Ceknricek.com -- Kemarin, BPS mengumumkan perekonomian Indonesia pada kwartal II (April-Juni) 2020, turun (minus) 5,32 persen. Maksud dari pernyataan itu adalah, Produk Domestik Bruto (PDB) kita pada kwartal II tahun 2020 -- berdasarkan harga konstan tahun 2010 -- mengalami selisih negatif sebesar 5,32% dibandingkan kwartal yang sama tahun sebelumnya.
Jadi, pengertian yang sama juga berlaku terhadap pernyataan pertumbuhan kwartal I sebesar 2,97% yang sebelumnya disampaikan.
Pertumbuhan antar kwartal yang sama pada 2 tahun yang berbeda, mestinya menggambarkan keadaan rata-rata. Misalnya tahun 2019. Pertumbuhan yang kita capai hanya 5,07 persen. Maka sewajarnya pertumbuhan antar kwartal di tahun tersebut — terhadap kwartal yang sama di tahun sebelumnya — kurang lebih demikian juga.
Misalnya seperti pertumbuhan Q4 tahun 2019 yang dibandingkan dengan Q4 tahun 2018. Seperti terlihat pada gambar, Indonesia mencatat 4,97 persen. Hampir sama dengan pertumbuhan sepanjang tahun 2019.
Sebetulnya, pertumbuhan ekonomi kita dari kwartal ke kwartal selama 2 tahun terakhir, sudah cukup memprihatinkan. Sejak kwartal III tahun 2018, pertumbuhan positif hanya terjadi pada kwartal II (+4,2%) dan kwartal III (+3,2%) tahun 2019. Kwartal sebelum dan sesudahnya, sama-sama negatif. Hal ini menunjukkan perputaran ekonomi yang sangat dipengaruhi faktor-faktor tertentu. Misalnya belanja pemerintah yang sangat tergantung pada sistem penganggaran dan pencairannya.
Baca juga: Membuka Munas JMSI, Menko Airlangga Hartarto Optimistis Perekonomian Nasional Kembali Tumbuh
Keadaan itu tentu tak sehat. Sebab menunjukkan lemahnya sektor-sektor lain yang mestinya berperan besar dalam perekonomian yang semakin bergantung pada pemasukan pajak. Misalnya industri manufaktur yang mestinya jadi tulang punggung perekonomian kita. Sebab, kegiatan tersebut mengupayakan nilai tambah penyumbang pajak yang jadi tumpuan sumber pendapatan kita.
Faktanya justru tak demikian.
Sepanjang periode 2014-2019 kemarin, pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia justru berada jauh di bawah GDP. Di era terakhir pemerintahan sebelumnya (2013-2014) pertumbuhan yang dicapai hanya 4,64% ( 7,2% di bawah GDP). Sementara tahun 2014-2015 hanya 4,33% (11,3% di bawah GDP). Lalu tahun 2015-2016 hanya 4,26% (15,3% di bawah GDP). Tahun 2016-2017 hanya 4,29% (15,4% di bawah GDP). Kemudian tahun 2017-2018 hanya 4,27% (17,2 di bawah GDP). Terakhir 2018-2019 tercatat hanya 3,80% atau 25% di bawah pertumbuhan GDP.
Jadi, saat 3 bulan lalu diumumkan pertumbuhan kwartal I tahun 2020 hanya 2,97 persen (dihitung terhadap capaian kwartal yang sama tahun sebelumnya), pertumbuhannya terhadap kwartal keempat tahun 2019 lalu, sudah menurun 2,4 persen. Sedangkan kwartal II tahun 2020 terhadap kwartal I sebelumnya, semakin menukik hingga 4,2 persen.
Jika diperhatikan, kondisi penurunan tersebut sudah berlangsung sejak kwartal III ke kwartal IV tahun 2019 yang turun sebesar 1,9 persen. Artinya, ekonomi kita memang sudah buruk sejak sebelum Covid-19 diakui hadir di negeri ini.
Baca juga: Bamsoet Harap UMKM Selamatkan Indonesia Dari Resesi Ekonomi
Kita juga sudah mengetahui, seluruh target yang dicanangkan sepanjang 2014-2019, meleset semakin lebar dari tahun ke tahun. Hal tersebut dapat dicermati pada angka penurunan pertumbuhan yang dicapai, dari target yang dicanangkan RPJM 2014-2019. Jika tahun pertama (2014-2015) hanya selisih 11,3%, maka tahun 2018-2019 selisihnya melebar hingga 36,6 persen.
Covid-19 memang menghantam telak perekonomian kita yang sejatinya memang sudah sempoyongan. Tapi mengambil kebijakan seolah pandemi tersebut sebagai satu-satunya biang kerok kelesuan ekonomi, adalah salah besar
Ekonomi biaya tinggi, pemborosan investasi Negara, inefisiensi BUMN, dan kegagalan kebijakan yang merangsang pertumbuhan sektor manufaktur — juga berperan besar.
Maksudnya, dengan kemampuan aliran kas yang semakin morat-marit — sementara pengeluaran tak terduga untuk menangani penyelamatan rakyat dari ancaman Covid19 ini begitu besar — persoalan sektor ekonomi itu sebaiknya jangan didahulukan.
Kebijakan-kebijakan yang diambil terhadap hal tersebut, besar kemungkinannya bakal seperti 'membuang garam ke laut’. Ancaman resesi tak mungkin dianggap sepele bagi 80% penduduk yang penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi makan mereka sehari-hari. Atau 92 persen pemilik rekening yang saldonya jauh lebih kecil dari upah minimum.
Mardhani, Jilal — 7 Agustus 2020
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini