Kota Jakarta Bukan Milik Satu Kelompok | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak

Kota Jakarta Bukan Milik Satu Kelompok

Ceknricek.com - Gubernur Anies Baswedan merasa mendapat berkah Ramadhan. Dia merasa bersyukur setelah Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menyatakan pemerintah provinsi  DKI Jakarta meraih opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan tahun anggaran 2017.

Ini prestasi  cukup berarti karena empat tahun sebelumnya, DKI selalu mendapat penilaian  wajar dengan pengecualian (WDP). "Ini rasanya seperti betul-betul berkah Ramadhan. Kerja keras berapa bulan terakhir ini menghasilkan prestasi membanggakan," kata Anies kepada wartawan di gedung DPRD DKI, Senin (28/5).

Sejak Joko Widodo menjadi gubernur DKI Jakarta, laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta mendapatkan predikat wajar dengan pengecualian (WDP) dari BPK. WDP pertama diterima untuk laporan keuangan tahun anggaran 2013.  Pemprov DKI Jakarta lagi-lagi mendapat predikat WDP pada laporan keuangan tahun anggaran 2014. Saat pemerintahan dipimpin oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, laporan keuangan terus-menerus meraih predikat WDP.

Anies menyampaikan terima kasih kepada Wakil Gubernur Sandiaga Uno yang memimpin  rapat pengawasan atas semua rencana aksi untuk mendapat WTP. "Yang kami jadikan hikmah dari capaian WTP ini adalah begitu ada kemauan maka ada jalan," ujar Anies.

Prestasi lainnya, Anies memperoleh penghargaan Universal Health Coverage (UHC) yang diberikan secara langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Rabu (23/3).

Sebelum pemberian predikat WTP diumumkan, tim redaksi Ceknricek.com, Marah Sakti Siregar dan Rihad Wiranto sempat menemui Gubernur Anies Baswedan dalam sebuah wawancara khusus di Balai Kota, Jakarta, Sabtu (26/5). Anies menjelaskan berbagai  pelaksanaan program pembangunan sejak Oktober 2017 hingga sekarang. Wawancara berlangsung satu jam lebih, dan berikut beberapa petikan wawancara tersebut:

Apa arti UHC Award bagi Anda?

Keberhasilan meraih penghargaan UHC ini menjadi pesan yang jelas bahwa pemerintah provinsi DKI Jakarta membangun manusianya. Sebenarnya asal menunjukkan KTP, penduduk Jakafrta akan mendapat  pelayanan kesehatan. Tetapi dengan KJN-KIS, mereka akan mendapat pelayanan lebih baik.

Bulan November 2017, warga Jakarta yang menjadi peserta baru mencapai 8.141.263 orang atau 78, 78 persen. Bulan Mei 2018, jumlah peserta melonjak hingga 10.146.399 orang atau setara 98, 19 persen. Jadi, naik 20 persen dalam 7 bulan terakhir ini. Untuk program itu kami menambahkan dana sekitar Rp1,5 triliun.

Saat memberi trofi, Presiden juga kaget. Kok tinggi sekali? Karena Beliau kan pernah menjadi Gubernur DKI tahu betapa sulitnya.

Apa strategi untuk mengajak warga menjadi peserta KJN-KIS?

Saya melakukan langkah progresif sejak Januari 2018.  Lurah didorong untuk mendata warga. Program ini juga dimasukkan dalam indeks penilaian kinerja lurah sehingga mereka lebih semangat. Petugas juga melakukan ‘jemput bola’ dengan mendatangi warga agar mau masuk menjadi peserta.

Dalam tujuh bulan ada dua  juta warga terjangkau. Kebutuhan untuk sehat kini terjamin. Ini adalah bentuk keseriusan kami, bahwa jika sakit ada jaminan bagi warga. Tentu kami  tidak mengharapkan warga sakit. Karena itu kami juga melakukan berbagai langkah preventif yang sedang digarap.

Apa Bapak juga meninjau pelaksanaan di lapangan?

Saya pernah berkunjung ke daerah pesisir di Jakarta Utara. Saya ngobrol dengan pemilik warung. Dia bilang ‘suami saya menderita ginjal. Saya diabetes. Alhamdulillah ada kartu.’ Dia harus suntik insulin dua kali sekali tanpa mengeluarkan uang.

Ukurannya sederhana. Kalau ada orang bilang ‘Alhamdulillah untung hidup di Jakarta,’ itu bagus. Tapi kalau sebaliknya yang terjadi, misalnya orang itu bilang ‘Aduh benar hidup di Jakarta’, itu berarti kamik belum beres.

Bagaimana dengan masalah pendidikan di Jakarta?

Kami juga memiliki pekerjaan rumah di bidang pendidikan. Di Jakarta ini, dua dari tiga siswa ternyata tidak lulus Sekolah Menengah Atas. Bahkan di Jakarta Utara ada separuhnya. Di Jakarta Barat juga hampir sama. Ini masalah. Tapi masalah pendidikan tak sama dengan  kesehatan. Mereka sudah di luar sekolah. Teorinya, mereka tinggal dipanggil ke sekolah. Tapi itu sangat sulit karena mereka bisa jadi sudah lama tidak sekolah. Maka dari itu, kami melaksanakan program Kejar Paket dan pelatihan keterampilan. Bagi yang masih sekolah jangan sampai putus sekolah.

Pembangunan di Jakarta idealnya seperti apa?

Kami ingin membangun kota Jakarta yang berkeadilan. Adil bagi semua orang. Kota yang memberi kesempatan kepada semua orang. Baik yang sudah makmur atau maupun yang sedang menuju sejahtera. Harus ada kesadaran bersama, bahwa kota Jakarta adalah ibu kota untuk semua orang. Jangan menganggap remeh mereka yang menuju sejahtera.

Saat kami baru menjabat gubernur,  ada peraturan jalan Thamrin-Sudirman tak boleh dilewati roda dua. Kami menganggap mereka yang  punya kendaraan roda dua atau empat mempunyai hak yang sama menggunakan jalan umum di Jakarta. Makanya kami buka jalan itu kembali.

Di jalan Sudirman-Thamrin terdapat 480 ribu pengantaran oleh kendaraan roda dua. Itu berupa pengantaran makanan kecil, makanan siang, makan sore, dan juga  antar orang.

Itu semua adalah ekonomi mikro. Kalau jalan ditutup, apa yang terjadi dengan keseluruhan ekonomi mikro itu? Makanya kesempatan harus diberikan kepada semuanya.

Kita kadang sensitif pada pelanggaran rakyat kecil dibandingkan rakyat besar. Kalau ada pedagang kecil membuka lapak di pinggir jalan, kita lalu mengambil foto dan diviralkan. Benar, pedagang itu memang melanggar, tapi bagaimana dengan gedung di belakangnya. Mereka menyedot air hingga hingga 200 meter. Kita lebih sensitif kepada rakyat kecil.

Padahal tanah Jakarta turun 7 cm per tahun. Mereka yang melakukan penyedotan air secara masif. Pedagang yang di depan melanggar karena kebutuhan, yang di belakang karena keserakahan.

Saya ingin tegaskan bahwa ibu kota ini bukan milik mereka yang sudah makmur. Mari berbagi tempat di sini. Dulu kita juga nggak sejahtera kok. Coba ingat saat ke Jakarta pertama kali. Kita numpang di rumah keluarga, naik bis, nggak punya motor, nggak punya mobil. Sekarang sesudah  makmur terus menganggap ini kota kami. Jangan penuhi kota kami.

Pemerintah harus adil kepada semua. Kami ingin hidup teratur tapi tidak dengan memindahkan  mereka yang tidak sejahtera keluar dari Jakarta.

Penataan Tanah Abang juga menggunakan filosofi ‘kota untuk semua’?

Ya. Kita mencoba menyelesaikan akar masalah di Tanah Abang. Di sana ada dua pertemuan dua kegiatan. Satu kegiatan transportasi dan yang kedua adalah perdagangan.

Di stasiun Tanah Abang ada 178 ribu orang keluar masuk. Akhinya, angkot berhenti di sana, ojek ngetem. Orang berdagang karena banyak orang datang.

Jadi kita tata. Yang dagang kita siapkan tempatnya. Yang jalan juga disiapkan jalannya. Kami siapkan  satu jalur bus yang muter terus. Satu jalur untuk berdagang, dan di kanan kirinya untuk jalan kaki.

Ke depan, kami akan bangun skywalk. Jadi penumpang dari stasiun tidak turun ke bawah tetapi langsung ke lantai atas. Intinya kita memisahkan lalu lintas manusia, perdagangan,  dan lalu lintas kendaraan. Ombudsman sudah bertemu dengan kami dan sudah ada pemahaman tentang masalah ini.

Apa pesan Anda untuk penduduk Jakarta?

Kota ini adalah milik bersama. Bukan milik satu kelompok. Semua warga merasakan kesejahteraan. Kesehatan tejamin. Pendidikan berkualitas. Usaha maju berkembang. Fokus ke depan. Jangan menengok ke masa lalu terus. Masa depan masih panjang. Fokus kepada apa yang kita kerjakan menuju masa depan lebih baik.

 



Berita Terkait