Mbaru Niang, Rumah Adat Wae Rebo di Atas Awan | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Inclovermag.com

Mbaru Niang, Rumah Adat Wae Rebo di Atas Awan

Ceknricek.com - Kampung Wae Rebo, salah satu kampung unik yang berada di atas gunung dengan ketinggian 1.117 mdpl. Wae Rebo menjadi kebanggan bagi masyarakat Indonesia, khususnya Flores, Nusa Tenggara Timur lokasi kampung tersebut. Kampung ini menjadi salah satu desa di atas awan di Indonesia.

Letaknya berbatasan dengan Taman Nasional Komodo, di Kabupaten Manggarai Barat, Wae Rebo menarik perhatian banyak orang dengan keunikannya. Salah satunya adalah rumah tempat tinggal warga yang berarsitektur unik.

Di Wae Rebo terdapat rumah dengan tinggi sekitar 15 meter masing-masing. Masyarakat di sana menyebut rumah adat itu dengan Mbaru Niang yang artinya Rumah yang tinggi dan bulat. Rumah ini berbentuk kerucut dengan atap yang menjulang tinggi dan menjulur hampir menyentuh tanah. Atapnya terbuat dari daun lontar yang ditutupi ijuk, sedangkan kerangka atap menggunakan bambu dan kayu kentil.

Mbaru Niang berbentuk kerucut merupakan simbol perlindungan dan persatuan setiap warga Wae Rebo. Lantai yang ditutupi papan kayu ajang berbentuk lingkaran sebagai lambang harmonisasi dan keadilan setiap warga dan keluarga.

Pondasi rumah dibuat dari batang kayu uwu yang ditanam 2 meter dalam tanah. Kayu yang digunakan untuk pondasi dibungkus dengan ijuk dan plastik untuk mencegah pengeroposan karena tanah yang lembab. Satu lagi bagian penting dari Mbaru Niang adalah ngando atau tiang utama setinggi 15 meter. Tiang ini menggunakan kayu warok yang diletakkan tepat di tengah rumah untuk penyeimbang.

Rumah tinggi ini terbagi menjadi 5 lantai yang mempunyai fungsi masing-masing. Setiap lantai pun memiliki beberapa ruangan. Untuk menuju ke lantai atas, perlu menaiki tangga dari bambu yang dilubangi untuk tempat pijakan.

Lantai dasar disebut lutur atau tenda, yang terdapat ruang utama dan dapur, fungsinya sebagai tempat tinggal dan berkumpul keluarga. Lantai kedua disebut lobo atau loteng yang digunakan untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang lain.

Lantai ketiga disebut lentar yang merupakan tempat penyimpanan benih-benih tanaman seperti kopi, jagung, padi, dan kacang-kacangan. Mayoritas masyarakat di Wae Rebo bekerja sebagai petani.

Naik satu lantai, terdapat lempa rae yang dipersiapkan untuk menyimpan stok bahan makanan. Sewaktu-waktu dapat terjadi kekeringan yang membuat pertanian mungkin gagal atau sedikit. Untuk itu, warga telah mempersiapkan cadangan makanannya di lantai ini.

Puncaknya, lantai kelima yang dinamai hekang kode yang menjadi lantai sakral. Di tingkat ini, masyarakat Wae Rebo melakukan tradisi persembahan sesajian untuk para leluhur. Warga di sini memang masih memiliki kepercayaan yang kuat kepada roh leluhur. Bahkan, warga telah menuliskan di papan pengumuman pada pos pendakian bahwa mereka meyakini roh leluhur masih tinggal dan melindungi.

Salah satunya bentuk kepercayaan kepada roh leluhur adalah sebuah upacara adat untuk penyambutan tamu. Pengunjung yang baru datang harus melalui prosesi adat sebagai bentuk kesopanan kepada roh leluhur sehingga mendapat perlindungan pula.

Kembali soal Mbaru Niang, salah satu yang unik pula, bangunan besar ini tidak menggunakan paku. Warga hanya menggunakan tali rotan untuk mengikat dengan sangat kuat setiap bagian rumah besar ini. Ukurannya memang cukup besar, sehingga satu buah Mbaru Niang dihuni oleh enam hingga delapan keluarga.

Jumlah Mbaru Niang hanya 7 buah yang merupakan penghormatan terhadap 7 arah gunung yang ada di sana. Masyarakat mengganggapnya sebagai pelindung Kampung Wae Rebo. Roh-roh leluhur juga dipercaya bersemayam di 7 titik di sekitar lingkaran kampung. Rumah-rumah ini bersusun mengelilingi altar yang disebut dengan Compang, sebuah titik pusat keseimbangan. Tempat itu digunakan untuk memuji dan menyembah Tuhan, serta roh leluhur. Tempat ini sakral sehingga turis atau tamu tidak diizinkan duduk di Compang.

Dengan segala keunikannya, Mbaru Niang mendapat Award of Excellence, penghargaan tertinggi dalam UNESCO Asia-Pasific Award untuk kategori konservasi warisan budaya di tahun 2012.

Pengunjung juga dapat merasakan tinggal di rumah adat milik warga. Di luar lingkaran inti yang berisi 7 buah Mbaru Niang, ada pula 2 rumah yang digunakan sebagai tempat menginap untuk para tamu yang berkunjung. Satu rumah dapat menampung hingga 35 orang.

Untuk mendatangi Wae Rebo, Anda memerlukan usaha dan tenaga yang cukup. Pertama harus menempuh perjalanan sekitar 6 km dari Desa Dintor ke Desa Denge menggunakan kendaraan. Selanjutnya harus berjalan kaki dan mendaki sejauh 9 km atau sekitar 3-4 jam.



Berita Terkait