Ceknricek.com -- Satu hari sesudah pekik kemerdekaan Indonesia digaungkan dari Jalan Pegangsaan Timur sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 24, maka dilantiklah Prof. Dr. Mr. Kusumah Atmaja oleh Presiden Soekarno sebagai ketua Mahkamah Agung (MA) pertama di Indonesia.
Sumber: Istimewa
Mahkamah Agung, yang merupakan lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan dan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi akhirnya dibentuk dan didirikan oleh Kusuma Atmaja, 74 tahun silam tepat pada tanggal hari ini 19 Agustus 2019.
Riwayat Kusumah Atmaja
Mr. Kusumah Atmaja lahir di Purwakarta, Jawa Barat, 8 September 1898, dan wafat di Jakarta, 11 Agustus 1952. Ia lahir dan berasal dari keluarga terpandang sehingga digelari Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja (ejaan lama).
Sebagai keturunan bangsawan, ia berkesempatan mendapat pendidikan dalam pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1913, ia telah memperoleh gelar diploma dari Rechtshcool atau Sekolah Kehakiman (sekarang FH UI).
Lulus pendidikan, ia mengawali kariernya sebagai pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan di Bogor (1919). Pada tahun itu juga, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan hukumnya di Universitas Leiden, Belanda.
Sumber: Pahlawancenter
Sepulang dari Belanda, Kusumah Atmaja mendapat gelar Doctor in de recht geleerheid dari Universitas Leiden pada tahun 1922 dengan disertasi berjudul De Mohamedaansche Vrome Stichtingen in Indie (Lembaga Ulama Islam di Hindia Belanda), yang menguraikan Hukum Wakaf di Hindia Belanda.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Universitas Leiden itulah ia dipercaya menjadi hakim di Raad Van Justitie (setingkat Pengadilan Tinggi) Batavia era Pemerintahan Hindia Belanda. Setahun berikutnya ia kemudian diangkat menjadi Voor Zitter Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) di Indramayu.
Setelah pemerintahan Belanda berakhir dan digantikan pemerintahan Jepang, Kusumah Atmaja tetap berkarier di pengadilan hingga pada 1942. Ia menjabat sebagai ketua Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) di Semarang. Selain itu ia juga pernah menjabat Hakim Pengadilan Tinggi Padang, Hakim PT Semarang, serta Pemimpin Kehakiman Jawa Tengah pada 1944.
Menjadi Anggota BPUPKI
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Koesoemah Atmaja menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang terbentuk pada tanggal 29 April 1945.
Setelah Indonesia merdeka, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 24, Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan Kehakiman tertinggi. Kusumah Atmaja ditugaskan untuk ikut membentuk lembaga peradilan Indonesia tertinggi tersebut.
Selama masa berdirinya, Mahkamah Agung pernah berkedudukan dalam pengungsian selama tiga setengah tahun yakni di Yogyakarta sejak bulan Juli 1946. Kemudian, dalam kepemimpinan Kusumah Atmaja dikembalikan lagi ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya Konferensi Meja Bundar dan pemulihan Kedaulatan.
Sumber: Pengamat Sejarah
Baca Juga: MA Luncurkan Aplikasi Sipermari
Dalam proses pemindahan inilah ia juga diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama pada tahun 1950. Namun, masa tugasnya sebagai Ketua MA hanya sekitar dua tahun, ia tutup usia pada 1952.
Ketua MA pertama Indonesia itu meninggal pada tanggal 11 Agustus 1952 di Jakarta. Almarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Posisinya sebagai ketua MA kemudian digantikan Mr. Wirjono Prodjodikoro (1952-1966).
Selama hidupnya, selain aktif dalam dunia peradilan, dia juga mengabdikan diri sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan Guru Besar Sekolah Tinggi Kepolisian. Sebagai penghargaan atas jasa dan pengabdiannya, Pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI no 124/1965.
Menolak Kehendak Penguasa
Ketika menjabat menjadi Ketua Mahkamah Agung pada 1946, Kusumah Atmaja sempat menangani kasus kudeta pertama terhadap kabinet yang dipimpin Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri tatkala ‘Bung Kecil’ itu diculik ke Boyolali oleh sekelompok orang.
Kasus yang ditanganinya ini merupakan upaya penggulingan pemerintah yang dimotori oleh seorang petinggi militer bernama Mayor Jenderal Soedarsono yang menginginkan kembalinya sistem pemerintahan Indonesia kembali pada format Presidensil.
Latar belakang penculikan terhadap Sjahrir oleh kelompok oposisi yang menamakan dirinya Persatuan Perjuangan itu dipicu oleh tidak puasnya mereka terhadap diplomasi yang dilakukan kabinet Sjahrir ketika menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari Belanda.
Baca Juga: Akhir Perjalanan Sutan Sjahrir, Bung Kecil yang Berjiwa Besar
Tuduh menuduh pun terjadi dalam kasus ini, dimana nama Tan Malaka sempat dituding sebagai aktor di balik penculikan, bahkan hingga Panglima Besar Jenderal Soedirman. Namun, drama ini berakhir hingga ditangkapnya Mayjen Soedarsono beserta kolega-koleganya hingga diajukan ke Mahkamah Tentara Agung yang diketuai Kusumah Atmaja.
Mereka yang telibat dalam kudeta ini ternyata merupakan orang dekat Presiden Soekarno, seperti M. Yamin, Iwa Kusuma Sumantri, Achmad Soebardjo, Budiarto Martoatmojo, Buntaran Martoatmojo, R. Muhammad Saleh, dan sejumlah tokoh lain.
Sumber: Istimewa
S.Pompe menulis Dalam buku The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collaps (2005;41), Soekarno yang kala itu dikisahkan murka ketika upaya kudeta 1946 tersebut kemudian berusaha mendekati Kusumah dan memintanya agar bertindak lebih ‘lembut’ kepada para terdakwa.
Permintaan itu pun ia tolak mentah-mentah. Ia bahkan mengancam akan mundur dari jabatannya jika presiden Soekarno turut dan ikut campur dalam kasus tersebut. Baginya, independensi institusi kehakiman tidak boleh diintervensi oleh pihak mana pun, termasuk Presiden.
Pengadilan pun tetap digelar, Kusumah Atmaja kemudian menjatuhkan vonis tegas kepada para terdakwa. Soedarsono dihukum 4 tahun penjara serta dipecat dan dicabut hak dan jabatannya diketentaraan. M. Yamin 4 tahun penjara, dan Budiarto Martoatmojo dibui 3 tahun 6 bulan.
Sementara itu, Achmad Soebardjo dan Iwa Kusuma Sumantri mendapat masing-masing ganjaran 3 tahun penjara. R. Muhammad Saleh kurungan selama 2 tahun 6 bulan, dan Buntaran Martoatmojo menjalani 2 tahun pemenjaraan ( Restu Gunawan, Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, 2005:72).
Dalam kiprahnya, Kusumah Atmaja memang dikenal sebagai orang yang berwatak keras dan berpendirian teguh dalam menegakkan keadilan. Hal ini terlihat dengan caranya yang memilih mundur dari jabatannya tatkala ada intervensi dari presiden. Meskipun demikian Bung Besar sepertinya juga menghormati keputusan itu. Kusumah Atmaja tetap menjabat sebagai ketua MA sampai akhir hayatnya.
BACA JUGA: Cek HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini