Kompolnas Menghalangi Proses Hukum? | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Kompolnas Menghalangi Proses Hukum?

Ceknricek.com -- US Penal Code Article 18 mendefinisikan obstruction of justice “An act that corruptly or by threats of force, or by any threatening letter of communication, influences, obstructs, or impedes, or endeavour to influences, obstruct, or impedes the due administration of justice.” Panjang definisinya. Tapi, singkat kata, dalam hukum pidana kita “obstruction of justice” diartikan Tindak Pidana menghalangi proses hukum.

Selama satu bulan publik kita disuguhi narasi atau komunikasi yang SANGAT INTENSIF sekitar pembunuhan Brigadir Joshua yang terjadi pada 8 Juli 2022. Komunikasi dari berbagai sumber, namun secara garis besar sumber-sumber itu dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok: kelompok keluarga Joshua yang diback-up oleh mayoritas masyarakat Indonesia (khususnya media dan pengamat), dan kelompok kedua oleh komunitas Polri, khususnya penegak hukum Polri.

Meminjam teori yang bersumber dari Dr. Rocky Gerung, Dosen Filsafat Universitas Indonesia, komunikasi tentang satu masalah secara garis besar dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok, masing-masing disebut scene, dan obscene. Teori Rocky bersumber dari teori komunikasi Yunani ribuan tahun yang lalu.   Secara harafiah, scene berarti setting atau tempat terjadinya suatu kejadian berlangsung. Obscene (kata sifat), sebenarnya, cabul, kotor dari aspek sex; sedang obscenity (kata benda) cabul. Misalnya, sebuah gambar (oleh masyarakat kita umumnya) disebut obscene jika memperlihatkan buah-dada wanita secara vulgar, apalagi mempertontonkan vaginanya secara ……

Tapi, dalam ilmu komunikasi menurut komunikasi Yunani kuno, scene berarti narasi utama/pokok; sedang obscene tambahan, embel-embel tentang narasi pokok itu. Contoh: pernyataan Kapolres Jakarta Selatan tanggal 11 Juli 2022 kepada media massa tentang kematian Brigadir Joshua disebut scene, narasi pokoknya. Komunikasi, atau macam-macam narasi lainnya yang “memperjelas” scene tersebut disebut obscene. Sengaja saya berikan tanda kutip pada kata “memperjelas” karena pernyataan-pernyataan yang keluar dari berbagai sumber lainnya, khususnya dari Polri, ternyata bukan memperjelas, melainkan justru mengaburkan cerita pokok tentang kematian Joshua.

Pernyataan bahwa CCTV di rumah dinas Irjenpol Sambo hilang atau dicopot seseorang, kemudian dikatakan “sudah ditemukan” CCTV itu disebut obscene. Bantahan keluarga Joshua bahwa Joshua tewas secara tidak wajar, apalagi hasil otopsi jenazah ke-2 yang menunjukkan otak Joshua ternyata sudah hilang, ditemukan lobang di bagian otak yang menembus ke hidung ….. semua itu disebut obscene, terlepas dari benar-tidaknya pernyataan-pernyataan itu.

Pernyataan-pernyataan scene dan obscene selama 1 bulan seperti saling “berperang”: tiap hari bertebaran, bahkan memang saling “berperang” satu sama lain sehingga publik pusing dan bertanya-tanya: mana yang benar, mana yang menyesatkan dan mana yang jahat.

“Perang” antara scene dan obscene – dari kaca mata hukum – mestinya diselesaikan, sekaligus dimenangkan oleh proses hukum, dengan Majelis Hakim yang memutus dalam bentuk Keputusan Hakim yang memiliki ketetapan hukum tetap. Toh publik makin lama makin tidak sabar, karena kebohongan demi kebohongan makin TERBUKA di sisi obscene.

Dalam kasus kematian Brigadir Joshua, Kapolri selaku pimpinan tertinggi Polri dengan cepat membentuk Timsus, Tim Khusus yang diketuai oleh Wakil Kapolri, dengan tujuan mencari kebenaran seputar kematian Joshua.   Namun, tindak-tanduk Timsus, atau obscene yang dilancarkan Timsus – juga oleh anak-buah Irjenpol Sambo – meski bukan anggota Timsus --, makin lama makin kehilangan wibawanya; makin lama makin terang upaya cover-up-nya atau upaya sandiwara yang dimainkannya. Begitulah komunikasi obscene, pada umumnya, maka makin lama makin kehilangan kepercayaannya dari publik.

Namun, Kapolri – sesuai perintah Presiden Joko Widodo – berusaha sekuatnya untuk memperlihatkan keseriusannya menegakkan kebenaran dan mencari justice, kebenaran dan keadilan, dalam kasus kriminal yang mungkin paling HEBOH sejak RI merdeka 77 tahun yang lalu. Kenapa ? Makin lama, publik makin curiga di mana sesungguhnya posisi Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam kasus ini mengingat kedekatan hubungan beliau selaku Kapolri dan Kadiv Propam, Irjenpol Sambo.

Di atas scene dan obscene, ada satu terminology yang sangat penting dalam ilmu hukum, yaitu Obstruction of Justice, Tindakan pidana menghalangi hukum. Dalam kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang Presiden Amerika sekitar 20 tahun yang lalu, sang presiden mati-matian membantah. Tapi, Jaksa independen yang ditunjuk Kongres Amerika bekerja mati-matian dengan menyerahkan kepintaran dan profesionalitasnya – tidak seperti di negara kita, istilah “criminal justice” dalam menangani kasus kriminal tidak lebih jargon semata. Akhirnya, sang presiden ditohok tidak bisa mengelak lagi, pasal yang dituduhkan kepada Presiden adalah Pasal 18 US Penal Code, obstruction of justice. Oleh Jaksa Independen, Presiden dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana menghalangi hukum. Dia KO dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya saja, Presiden tersebut dengan cepat mengundurkan diri, sehingga lolos dari penjara.

Dalam upaya mencari kebenaran dibalik tertembak matinya Brigadir Joshua, Timsus yang dibentuk Kapolri juga melibatkan Kompolnas dan Komnas HAM. Namun, beberapa anggota Kompolnas, terutama yang berasal dari pensiunan Polri, jelas berusaha memihak ke sisi yang tidak benar. Benny Mamoto, misalnya, jika diusut tuntas, mungkin bisa terjerat pasal 221 KUHP, tindak pidana menghalangi hukum. Di layar satu televisi, Benny pernah mengatakan tegas tidak ada indikasi Joshua dianiaya berdasarkan visum. Padahal makin lama makin terbuka Joshua mengalami penganiayaan, entah sebelum atau setelah ditembak mati. Tidak ada bukti terjadinya penyesatan kisah (narasi) tentang penembakan Brigadir J. Artinya, semua yang disampaikan pimpinan Polri perihal kematian Brigadir J adalah benar menurut Benny Mamoto.

Kini setelah Bharada E buka suara, bahkan menyatakan siap jadi Justice Collaborator, narasi dalam obscene seolah terbalik semua. Bharada E rupanya sakit hati karena ditetapkan sebagai tersangka. Ia dengan tegas mengaku di dapan penyidik bukan yang menembak mati Joshua. Sekarang terungkap lagi satu pengakuan, ada pihak ketiga yang menembak mati Joshua. Siapa yang memindahkan, memeriksa dan menempatkan lagi CCTV, pihak penyidik kini sudah tahu, semua berbeda jauh dari narasi awal, narasi obscene dari pihak kepolisian.

Oleh sebab itu, Prof. Mahfud selaku Ketua Kompolnas, sekaligus Menko Polhukam, perlu segera membersihkan nama baik Kompolnas, jangan sampai Kompolnas hanya “mengekor” Polri. Narasi obscene yang penuh kebohongan dalam masalah apa pun tidak akan bertahan lagi sebab “bau busuk pasti akan tercium juga oleh publik”, kata Prof. Sahetapy (alm), Guru Besar Hukum Pidana yang cemerlang dan penuh integritas.*

#Prof. Dr. Tjipta Lesmana, BcHk., M.A. (Anggota Komisi Konstitusi MPR 2004, Dosen Tamu Sespim dan Sespati, Polri)


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait