Ceknricek.com--Mungkin saja peribahasa yang menjadi judul tulisan ini sekarang, sampai batas-batas tertentu, sudah kadaluwarsa. Sebab sekarang umumnya kalau tidak ingin sesat di jalan maka harus menggunakan GPS - Global Positioning System - alias sistem yang menerangkan di mana kita sedang berada. Ternyata yang namanya GPS ini, boleh percaya boleh juga tidak, pada dasarnya mengandalkan unsur-unsur dasar trigonometri yang dikemukakan oleh para ahli matematika Muslim di zaman lampau antara lain untuk keperluan menetapkan arah qiblat dari berbagai masjid yang dibangun jauh dari kota suci Mekkah. ("Lost Islamic History - Reclaiming Muslim Civilisation From The Past" oleh Firas AlKhateeb, seorang tenaga pengajar di Amerika - hal. 80).
Dan di zaman modern ini kiranya banyak juga peribahasa kita yang bertambah atau berkurang makna aslinya.
Dahulu kita dibekali dengan petuah oleh orang tua-tua di kampung agar "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung": dan hati-hatilah atau pandai-pandailah membawa diri kalau berada di wilayah orang lain. Misalnya kalau di Australia, jangan seenaknya berludah di mana-mana. Itu suatu kepantangan. Di berbagai kolam renang di Benua Kangguru ini ada maklumat agar "harap jangan berludah". Dan kalau tidak mampu menahan sendawa di tempat umum, maka harus langsung minta ma'af - excuse me!
Soal bersin ini cukup menarik untuk dikaji, khusus bagi Umat Islam (Kadrun?).
Kata dr. Tim Mynes, seorang ahli perobatan darurat di tempat perawatan MedExpress Urgent Care di Lynchburg, Virginia, Amerika Serikat, "Bersin pada hakikatnya adalah pelepasan udara secara tidak disengaja (dari hidung) yang membantu tubuh manusia membuang segala gangguan dari dalam hidung dan tenggorokan, seperti bahan-bahan yang kotor dan penyebab alergi dan debu. Subhanallah! Maha Suci Allah - suatu ungkapan Islami dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk rasa takjub kepada Kebesaran Allah (swt).
Apa hubungannya antara bersin dan rasa takjub kepada Kemahasucian Allah (swt)?
Di Barat, sebagaimana disebutkan tadi, kalau kita bersin di tempat umum maka langsung minta ma'af - excuse me. Sementara dalam Islam kita dianjurkan apabila bersin mengucapkan "Alhamdulillah" - puji syukur kepada Allah (swt) karena melalui bersin yang melepaskan angin yang dikatakan berkekencangan sampai sekitar seribu kilometer sejam itu, kita membersihkan diri dari bahan-bahan yang dapat mengganggu kesehatan kita.
Kembali kepada soal "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung". Bagi warganegara Indonesia yang bermukim di luar negeri, konon kabarnya, kini dikenal dua kelompok - yang satu adalah mereka yang menerapkan "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung" dan yang satunya lagi yang menghayati "tempat jatuh lagi dikenang, inikan pula tempat bermain".
Mereka yang patuh pada "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung" sering apabila ada kesempatan pindah kewarganegaraan dari RI ke tempatnya bermukim, alias menjadi warganegara permukiman barunya itu, sementara yang menghayati "tempat jatuh lagi dikenang" tetap bertahan dengan kewarganegaraan aslinya, seperti Indonesia.
Meski pun apabila pindah kewarganegaraan dan memegang paspor negara barunya maka banyak kemudahan yang akan diperoleh khusus ketika akan melakukan perjalanan atau kunjungan ke luar negeri, karena banyak negara yang tidak mewajibkan pemegang paspor Australia untuk memiliki visa guna melakukan kunjungan ke negeri tersebut.
Dan bagi pemegang paspor RI maka harus siap menunggu, terkadang sampai sebulan sebelum visa diperoleh. Itulah konsekwensi "tempat jatuh lagi dikenang". Sementara mereka yang sudah memiliki paspor Australia punya kewajiban khusus, yaitu harus ikut memberikan suara dalam pemilu.
Sebenarnya bukan "memberikan" suara melainkan mendatangi tempat pemungutan suara, di mana namanya akan dicoret dari daftar mereka yang wajib memberi suara, meski setelah masuk ke tempat pencoblosan, bisa saja corat coret kertas suara dan memasukkannya ke dalam kotak suara tanpa ada yang tahu apa yanag telah kita lakukan.
Kalau saja Indonesia memperbolehkan dwi-kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda. Memang dahulu, di zaman Orde Lama, istilah yang berlaku adalah "dwi-kewarganegaraan", bukan kewarganegaraan ganda.
Begitulah perihalnya dengan bahasa Indonesia yang telah mengalami banyak perubahan - dan tidak semuanya demi kebaikan, pada hemat penulis.
Penulis suka ditanya (bukan diminta pertanggungjawaban), kenapa setelah begitu lama bermukim di Australia namun tetap mempertahankan kewarganegaraan RI (NKRI?)?
"Kenapa anda tidak menjadi anggota DIASPORA Indonesia?"
Jawaban penulis biasanya adalah "Saya PERANTAU, bukan diaspora!".
Perkataan "diaspora" dipinjam dari bahasa Yunani (dia speiro) yang juga berarti "penyebaran" atau dalam bahasa Ibrani berarti galut atau keterbuangan umat Yahudi dari masyarakat Gentile (non Yahudi) dari apa yang sekarang dikenal sebagai Israel.
Kata "diaspora" masuk ke dalam bahasa Inggris menjelang akhir abad ke-19 untuk melukiskan penyebaran Umat Yahudi mulai sekitar abad ke-5 Sebelum Masehi. Istilah ini terdapat dalam Perjanjian Lama Bible Ibrani Bab Kitab Ulangan/Deuteronomy 25.
Biarkanlah saya setia pada kata perantauan, yang rasanya berusia jauh lebih lama dalam khazanah bahasa kita dibanding diaspora yang kedengarannya bagi sementara kalangan memang lebih elitis, barangkali.
Yang terlintas di pikiran saya ialah: bagaimana kita menyikapi karya (alm) Buya Hamka "Merantau ke Deli"? Apakah salah satu karya sastra Hamka ini perlu disesuaikan dengan perkembangan bahasa Indonesia masa kini, dan diubah menjadi "Berdiaspora ke Deli?" Allahu a'lam.
Editor: Ariful Hakim