Ceknricek.com -- Mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Kudeta Maracana akhirnya menular ke Wembley. Leonel Messi berhasil mengakhiri kutukan 28 tahun tidak pernah memenangkan piala untuk timnas Argentina. Sebaliknya, timnas Inggris memperpanjang kutukan 56 tahun tidak pernah juara di turnamen besar.
Plesetan suporter Italia ‘’Football Coming Rome’’ menjadi kenyataan. Italia melakukan kudeta tidak berdarah di Wembley, dengan mengalahkan tuan rumah Inggris 3-2 (1-1) melalui drama adu penalti yang menyesakkan dada Senin dinihari (12/7). ‘’Lagu kebangsaan’’ timnas Inggris ‘’Football Coming Home’’ tidak jadi dikumandangkan, mungkin untuk waktu yang sangat lama.
Trauma ini akan berkepanjangan. Pemain-pemain, dan seluruh pendukung Inggris, tidak akan mau menonton ulang rekaman pertandingan itu beberapa waktu kedepan. Tapi, detik-detik yang penuh kepedihan itu akan secara otomatis di-rewind dalam otak mereka sampai kapan pun.
Mereka akan membayangkan lagi bagaimana pada menit ke-2--ketika semua orang masih belum jenak di tempat duduknya—Luke Shaw merangsek ke kotak penalti Italia, lalu menyongsong bola forset dari Raheem Sterling dengan tendangan first time keras mendatar. Kiper Gianluigi Donnarumma—yang jago dalam bereaksi—terpaku dan terpana, tidak mampu menjangkau tendangan itu.
Satu gol yang membuat seisi stadion meledak, dan suporter Italia terhenyak. Kira-kira selama 20 menit kemudian Inggris mengendalikan permainan. Raheem Sterling mengacak-acak pertahanan lawan, dan Calvin Phillips bersama Declan Rice mengontrol lapangan tengah.
Tapi, Italia adalah sekumpulan gladiator yang tidak kenal menyerah. Para tukang jagal berwajah dingin dan angker seperti Giorgio Chiellini dan Leonardo Bonucci, mulai memimpin serangan dan pengepungan di paroh kedua babak pertama.
Sungguh ironis. Sepak bola Italia selama ini dikenal dengan sistem gerendel Catanaccio yang fokus pada pertahanan. Sepak bola Italia identik dengan parkir bus atau parkir kereta api, atau semua tuduhan pejoratif yang berhubungan dengan sepak bola negatif.
Tapi, kali ini Italia malah memberi pelajaran kepada Inggris, bagaimana cara melakukan serbuan dan pengepungan ke kubu lawan yang bertahan di sepertiga lapangan. Justru tim Inggris--yang punya pemain dengan kecepatan menyerang naluri tinggi--yang malah menerapkan PPKM Darurat.
Mereka terkurung di rumahnya sendiri. Sepanjang babak kedua Inggris berada pada keadaan siaga ‘’under siege’’, siaga satu, karena daerahnya masuk zona merah. Frederico Chiesa adalah mimpi buruk sepanjang permainan. Ketika akhirnya Chiesa ditarik keluar karena cedera, ada desah nafas lega diembuskan pemain-pemain dan suporter Inggris.
Tapi, sumber ancaman bukan datang dari para penyerang, Chiesa, Insigne, atau Immobile. Italia menyiapkan plot yang mematikan. Chiellini mengintai dari sisi kiri. Bonucci diam-diam mengincar jantung pertahanan Inggris.
Dalam sebuah serbuan kilat, kiper Inggris Jordan Pickford berjibaku mengusir bola yang menggelinding kearah gawannya. Ia tidak berhasil menghalau bola, tapi masih ada tiang gawang. Bola memental pelan. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Bonucci muncul menyambar bola merobek gawang. Petaka di menit ke-61 membuat kedudukan 1-1 sampai babak kedua selesai.
Bonucci lari melompat lalu berdiri di pagar pembatas penonton dan menggenggamkan dua tangannya ke arah suporter Italia di belakang gawang Inggris. Bonucci seperti gladiator berdarah dingin yang baru saja membunuh lawan dengan pukulan mematikan.
Selama setengah jam berikutnya Inggris kehilangan nyawa. Perpanjangan waktu 2x15 menit adalah penantian panjang menuju vonis kematian. Pemain-pemain Inggris kehilangan akal untuk menembus pertahanan Italia. Beberapa pergantian dilakukan, hasilnya tetap buntu.
Selain duo tukang jagal Chiellini dan Bonucci, Italia masih punya penjaga benteng muda nan kokoh tak tertembus, Gialuigi Donnarumma. Nama depannya sama dengan legenda kiper Italia, Gianluigi Buffon. Nama itu bisa membuat penyerang Inggris menggigil.
Sungguh sebuah paradoks. Italia menjadi juara dengan menyandang status sebagai tim paling produktif. Tapi, yang menjadi pemain terbaik sepanjang turnamen adalah sang kiper Donnarumma. Ini menjadi bukti kokohnya lini Italia dari belakang sampai depan.
