Maaf Lahir Batin | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Maaf Lahir Batin

Ceknricek.com -- Wartawati senior, Dian Islamiati Fatwa, kembali terinfeksi Covid-19. Bagaimana ceritanya? Berikut penuturan Dian, yang ditulisnya sendiri di laman sosial medianya:

Tangan saya sudah mulai bengkak-bengkak. Nurses sudah mulai pusing mencari jalur vena tiap pagi untuk mengambil darah. Apalagi vena saya cukup lembut. Salah tusuk pecah, peradangan dan bengkak.

Kemarin harus lewat kaki, karena sudah tidak ada lagi jalur vena yang bisa ditusuk. Semua jalur bengkak. Dan saya mulai trauma melihat jarum suntik setiap bangun. Mereka menyadari itu, dan berupaya menenangkan saya.

Overall saya mulai membaik. Spesialis paru doker Aulia cukup happy dengan perkembangan saya. Sekarang saya hanya membutuhkan konsentrasi oksigen 25liter/menit. Bila sudah bisa mencapai 4 liter/menit saya bisa diperbolehkan keluar dari HCU. Wah bisa-bisa lebaran di HCU nih. Pokoknya sekarang paru-paru sudah mulai membentuk  balon, kemarin masih kisut, dipompa masih gak mau mekar.

Ah bener juga Opung menyanyikan lagu 'Balonku ada lima' kayaknya nyambung juga ke pasien covid.

Dokter menargetkan saya bisa normal bernafas soalnya paru-paru sudah mulai bisa terbentuk siang ini, kemarin masih letoi.  Yang penting bisa bernafas normal. Pelan-pelan, tidak perlu buru2 dan perlu sabar.

Ah tiba-tiba rindu suara Opung.

Suasana ruang HCU garing hari ini. Opung dipindahkan ke HCU sebelah, karena pasien lain mengeluh. Tapi teriakan bariton yang keras Opung tetap terdengar hingga di bed saya.

Malam sebelumnya Opung teriak2 jam 3 pagi.

'Naik kereta api Tut-tut-tut...siapa hendak tidur.' Suara bariton Opung memecah malam.

Saya mulai merasa terganggu. Sayapun teriak.

'Opung tidur ya, besok pagi kita nyanyi. Jangan berisik.'

'Siaaaaap.'

Eh tak lama kemudian, Opung menyanyi 'Naik kereta api'  lagi.

Oh, Opung, let me sleep. Mata hampir terpejam leees.
'Ke Bandung, Surabaya ....Siapa hendak tidur...naik kereta api..tut-tut-tut'

Silahkan Opung mau ke Bandung atau Surabaya, tapi saya pengen tidur nyenyak!

Baru saya tahu belakangan kalau Opung ternyata juga mempunyai keterbatasan intelektual. Tuhan memilih Opung sebagai orang yang dikasihinya.

Saya play musik piano the best of Chopin keras-keras mengimbangi nyanyian Opung. Entah mungkin terlalu capai, saya tertidur sampai kebablasan subuh.

Luar biasa, dalam keterbatasannya Opung tetap mendapat perawatan covid 19.

Trenyuh kalau mendengar  Opung menerima telpon dari rumah.

Ia akan menyanyi 'Butet' dengan indah dan lengkap meskipun lawan bicaranya ngajak bicara. Pokoknya nyanyi sampai habis dan tidak meladeni orang yang mengajak  bicara.  Saya tidak hafal lagu 'Butet' tapi mendengar Opung menyanyi 'Butet', saya yakin itu adalah jeritan hatinya kerinduan terhadap anak perempuannya.

Orang-orang berkebutuhan khusus seperti Opung adalah orang-orang yang tidak punya ambisi dalam hidup, no aim in life. Hidup bukan lagi hal yang harus diselesaikan tapi dialaminya.

Bersyukur Opung mendapat kasih sayang berlimpah dari keluarga. Biasanya orang-orang berkebutuhan khusus juga mempunyai penyakit bawaan lain sehingga membuat upaya penyembuhan covid semakin tidak mudah.

