Listrik di Indonesia, Dari Masa ke Masa | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Listrik di Indonesia, Dari Masa ke Masa

Ceknricek.com -- Padamnya listrik selama dua hari, Minggu (4/8)-Senin (5/8), menciptakan keriuhan di media sosial. Tagar seperti #matilampu, #matilampulagi, #DirutPLN, dan #TerimakasihPLN menempati puncak urutan pertama dengan total lebih dari 22 ribu cuitan.

Presiden Jokowi bahkan sampai melakukan sidak dengan mendatangi kantor pusat Perusahaan Listruik Negara (PLN), Senin (5/8), untuk meminta penjelasan terkait pemadaman yang berlangsung di Jabodetabek kepada direksi PLN dan memintanya untuk segera melakukan perbaikan secepatnya.

Bagaimana sebenarnya sejarah kelistrikan di Indonesia dari zaman Hindia Belanda sampai sekarang? Nederlandche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM) pada 1897 hingga menjadi Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada 1965.

NIEM; Perusahaan Listrik Pertama di Hindia Belanda

Jika berkunjung ke Yogyakarta, atau sesekali mampir di pasar Legi Kotagede, berjalanlah sedikit ke arah utara dari arah pasar hingga menemukan persimpangan jalan. Di sana ada sebuah bangunan mirip Pagupon (rumah burung dara), namun dengan ukurannya yang sangat besar.

 Sumber: Twitter

Orang-orang di sekitar Pasar Kotagede menamai bangunan yang menjadi bagian dari cagar budaya tersebut dengan sebutan Babon Aniem. Bahkan, hingga sekarang, banyak orang yang menyebut ‘Aniem’ untuk listrik, dan ‘Cagak Aniem’ untuk tiang listrik.

Istilah 'Aniem' merujuk pada akronim dari nama perusahaan listrik pada zaman kolonial yang bernama Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) yang berdiri pada 1909 di Jalan Embong, Surabaya.

ANIEM merupakan salah satu dari beberapa perusahaan listrik di Hindia Belanda, anak perusahaan dari Nederlandsche Indische Gas Maatschappij (NIGM) yang berdiri sejak 1864. Pada waktu itu, sumber-sumber lampu kota, sebelum ada listrik adalah menggunakan gas, dan NIGM adalah pemasok utamanya.

“Pada 19 November 1859, konsesi pertama oleh menteri jajahan Belanda diberikan untuk memasang sistem lampu gas umum di Batavia dan sekitarnya,” tulis Rudolf Mrazek dalam Engineer of Happy Land (2006). Pada 1883, ada 1.270 meteran gas di Batavia dan 384 meteran gas di Surabaya. Listrik mulai menyala di Batavia pada 1897.

“Kehadiran listrik dianggap menyaingi usaha gas di Hindia Belanda,” catat Negeri Kaya Gas Bumi (2005). Menurut Mrazek, perusahaan listrik di Batavia untuk menjawab kebutuhan masyarakat atas lebih banyak cahaya. 

 Sumber: Facebook

Perusahaan penyedianya adalah NIEM alias Perusahaan Listrik Hindia Belanda yang nantinya berekspansi ke beberapa wilayah di di Hindia Belanda dan melahirkan anak perusahaannya seperti; NIGM, ANIEM, dan yang lain.

Di Batavia, NIEM membangun PLTU di Gambir di tepi Sungai Ciliwung. PLTU berkekuatan 3200+3000+1350 kW tersebut merupakan pembangkit listrik tenaga uap pertama di Hindia Belanda dan memasok kebutuhan listrik di Batavia dan sekitarnya. Saat ini, PLTU tersebut sudah tidak ada lagi. 

Pada tahun 1909, perusahaan ini diberi hak untuk membangun beberapa pembangkit tenaga listrik berikut sistem distribusinya ke kota-kota besar di Jawa. 

Menurut Purnawan Basundoro, sejarawan Universitas Airlangga, dalam Dua Kota Tiga Zaman (2009), jika NIEM untuk Kota Batavia, maka ANIEM untuk memasok kebutuhan listrik Kota Surabaya. Menurut Basundoro, ANIEM punya relasi dengan jawatan listrik Jawa Timur (OJEM); Solo (SEM); Banyumas (EMB); Rembang (EMR); Sumatra (EMS); Bali dan Lombok (EBALOM), serta lainnya. 

Masa Pendudukan Jepang

Ketika Jepang menginvansi pada 1942, banyak aset negara kemudian diambil alih oleh pemerintahan pendudukan, termasuk perusahaan listrik di Hindia Belanda.  Urusan kelistrikan di seluruh Jawa kemudian ditangani oleh sebuah lembaga yang bernama Djawa Denki Djigjo Kosja. 

Nama tersebut kemudian berubah menjadi Djawa Denki Djigjo Sja dan menjadi cabang dari Hosjoden Kabusiki Kaisja yang berpusat di Tokyo. Djawa Denki Djigjo Sja dibagi menjadi 3 wilayah pengelolaan yaitu Jawa Barat, (Seibu Djawa Denki Djigjo Sja)  yang berpusat di Jakarta; Jawa Tengah (Tjiobu Djawa Denki Djigjo Sja) berpusat di Semarang; dan Jawa Timur (Tobu Djawa Denki Djigjo Sja) yang berpusat di Surabaya.

Sumber: Istimewa

Setelah Indonesia Merdeka, menurut catatan Negeri Kaya Gas Bumi, “pada 27 Oktober 1945, pemerintah sebenarnya telah menetapkan Perusahaan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dengan nama Djawatan Listrik dan Gas melalui Penetapan Pemerintah No.1/SD/1945.” 

Kepala jawatan pertama dipegang oleh Ir. R. Soedoro Mangoenkoesoemo, yang ditetapkan pada 27 Oktober 1945. Peristiwa inilah yang kelak menjadikan 27 Oktober sebagai Hari Listrik Nasional.

Namun, usaha untuk mengelola kelistrikan ternyata bukanlah pekerjaan mudah. Di samping karena status kepemilikan pembangkit yang belum jelas, juga karena minimnya pengalaman pemerintah dalam mengelola hingga langkanya orang-orang yang paham terkait kelistrikan. 

Lain dari itu, paska pendudukan Jepang, sebagian besar pembangkit listrik juga rusak parah karena salah urus. Pembangunan pun sempat terhambat oleh kedatangan kembali tentara Belanda (NICA) yang kembali berambisi mengembalikan tatanan kolonial.

Tahun 1947, setelah Belanda kembali menduduki banyak kota, listrik-listrik di beberapa kota kembali diperbaiki, termasuk di Malang dan Surabaya. Purnawan mencatat, ANIEM dihidupkan kembali lewat upayanya merehabilitasi besar-besaran pembangkit listrik yang rusak akibat salah urus pada zaman Jepang. 

Kemerdekaan-Sekarang

Tahun 1949, setelah pengembalian kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan disusul pemulangan tentara Belanda (1950), ANIEM masih juga beroperasi dan semakin dikenal. 

ANIEM akhirnya menjadi target nasionalisasi perusahaan-perusahaan listrik swasta pada 1953 dengan dikeluarkannya SK Presiden nomor 163, tentang nasionalisasi semua perusahaan listrik di seluruh indonesia.

Sumber: Facebook

Satu tahun kemudian, tepatnya pada 1 November 1954 ANIEM kemudian dikelola oleh negara. Djawatan Listrik dan Gas Bumi kemudian menjadi satu-satunya yang bertugas untuk mengelola kelistrikan di Indonesia. Pada 1 Januari 1961, jawatan tersebut diubah menjadi Badan Pemimpin Umum Perusahaan Listrik Negara yang bergerak dalam bidang listrik, gas, dan kokas. 

Lembaga tersesebut kemudian dibubarkan dan dipecah menjadi dua perusahaan pada tanggal 1 Januari 1965, yakni Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pada saat itu, kapasitas pembangkit listrik PLN sebesar 300 MW.

Pada tahun 1972, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 17, status Perusahaan Listrik Negara (PLN) ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum.



Berita Terkait