Italia menjadi juara dan menjadi tim tak terkalahkan sepanjang turnamen. Selama dilatih oleh Mancini, total Italia tidak terkalahkan dalam 34 pertandingan. Italia layak mendapat juukan The Invincible, Yang Tak Terkalahkan, mengulang sejarah Arsenal yang menjadi juara Liga Inggris tanpa pernah kalah sekali pun pada musim kompetisi 2003-2004.
Sebagaimana Arsene Wenger yang mendapat gelar lapangan ‘’The Professor’’ yang menciptakan mahakarya ‘’Arsenal The Invincible’’, Roberto Mancini pun layak mendapat gelar kehormatan PhD dari komunitas sepak bola dunia. Mancini membuktikan bahwa dia adalah masterclass tactician, jururacik taktik kelas dewa.
Saat-saat menuju adu penalti adalah saat-saat seluruh pemain Inggris digiring menuju penjagalan Guillotine. Wajah pucat pasi dan kaki gemetar. Tidak ada aura kemenangan yang terpancar. Seolah-oleh mereka semua sudah pasrah menghadapi takdir.
Seolah mereka semua menyerah menghadapi kutukan. Inggris tidak pernah menang dalam adu penalti di babak semifinal di berbagai major tournament. Kali ini Inggris maju hanya selangkah, dan ditakdirkan untuk terhenti.
Inggris sudah berhasil mengatasi trauma melawan Jerman. Kemenangan 2-0 di perempat final disambut gegap-gempita di seluruh negeri. Inggris merasa sudah bisa menghapus trauma masa lampau karena selalu kalah melawan Jerman di babak penting turnamen besar.
Pemain-pemain Inggris yang rata-rata masih berumur likuran awal, tidak pernah punya kenangan terhadap Jerman. Dan, itulah yang membuat mereka tidak punya beban sejarah melawan Jerman. Penampilan anak-anak muda, Raheem Sterling, Jadon Sancho, Marcus Rashford, Bukayo Saka, Calvin Phillips, Mason Mount, dan Declan Rice, memberi harapan besar bahwa sepak bola Inggris mempunyai masa depan cerah.
Tapi, sekarang Inggris berkutat dengan mimpi buruk baru. Alih-alih menghapuskan trauma kalah di adu penalti, Inggris justru mewariskan trauma itu kepada pemain-pemain muda yang harusnya tidak punya dosa.
Dalam setiap pertandingan besar, sebuah detail kecil akan menentukan sejarah. Pelatih Gareth Southgate dipuja bak dewa di seluruh negeri, karena berhasil membuktikan kehebatannya dalam menyusun strategi dan memilih pasukan yang tepat. Tapi, pada babak adu penalti itu semuanya seperti lenyap. Kemarau setahun tersapu hujan semalam.
Tiga algojo yang dipilih Southgate adalah ‘’anak-anak kecil’’, dalam bahasa Roy Keane, yang belum jejag kakinya di stadion. Marcus Rashford dan Jadon Sancho hanya beberapa menit di lapangan. Bukayo Saka baru masuk di akhir babak kedua. Mereka belum jangkap nyawanya ketika ditunjuk sebagai algojo.
Para pandit, seperti Roy Keane, dibayar mahal karena lidahnya yang tajam. Banyak komentarnya yang menusuk dan mematikan. Tapi, kali ini Keane coba bersimpati. Itu pun komentarnya tetap menusuk. Dia mengutuk para pemain senior, Raheem Sterlling dan Jack Grealish, yang membiarkan ‘’anak-anak kecil’’ itu menjadi penendang penalti, dan mereka memilih duduk-duduk menyaksikan.
Yang terjadi kemudian adalah tragedi. Rashford mengecoh Donnarumma yang bergerak ke kiri. Bola tendangan Rashford meluncur deras datar ke kanan gawang, tapi bola melintir keluar menabrak tiang gawang. Rashford tersungkur menutupkan dua tangannya ke muka.
Jadon Sancho kehilangan kepercayaan diri. Bagaimana pun, Rashford—yang akan menjadi teman satu timnya di Manchester United—adalah panutannya. Tendangan Sancho gampang diantisipasi oleh Donnarumma.
Dua penendang Italia juga gagal. Ada asa baru. Tugas terakhir ada di kaki Bukayo Saka. Anak berusia 19 tahun ini mengemban tugas negara nan berat. Tendangannya harus masuk untuk memperpanjang nyawa. Tapi, beban itu tak tertanggungkan untuk anak 19 tahun. Mukanya pucat, tidak tahu harus berbuat apa. Donaruma dengan yakin menjatuhkan diri ke sisi kiri gawang untuk memblok tendangan Saka.
Donnarumma bahkan tidak melakukan selebrasi setelah menghentikan tendangan itu. Ia membuat sejarah. Ia mendapat ganjaran sebagai ‘’Man of the Tournament’’.
Lengkaplah sudah kudeta di Wembley, ‘’Football Coming Rome’’.
Baca juga: Menunggu 53 Tahun, Italia Juara Piala Eropa 2020