Saya bayangkan Opung  berasal dari keluarga berkecukupan. Tampak  Opung mendapat perawatan 'paripurna' selama terjangkit covid di RS Siloam yang biayanya bisa merangsek atap rumah. Selain itu kepribadian Opung telah membuat kami jatuh hati.

Ketika mendapat kiriman mie Celok dari mbak Lely, saya minta suster memberikan satu porsi ke Opung.

'Buat Opung satu porsi, yang ini buat pas Nasrullah di ruang ICU.' perintah saya ke nurse memberikan bungkusan mie celok.

'Buat Opung?'

'Iya, dia bisa kan makan mie?

tidak apa2 dengan perutnya?'

Dua suster di depan saya terperangah.

'Iya bisa, dia suka ibu.'

'Ibu baik sekali, senang kami banyak orang sayang Opung,' ujar mereka exicted. Padahal makanan itu bukan buat mereka.

'Saya fotokan Opung makan mie ya.'

Kami seperti unit keluarga kecil di HCU. Berbagi makanan dan berbagi rasa senang.

'Bu, sudah habis dimakan Opung mienya. Gak sempat di foto. Dia tidak tahu ibu Dian itu yang mana. Tapi dia bilang terima kasih. Ha ha ha.'

Benar memang. Love in the air, buat Opung.

Tapi berapa banyak orang seberuntung Opung di dunia ini?

Saat ini terdapat 15% populasi di dunia yang masuk dalam kategori orang berkebutuhan khusus dan 80%nya tinggal di negara berkembang termasuk Indonesia.

Di banyak negara, fasilitas kesehatan yang memadai dianggap sebagai  simbol bahwa tugas kemanusiaan telah dilakukan. Adalah sebuah kemewahan yang luar biasa bila fasilitas akses bisa menyentuh mereka berkebutuhan khusus tanpa perkecualian.

Tak dapat dipungkiri Covid berdampak pada setiap kehidupan manusia and not inequal ways.  Ada negara yang siap infrastruktur trace-track-treatment dan apd staff. Tapi kewalahan juga menghadapi lonjakan jumlah pasien.

Membaca berita dan kabar dari kawan di India, rasanya hati saya diiris-iris. Ada yang kehilangan 29 anggota keluarga dalam seminggu.

Hasil hitungan Institut Health Metrics and Evaluation di Amerika sejatinya India baru mendeteksi 3-4% kasus. Tapi kalau lihat dari jumlah kematian di urban cities, dengan kasus di Mumbai sejatinya mortalitas sudah lebih dari 60-70% dari angka resmi yang dikeluarkan pemerintah. Gendeng!

Pemerintah Modi memang notorius terkenal senang menyembunyikan angka-angka yang dianggap 'memalukan' kerja pemerintah. Tapi sekarang ini pandemi je. Memblokir data hanya akan merugikan jutaan umat dan akan merugikan upaya global membuat keputusan menghentikan pandemi.

Ada retorika denial terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Well, bukannya yang beginian we are soooo familiar.

India merasa punya autoritas moral awal Januari lalu ketika menyatakan sukses mengatasi covid gelombang kedua saat Modi berpidato di Forum Ekonomi Dunia di Davos. Dengan bangga Modi menyatakan bahwa India berhasil mengembangkan infrastruktur kesehatanl, lalu pendekatan partisipasi publik termasuk melakukan pelatihan mengatasi covid.

Namun kondisi di lapangan pertengahan April lalu menunjukkan hal sebaliknya. Tentu pemerintah tidak mau menggeser narasi keberhasilan India mengatasi covid. Sementara korban berjatuhan dan  tetap  saja mereka tidak mau mengakui sistem kesehatan telah gagal meskipun rumah sakit sudah tidak bisa menampung ratusan pasien,  dokter dan perawat tidak mau mendekat pasien apalagi mengobati kasta yang lebih rendah. Anjingpun enggan makan bangkai mayat pasien covid. Tragic!

Retorika denial semakin dikobarkan di hampir setiap level pemerintahan. Untuk apa? Mempertahankan citra internasional dan posisi politik dalam negeri PM Modi. Tidak boleh ada 'bad news'.

Berulangkali mereka menyatakan semuanya under control dan tidak perlu dilakukan lockdown meskipun seluruh rumah-sakit kewalahan menerima luapan pasien yang datang. 

Saya tidak tahu apakah India juga menggunakan 'buzzeRp' untuk menyangkal kegagalan sistem kesehatannya.

Padahal negara yang sedang struggle mengatasi covidpun tidak akan mau  melakukannya. Karena mereka justru menyelesaikan persoalannya hingga ke akarnya, melindungi rakyat yang menjadi amanah ketika dipilih rakyat. Bahkan ada negara  yang sengaja membesar-besarkan jumlah kasus agar bisa mendapat bantuan internasional. Smart!

Hari gini, susah cari duit, negara sampai ngutang slintutan dihajar tax-payer  karena ngutang terus, tentu pemerintah harus cerdik mikir bisa menghadang covid tanpa cuan gede. Tapi India ini such a character.

Bila negara memilih terus in denial over transparancy, tidak juga mau jujur berterus terang, India telah membuat tirai hitam yang memisahkan realitas krisis pandemi covid dengan dunia, maka sejatinya India telah menunjukkan kegagalan menegakkan moral authoritynya  sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia.

Tak henti-hentinya saya menghela nafas panjang membaca berita soal krisis di India. 30 % jumlah kematian covid  dunia disumbang oleh India.  Chief of Scientiest WHO, Dr. Soumia Swaminantan menilai situasi pandemi di India dalam kondisi yang mengkhawatirkan karena sebenarnya korban jatuh lebih banyak  namun banyak yang tidak terhitung, khususnya di wilayah pedesaan.

WHO sediri sudah menetapkan bahwa  varian yang menyapu  India adalah varian concern yang lebih berbahaya, menular lebih cepat dan lebih resisten terhadap antibodi. Duh!

Lalu bagaimana kemungkinan menyebar ke Indonesia. Dari beberapa pemberitaan dikabarkan tiga varian berbahaya sudah masuk ke Indonesia.

Saya ngelus dada membaca statement dari Jubir Satgas Covid-19 yang menyatakan bahwa varian tersebut sudah ditangani dengan baik dan maksimal.

Apa maksudnya ditangani dengan baik dan maksimal?

What does that mean for us?

Tapi ini memang Indonesia banget. Apakah hanya terima ikhlas-ihklas saja saat jubir menjelaskan statistik virus India sudah loncat indah, menembus ngarai lembah, batas negara dan nyawa menggasak liar kemadanian rakyat Indonesia?

Poor public communication!

Padahal India ini adalah contoh cetho tela telo kasus pemerintah yang jumawa, tidak mau transparan, dan terjebak dalam retorika denial.

Tapi ane yakin koq, pejabat Indonesia tidak akan melakukan hal ini. Haqul Yakin dah!

Dalam model matematika yang dikembangkan oleh Universitas Michigan, puncak kasus di India akan terjadi pada pertengahan bulan Mei dengan jumlah kasus mencapai hingga 800 ribu sampai 1 juta kasus perhari. Dengan mengabaikan variable lockdown di beberapa negara bagian, tetap saja angka kematian bisa menembus 5.500. That's really troubling!

Horor kasus di India adalah problem dunia, problem kita juga. Bukan karena masalah India ada di seberang lautan, lalu kita tidak perlu peduli.

Naiknya angka infeksi di India akan membuat virus India B1617 bermutasi dan evolve. Beberapa ilmuwan masih sering terperangah dengan ancaman si kupret Covid bermanuver melakukan mutasi.

Jadi meskipun seseorang mempunyai antibodi - baik melalui infeksi covid secara alami seperti yang sudah pernah saya alami atau melalui vaksin - beberapa mutasi  akan menghalangi kemampuan antibodi menempel pada virus serta mencegahnya menginfeksi sel. Ngeri ya?

Nah virus Covid varian Kent lebih ngeri. Infeksi covid sudah gak butuh banyak virus, begitu sel  terpapar langsung mengikat erat sel dan menginfeksi dengan cepat dan mereplikasi diri secara efisien. Dengan varian ini, orang yg terinfeksi akan menyebarkan virus lebih banyak lagi dibandingkan varian lainnya. Ih jahatnya di'!

Beberapa ahli matematika membuat model bagaimana varian itu menyebar, dan mereka menemukan ternyata virus ini bisa empat puluh dan tujuh puluh persen lebih menular.

Virus ini kerjanya kayak hacker, selalu mencari peluang. Jadi setiap kali virus mampu melakukan replikasi maka mutasi  terjadi. Bahkan ketika terjadi eror saat mereplikasi kode genetik, malah menciptakan mutan yang menyebar lebih sukses sehingga infeksi  jauh lebih tinggi.

Para ilmuwan menyakini, vaksin tetap cukup efektif melapisi virus, akan tetapi si kupret ini juga mengembangkan strategi baru yang lebih menular dan tidak dapat lagi dikoreksi dengan vaksin. Kurang aja gak!

Lantas bagaimana kita menghentikan laju covid` bermutasi? John Brook, Chief Medical Officer di Pusat Pengendalian Penyakit Covid New York menilai cara jitu ya menghentikan infeksi. Artinya transmisi harus dihentikan karena itu satu-satunya jalan menghentikan mutasi viral virus.

Sudah benar soal protokol 3 M dan 3 T. Namun memang yang bikin puyeng perilaku masyarakat dan pejabat administrasi yang mulai lelah. Behaviour change memang tidak mudah. Persoalannya kita berkejaran dengan kecepatan virus. Sudah benar Nepal dan Pakistan menutup perbatasan dengan India untuk menghentikan transmisi. Sebab covid tidak mengenal jenis kelamin, jabatan dan batas-batas negara. Kalau pengen pergi ya ngeloyor saja.

Saya coba merenung apa yang salah dengan India, padahal mereka telah menyatakan sukses mengatasi pandemi gelombang pertama.

Complacency, terlalu cepat berpuas diri tampaknya menjadi salah faktor menyeret menuju kehancuran tanpa menyadari covid sudah menggerogoti sendi-sendi kemasyarakat. Pada saat yang sama mereka enggan untuk terbuka, poor data collection dan pejabat pubik yang selalu in denial dengan kenyataan yang ada di lapangan.

Lebih dari itu, sejatinya pandemi covid adalah test leadership bagi siapapun pemimpin dunia. Dibutuhkan kepemimpinan yang tegas, konsisten, siap mendengar dan melakukan inovasi menghentikan langkah si kupret.

Dari tempat tidur HCU - High Care Unit - RS Siloam saya terbaring. Memandang nanar berita-berita krisis pandemi di India. Gelombang kedua serangan covid menyerang India cukup brutal mencapai kota-kota kecil dan pedesaan, menembus sistem kesehatan masyarakat yang rapuh dan tidak siap menghadapi krisis kesehatan dunia yang maha dahsyat.

Tubuh-tubuh di pelataran rumah sakit itu tampak meregang nyawa, saya bisa merasakan betapa sesaknya dada mereka. Lalu pemandangan  ratusan mayat-mayat bergelimpangan berserakan di sungai. Ngenes.

Siapapun di negeri ini, tidak ingin mengalami hal yang sama. Terlalu besar harga yang harus dibayar.

Saat virus kini mulai berkelana menembus batas-batas negara dan mulai bermutasi wahai pemimpinku, you have a choice to save face or save our life.

Maaf lahir batin, taqabballahu minna waminkun.



Berita Terkait