik Api merupakan salah satu karya terbaik Harry Roesli di masa hidupnya. Musik yang disajikan cenderung eklektik. Mungkin ini semacam indikasi bahwa seorang Harry Roesli adalah sosok musisi yang luas wawasan musiknya. Dia pun memiliki visi yang jelas: penggugat. Larik lagunya memang menunjukkan betapa Harry adalah sosok yang rebel tapi sekaligus juga seorang satiris sejati”.
Di balik musik dan teaternya, Harry memang selalu menyisipkan kritik sosial dan protes-protesnya terhadap Orde Baru. Sikap kritis ini bukannya tanpa hadangan. Berkali-kali ia terciduk dan kena sensor oleh aparat Orba akibat muatan karyanya yang terlalu vulgar. Namun, berkat lobi-lobi politik ayahnya yang seorang militer ia kemudian dibebaskan.
Akhir Hayat
Sosok Harry Roesli memiliki banyak dimensi dalam kehidupannya hingga diasosiasikan dalam sebuah komunitas. Segala bentuk kegiatan berkesenian yang terjadi di dalamnya dihimpun dalam Rumah Musik Harry Roesli (RMHR). Di dalam tubuh RMHR terdapat banyak produk, salah satunya adalah Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang banyak melatih anak-anak jalanan untuk bermusik.
Sumber: Istimewa
Baca Juga: Mengenang Benyamin Sueb; Si Biang Kerok yang Melegenda
Pada tahun 1981 Harry menikah dengan Kania Perdani Handiman. Mereka dikaruniai dua anak lelaki kembar, Ayala Khrisna Patria dan Lahami Khrisna Parana. Kedua putranya tidak secara formal memperlajari seni, tetapi sampai saat ini mereka menjadi penerus salah satu cita-cita Harry yang memiliki empati terhadap anak-anak jalanan untuk dibina.
Harry Roesli wafat pada 11 Desember 2004, dalam usia 53 tahun sekitar pukul delapan malam di Rumah Sakit Harapan Kita. Dunia musik Tanah Air pun berduka. Ia dimakamkan di pemakaman keluarga di kawasan Gunung Batu, Ciomas, Bogor, Jawa Barat.
Salah satu seniman yang cukup terpukul dengan kepergian Harry adalah Nano Riantiarno. Pemimpin Teater Koma yang sebelumnya juga sering berkolaborasi dengan Harry ini, merasa kepergian musisi dengan cambangnya yang khas ini, terlalu cepat pergi. Namun, di akhir catatannya Nano menuliskan bahwa Harry tidak pernah mati. "Ia akan abadi bersama musik dan batin saya," ucapnya.
Tentu saja masih ada banyak kisah dan sumbangsih Harry Roesli yang masih bisa digali, namun setidaknya kini generasi milenial bisa mengenal dan mengetahui bahwa Indonesia pernah memiliki musisi sekaligus "filsuf" yang gayanya nyentrik dan dianggap "sangar" itu.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.