Ceknricek.com -- Ini bukan hoaks. Benar, ada asuransi di Indonesia yang hanya melayani transaksi dalam mata uang China, renminbi (RMB) atau yuan. Asuransi tersebut adalah PT China Life Insurance Indonesia. Beberapa hari yang lalu, perusahaan asal Negeri Tirai Bambu ini meluncurkan asuransi dwiguna individu pertama dalam mata uang renminbi di pasar asuransi jiwa Indonesia, yakni CLII Privilege Insurance Plan.
Bos asuransi ini bilang, sengaja menggarap pasar Indonesia dengan menggunakan Yuan untuk mendukung proses internasionalisasi mata uang China tersebut. Selama ini, hal itu hanya bisa dilakukan melalui deposito berjangka yang bunganya sangat kecil, hanya berkisar 1%.
Nah, rupanya ekspansi asuransi China itu mengundang polemik di media sosial. Maklum saja, saat ini apa-apa yang berbau China memang lagi menjadi isu seksi. “Awalnya orang China berdatangan merebut pasar tenaga kerja dalam negeri, sekarang duit China pun bakal menggusur rupiah,” begitu salah seorang nitizen berkomentar di akun grup WhatsApp.
Lalu apakah yang dilakukan PT China Life Insurance Indonesia sebagai sesuatu yang dilarang? Bagaimana sesungguhnya aturan bertransaksi di Indonesia?
Jika menengok aturan Bank Indonesia terkait kewajiban penggunaan kurs rupiah di dalam negeri maka pembayaran transaksi harusnya tetap menggunakan rupiah. Hanya saja, Presiden Direktur PT China Life Insurance Indonesia, Lam Kin Kwok Ken, menjelaskan nasabah boleh saja menggunakan mata uang rupiah kendati mesti ditukar dulu dengan Yuan. Jadi, tinggal diputar aja.

China Life. Sumber: Kompas
Sejatinya, setiap warga negara Indonesia dan korporasi diperbolehkan untuk memiliki aset, surat berharga, dan deposito dalam valas, termasuk polis asuransi. Otoritas Jasa Keuangan atau OJK tidak melarang investasi seperti itu. Soal investasi jenis valas apa yang dikehendaki, diserahkan kepada mekanisme pasar, apakah dolar AS, yen Jepang, yuan China, dolar Singapura, silakan saja. Tidak ada larangan. "Contoh lain adalah debitur kredit valas on shore juga diperbolehkan membayar kewajibannya menggunakan valas," tutur Juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, di Jakarta, Kamis (11/7).
Turis China di Bali
Transaksi dengan menggunakan Yuan kini memang sedang marak di Indonesia. Turis-turis China yang datang ke Indonesia lazim menggunakan mata uang Yuan. Konon, beberapa merchant yang melayani transaksi WeChat Pay, 20% menggunakan rupiah, sedangkan 80% lagi menggunakan mata uang yuan.
Di Bali, misalnya, ada tiga jenis transaksi renminbi. Pertama adalah transaksi WeChat Pay transfer peer to peer lending dalam renminbi. Kedua adalah transaksi kartu Union Pay lewat EDC memakai wifi dari China. Sedangkan ketiga adalah memakai voucher renminbi dari aplikasi Dian Ping.

Sumber: Nusantara
Sebagai destinasi utama pariwisata di Indonesia, Bali merupakan salah satu pulau WeChat Pay paling banyak digunakan. Menurut survei Bank Indonesia (BI), ada sekitar 1.800 lokasi usaha yang menggunakan WeChat Pay sebagai alat untuk bertransaksi di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu 90% ada di Bali.

Wechat. Sumber: SampiMarketing
China menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga sebagai destinasi pariwisata terfavorit pada 2018. Posisi Indonesia masih kalah dari Thailand dan Jepang, yang menjadi tujuan berpelesir paling disukai oleh warga China. Dalam pandangan wisatawan kelas atas China, berdasarkan data Ctrip, objek-objek wisata di Indonesia dinilai lebih menarik dibandingkan dengan di Maladewa, Amerika Serikat, Australia, Prancis, Singapura, Uni Emirat Arab, dan Italia.
Klien Ctrip dari kalangan wisatawan kelas atas bisa menghabiskan uang rata-rata 23.800 RMB (Rp48,7 juta) per orang. Angka itu jauh lebih besar daripada wisatawan yang membeli paket standar yang hanya menghabiskan 5.500 RMB (Rp11,2 juta) per orang.
Pada tahun lalu, wisatawan China yang menggunakan jasa Ctrip meningkat 180% dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun, Bali masih menjadi tujuan favorit wisatawan China yang berlibur di Indonesia. Pada tahun lalu, Indonesia menerima sekitar 2,6 juta kunjungan wisatawan China. Pada tahun ini Kementerian Pariwisata RI menargetkan 3,5 juta kunjungan wisatawan China.
Ketergantungan Pada Dolar
Transaksi penggunaan mata uang China semakin marak karena sudah menjadi keinginan Istana. Presiden Joko Widodo menghendaki, transaksi perdagangan kedua negara sebisa mungkin menggunakan yuan dan rupiah. Cara ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Tidak masuk akal jika perdagangan maupun investasi antara China dan Indonesia justru menggantungkan kepada dolar AS. Minimal, kita harus menggunakan lebih banyak euro maupun yen Jepang. Ini bukan permasalahan sederhana, sehingga pemerintah harus mendorong lebih banyak pembelian renminbi," ujar Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong, menyahuti imbauan presiden itu, Maret lalu.
Presiden Jokowi juga telah mengingatkan penggunaan renminbi dan mata uang lokal terutama untuk pembiayaan proyek dalam The Belt and Road Initiative atau Jalur Sutra yang digagas oleh Presiden China Xi Jinping. Peringatan diberikan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) The Belt and Road Initiative pertama.
Menurut Thom, saat ini China dan Indonesia telah bertransaksi dengan menggunakan rupiah maupun renminbi. Penggunaan mata uang tersebut telah mencapai 5-10% dari total transaksi. "Sudah dua tahun yang lalu Presiden Jokowi menyoroti risiko besar terhadap ekonomi global atas ketergantungan berlebih pada dolar AS," ujarnya.

Sumber: Tribunnews
Pada tahun lalu, Indonesia dan China juga telah memperbarui perjanjian pertukaran (swap) bilateral dalam mata uang lokal (Bilateral Currency Swap Arrangement/BCSA) melalui bank sentral masing-masing negara. Pembaruan itu terkait dengan perpanjangan dan pertambahan nilai dari perjanjian.
Bank Indonesia dan People's Bank of China (PBC) Yi Gang menyepakati pertambahan nilai BCSA dari 100 miliar yuan (setara US$15 miliar) menjadi 200 miliar yuan (setara US$30 miliar). Perjanjian berlaku selama tiga tahun, dan dapat diperpanjang berdasarkan kesepakatan bersama.
Hubungan antara Indonesia dan China memang makin mesra. Jadi wajar saja jika apa yang dimiliki China dijual di Indonesia. Begitu juga sebaliknya, Indonesia pun boleh menjual barangnya di China. Persoalan China lebih gesit berdagang di Indonesia itu soal lain. Kita nikmati saja barang murah dari Negeri Panda itu. Saran lama mungkin masih relevan, “belajarlah walau sampai ke negeri China”. Kini, orang China sudah membanjiri Indonesia, maka untuk apa jauh-jauh belajar ke sana?