Ceknricek.com -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan empat narasumber untuk membahas calon pimpinan KPK yang menuai kritik dan kontroversi. Mereka adalah Moh. Tsani. A (penasihat KPK), Saut Sitomorang (wakil pimpinan KPK), Buya Syafii Maarif (cendikiawan Muslim) dan Shinta Nuriyah Abdurahman Wahid. Pembahasan materi tersebut dilaksanakan di Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (28/8).
Buya Syafii mengatakan, tugas Panitia Seleksi Calon Pimpinan (Pansel Capim) KPK belum tuntas tapi menuai banyak kritik. Karena itu, ia meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan.
"Saya sempat menganjurkan, Pak Presiden mendapat peta yang sebenarnya dari 20 orang (capim KPK) itu sehingga yang terpilih nanti benar-benar yang sesuai Pasal 3 itu," ujarnya.
Sementara itu, Saut Situmorang menegaskan KPK harus bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. "Kalau kita lihat seperti apa bentuk Pasal 3 Undang-Undang KPK, Pasal 3 Undang-Undang KPK itu tegas sekali mengatakan bahwa KPK bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Anda bayangkan KPK harus bebas dari pengaruh kekuasaan manapun," kata Saut.
Foto: Ashar/Ceknricek.com
Baca Juga: Pansel Mulai Wawancara dan Uji Publik 20 Kandidat Calon Pimpinan KPK
Saat panitia seleksi calon pimpinan KPK (pansel capim KPK) mendatangi gedung KPK, Saut bahkan mengingatkan bahwa proses seleksi tersebut ibarat medan perang.
"Ketika pansel kemarin datang ke kami, saya katakan ke bapak ibu pansel bahwa medan perang, karena kita mencari lima panglima perang yang secara bersamaan kolektif kolegial," ucap Saut.
Menurut Saut, banyak pekerjaan yang dihadapi oleh calon pimpinan KPK periode mendatang, salah satunya bisa menaikkan indeks persepsi korupsi (IPK).
Untuk diketahui, IPK Indonesia 2018 yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) pada Januari 2019 lalu menunjukkan kenaikan tipis, yaitu naik 1 poin dari 37 pada 2017 menjadi 38 pada 2018.
"Bagaimana sekarang kita bisa mencari orang-orang yang bisa memerangi angka 38 ini. Kita bisa dongkrak ke atas bila perlu naiknya jangan satu satu, bisa tidak kita naik lima dan seterusnya," ucap Saut.
Bahkan, kata Saut, saat lembaganya melipatgandakan operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak dua kali pada 2016 dan 2017, namun IPK Indonesia 2017 tetap 37 poin.
"Jadi, apa yang bisa disimpulkan di situ, penindakan saja juga tidak baik maka kombinasinya sekarang kita masuk bicara pencegahan dan penindakan," tutur Saut.
BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.