Ceknricek.com -- Sungguh ironis. Di tengah adanya 22 juta rakyat Indonesia terpapar kelaparan, Perum Bulog berencana membuang 20.000 ton beras. Wajar jika ada yang mengeluh dan bertanya, “Bisa nggak sih, para petinggi yang digaji gede-gede dari uang pajak itu mengelola negara ini?”.
Soal 22 juta rakyat Indonesia terpapar kelaparan itu berdasar laporan Asian Development Bank (ADB) bertajuk "Policies to Support Investment Requirements of Indonesia's Food and Agriculture Development During 2020-2045". ADB bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI) melansir pada 2016-2018, sekitar 22 juta orang warga Indonesia menderita kelaparan.
Sedangkan soal beras 20.000 ton yang akan dibuang itu berdasar pernyataan Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Tri Wahyudi Saleh, Jumat, 29 September lalu. Pemusnahan dilakukan karena usia penyimpanan beras tersebut sudah melebihi 1 tahun. Hanya saja, Kamis (5/12), Direktur Utama Bulog, Budi Waseso atau Buwas mengubah kata “buang” menjadi “dilelang” atas makanan pokok rakyat Indonesia itu.
Sumber: Kompas
Dalam sejarah Bulog, rasa-rasanya belum pernah terdengar beras dibuang-buang begitu. Itu sudah pasti ada kesalahan manajemen dalam pengelolaan cadangan beras. Negeri ini memang kaya. Tapi masih banyak rakyat yang lapar. Beras kok dibuang-buang.
Mestinya, tugas Bulog kini tak seberat dulu, saat Orde Baru. Kini, tugas Bulog sudah banyak dipangkas. Jika pada era Orde Baru, Bulog adalah sebagai lembaga stabilisasi harga pangan. Bulog memiliki peran khusus dalam menunjang keberhasilan Orde Baru sampai tercapainya swasembada beras tahun 1984.
Kala itu, menurut Keppres No.39/1978 tanggal 5 November 1978 Bulog mempunyai tugas pokok melaksanakan pengendalian harga beras, gabah, gandum dan bahan pokok lainnya guna menjaga kestabilan harga, baik bagi produsen maupun konsumen sesuai dengan kebijaksanaan umum pemerintah.
Sumber: Bulog
Baca Juga: Kerja di Bawah Target Buwas
Kini, Bulog hanya mengelola komoditas beras saja. Bulog beroperasi berdasarkan Keppres No.103/2001. Tugas Bulog sesuai Keppres itu adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang manajemen logistik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Nyatanya, tugas yang makin sedikit itu dilakukan secara tertatih-tatih. Memang sih, sukses tidaknya tugas Bulog ini juga turut ditentukan institusi lainnya seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian.
Managemen
Presiden Joko Widodo menyadari persoalan Bulog ada pada manajemen pengelolaan cadangan beras. "Saya minta dibenahi manajemen pengelolaan cadangan beras pemerintah, penumpukan stok beras yang tidak tersalurkan harus jauh-jauh hari kita pikirkan dan kita putuskan," kata Jokowi dalam rapat terbatas dengan topik "pengelolaan cadangan beras pemerintah" di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (4/12).
Presiden berharap data produksi beras benar-benar riil dan terkonsolidasi. Dengan begitu, pemerintah betul-betul memiliki sebuah pegangan data yang kuat dalam setiap mengambil keputusan, koreksi dan langkah perbaikan.
Jokowi meminta kementerian dan lembaga terkait untuk memikirkan solusi untuk mengurangi penumpukan beras karena memacu biaya perawatan beras di gudang. "Saya minta regulasinya dan segera diselesaikan dan dibereskan, dibuat pola-pola baru dan terobosan baru," jelasnya.
Sumber: Istimewa
Kementerian Perdagangan merespon permintaan Presiden. Mendag, Agus Suparmanto, berjanji akan mencabut peraturan menteri perdagangan No. 127 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) untuk Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga untuk mencegah penumpukan beras di Perum Bulog (persero).
Pihaknya akan segera mengeluarkan penyesuaian regulasi bahwa CBP boleh dijual dalam kondisi tertentu. Tetapi, hal tersebut bisa dilakukan atas permohonan Bulog. Berdasarkan amanat peraturan menteri perdagangan itu, CBP hanya diperuntukkan bagi stabilisasi pasar melalui operasi pasar, bantuan pangan, dan bencana alam.
Menteri Agus memastikan penjualan CBP ke pasar tidak akan membuat harga beras jatuh karena pemerintah akan menyesuaikannya dengan permintaan dan penawaran yang ada. “Nanti ada permohonan dari Bulog. Kita analisa, tidak langsung serta merta keluar,” jelasnya.
Lelang
Kembali ke soal beras 20.000 ton. Setelah batal dibuang, Perum Bulog akan menjual beras kadaluarsa itu. Pada kondisi normal, tidak busuk, nilai beras 20.000 ton itu mencapai Rp167 miliar. Nah, karena sudah mengendap lama di gudang, kualitas beras itu turun drastis. Harganya pun menjadi rendah.
Beras itu sebelum dilelang akan diperiksa oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta butuh rekomendasi menteri pertanian, dan audit dari BPK. Prosedur ini dilakukan untuk menentukan harga jual dan kualitas beras yang akan dilelang. Harga beras Bulog saat ini dibanderol Rp8.000 per kilogram.
Sumber: Republika
Baca Juga: Gangguan Beras Impor di Gudang Bulog
Beras lelang ini nantinya sebagai bahan etanol. Harganya menjadi murah. "Kalau tidak salah hanya dapat penawaran Rp1.800 per kilogram," kata Buwas, Kamis (5/12). Menurut Buwas, sudah ada beberapa perusahaan yang berminat membeli beras tersebut. Hanya saja, ia belum mau mengungkapkan kapan lelang bakal digelar.
Beras 20.000 ton itu adalah beras CBP. Direktur Operasional Bulog, Tri Wahyudi Saleh, menyebut stok CBP per 3 November 2019 mencapai 2,1 juta ton. Jumlah yang sangat banyak. Itu sebabnya Bulog harus segera menyalurkan berasnya agar stok awal 2020 terjaga di level 1,5 juta ton.
Pemasok Tunggal
Kini, Bulog berencana menyalurkan CBP melalui operasi pasar yang ditargetkan pada keluarga penerima manfaat (KPM) bantuan pangan nontunai (BPNT). Kebijakan ini dilakukan di luar tugas harian Bulog dalam melakukan operasi pasar atau yang disebut dengan ketersediaan pasokan dan stabilitas harga (KPSH).
Hingga kini, kebijakan KPSH Bulog masih sulit mencapai target yang ditetapkan pemerintah sebesar 5.000 ton per hari. Berdasarkan data Bulog, per 3 November 2019 realisasi operasi pasar baru mencapai 491.064 ton. Adapun target penyaluran KPSH pada tahun ini dipatok 1,48 juta ton.
Wajar saja jika Bulog terus mencari saluran penyaluran beras CBP. Pasalnya, di tengah stok CBP yang besar, jalur penyaluran beras yang dimiliki Bulog justru menyempit. Ini terjadi gara-gara berubahnya skema bantuan sosial rastra (bansos rastra) menjadi BPNT pada 2018. Perubahan ini menjadikan Bulog tak lagi menjadi pemasok tunggal beras untuk 15,6 juta orang yang diberikan bantuan sosial oleh pemerintah. Perusahaan pelat merah itu harus bersaing dengan pedagang beras swasta dalam memasok komoditas itu ke outlet e-warong.
Sumber: Detik
Kementerian Sosial pernah menjanjikan keleluasaan bagi Bulog sebagai pemasok utama beras bagi outlet BPNT dengan target penyaluran dari September-Desember 2019 sebesar 700.000 ton.
Namun dalam kenyataannya, beras Bulog tetap tidak bisa secara penuh dipasok ke KPM BPNT. Realisasi penyaluran beras untuk BPNT oleh Bulog baru mencapai 85.000 ton hingga awal bulan ini.
Baca Juga: Mentan: Tahun 2020, Indonesia Siap Ekspor 500 Ribu Ton Beras
Bulog pun kelimpungan, karena kebijakan baru pemerintah tersebut membuat perusahaan tersebut merugi hingga Rp955 miliar per September 2019 lalu. Buwas mengatakan kerugian tersebut tercatat dalam segmen public service obligation (PSO) atau penugasan pemerintah terhadap Bulog.
Belum lagi, Bulog juga mengalami kesulitan dalam mengelola CBP, lantaran tidak sinkronnya peraturan di tingkat regulator. Hal itu menjadi salah satu penyebab, utang Bulog membengkak hingga Rp28 triliun pada tahun ini.
Sumber: Sindonews
Kebijakan peralihan bansos rastra ke BPNT, di satu sisi menyelesaikan permasalahan dalam pemberian hak kepada KPM untuk memilih kebutuhan pokok yang disubsidi pemerintah. Namun demikian, kebijakan itu membuat Bulog terbebani karena tidak lagi memiliki saluran yang pasti untuk mengeluarkan CBP.
Di luar itu, Bulog juga masih dibebani oleh stok impor beras pada 2018 yang besar dan target penyerapan beras petani untuk CBP yang mencapai 1,6 juta ton pada tahun ini.
Langkah sporadis dan cenderung jor joran yang harus ditempuh Bulog dalam menyalurkan CBP mestinya tak perlu terjadi, apabila pemerintah konsisten dan menciptakan kebijakan yang terukur dalam mengelola cadangan berasnya. Sebab, apabila kondisi ini dibiarkan, maka karut-marut kebijakan perberasan nasional akan terus terjadi. Masyarakat pun akhirnya yang akan menjadi korban.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar