Media Sosial dan Analogi Jalan Raya | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Ilustrasi: Tim Ilustrator Ceknricek/Ardy

Media Sosial dan Analogi Jalan Raya

Ceknricek.com -- Siapa yang bertanggung jawab atas penyebaran kabar-bohong atau hoaks di lini media sosial yang sering meresahkan masyarakat belakangan ini?  Mereka yang membuat hoaks atau perusahaan pemilik platform media sosial yang menjadi sarana persebaran hoaks? Dalam urusan ini, kita sering berhadapan dengan analogi tentang “jalan raya”. Layanan media sosial seperti Facebook, YouTube, Twitter, Instagram sering diumpamakan sebagai “jalan-raya” yang disediakan secara gratis untuk semua orang. Digambarkan dengan dermawan dan tanpa pretensi, perusahaan penyedia layanan media sosial itu telah “mewakafkan” teknologi dan fasilitas penyimpanan data yang mereka miliki untuk digunakan secara cuma-cuma oleh semua orang di seluruh penjuru dunia.

Tak bisa disangkal, media sosial memang menghadirkan kegembiraan, gairah, dan kemudahan baru bagi masyarakat. Sebuah mode interaksi sosial baru telah lahir dan menghentakkan dunia. Masyarakat menikmatinya dan berasyik-masyuk dengan “mainan baru” itu saban hari. Jumlah penguna media-sosial terus mengalami lompatan fantastis. Hingga pada suatu titik, kita mendapati ada yang mabuk kepayang dan lupa diri. Mereka menggunakan media sosial bukan untuk menguatkan empati sosial dan saling-pengertian antar sesama, bukan hanya untuk bereuni dengan kawan lama, melainkan juga untuk bertindak jahat kepada orang lain.

Media sosial mereka gunakan sebagai sarana untuk menghujat, menghakimi, merendahkan, dan memfitnah orang lain. Tak pelak, media-sosial menjadi begitu identik dengan hoaks. Ketika masalah yang muncul pada aras ini semakin kompleks dan meresahkan masyarakat, siapa yang mesti bertanggung jawab? Apakah hanya si pembuat hoaks? Ataukah juga perusahaan platform media sosial yang telah menyediakan sarana “jalan raya” yang konon gratis itu dan menjadi sarana penyebaran hoaks?


Ilustrasi: Ceknricek.com/kiki

Analogi platform media sosial sebagai “jalan raya” gratis adalah sebuah versi penjelasan yang bermuara pada kesimpulan: tidak sepatutnya Facebook, YouTube, Twitter, Instagram disalahkan atas hoaks dan ujaran kebencian yang terjadi pada lini media sosial yang mereka sediakan. Layanan media sosial itu telah disediakan secara gratis. Padahal, menggunakan teknologi tinggi dan melibatkan investasi yang mahal. Semua orang dapat menggunakannya secara cuma-cuma. Tidak ada paksaaan untuk menggunakannya. Lalu, jika ada masalah di “jalan raya” itu karena ulah penggunanya, apakah si dermawan yang menyediakan jalan raya itu mesti bertanggung jawab? Karena sifat gratis itu, juga karena konsumsi media sosial diasumsikan berdasarkan kebebasan penggunanya dan tidak ada paksaan, maka jika ada percekcokan di antara pengguna “jalan raya”, semestinya bukan tanggung jawab penyedia “jalan raya” lagi.  Jika ada hoaks yang menyebar di sana dan menimbulkan perselisihan, semestinya tanggung jawab ada pada pembuat hoaks. Semestinya perselisihan itu direduksi sekadar sebagai masalah antara si pembuat hoaks dan korban hoaks.  Perusahaan penyedia platform media-sosial yang dianalogikan dengan “jalan raya” gratis itu sepatutnya impun dari tanggung jawab.

Analogi media sosial sebagai “jalan raya” gratis ini kedengarannya masuk akal. Tak heran, banyak pihak terkecoh dan mendukungnya. Sebagian dari mereka bahkan menjadi pendukung cukup fanatik dari Facebook, Twitter, dan lain-lain, manakala perusahaan ini menghadapi gugatan terkait dengan peran mereka dalam penyebarluasan hoaks. Pengguna internet--pada umumnya--tidak melihat relevansi tanggung jawab perusahaan penyedia layanan media sosial itu dalam urusan hoaks. Demikian juga yang terjadi pada level penegakan hukum atas hoaks.

Perspektif korporasi absen dalam diskursus tentang penanggulangan hoaks di Indonesia. Yang dianggap mesti bertanggung jawab atas penyebaran hoaks dewasa ini hanya si pembuat hoaks saja. Korporasi penyedia layanan media sosial sama sekali tidak dipersoalkan secara hukum oleh polisi. Polisi hanya sibuk menindak para pembuat hoaks. Padahal, tanpa banyak disadari, Facebook, Twitter dan lain-lain sebenarnya diuntungkan dengan kontroversi hoaks. Semakin kontroversial hoaks, semakin banyak pengguna atau pengunjung platform media sosial, semakin banyak data-perilaku-pengguna-internet (internet user behavior data) yang mereka peroleh, semakin cerdas algoritma dan produk kecerdasan buatan mereka, semakin besar potensi pendapatan iklan mereka. Namun sekali lagi, sejauh ini mereka bebas dari tanggung jawab. Penegak hukum belum menempatkan mereka sebagai subjek hukum yang semestinya turut bertanggung jawab dalam permasalahan hoaks. Para penegak hukum juga telah tersihir oleh analogi “jalan raya” gratis tadi.

Kalaupun analogi media-sosial sebagai “jalan raya” itu tetap digunakan, yang digambarkan di atas adalah analogi yang tidak utuh. Analogi yang hanya diceritakan separuh jalan. Memang, media sosial dapat digunakan oleh semua orang dan memberi manfaat yang tidak sedikit. Namun apakah media sosial itu benar-benar gratis? Apa benar kita menikmati media sosial secara cuma-cuma? Pada titik ini, ada dua variabel yang perlu ditambahkan pada analogi media sosial sebagai “jalan raya” di atas. Pertama, kita mesti membayangkan di kiri-kanan “jalan raya” itu telah dipasang CCTV yang berderet dari awal hingga ujung jalan. CCTV itu mengawasi dan merekam gerak-gerik semua pengguna “jalan raya”. Hasilnya adalah catatan yang rinci tentang siapa setiap individu pengguna “jalan raya” itu, dengan siapa mereka bergaul, bagaimana perilaku konsumsi mereka, bagaimana keyakinan ideologi mereka, apa masalah kesehatan mereka, apa kebutuhan terkini mereka dan seterusnya.


Ilustrasi: uangonline.com

Catatan-catatan ini ibaratnya aset bernilai tinggi yang secara sepihak dimiliki perusahaan-perusahaan layanan media sosial. CCTV itu adalah analogi dari algoritma perusahaan-perusahaan layanan media sosial. Catatan rinci itu adalah analogi dari data-perilaku-pengguna-internet yang digunakan perusahaan media sosial untuk mengembangkan produk kecerdasan buatan (artificial intelligence), mengoperasikan machine-learning pada berbagai bidang penerapan, dan meningkatkan volume iklan-digital-tertarget (targeted digital advertising).

Kedua, kita juga mesti membayangkan di sepanjang “jalan raya” itu dipasang spanduk, baliho, papan reklame, dan lain-lain. Isinya adalah pesan-pesan komersial, sosial, dan politik yang terus-menerus menarik dan mengusik perhatian pengguna jalan. Tak jarang, pesan-pesan itu memasuki ranah pribadi si pengguna jalan. Spanduk, baliho, dan papan reklame itu adalah analogi dari iklan-iklan digital yang berseliweran di lini media sosial. Dari iklan digital itu, perusahaan layanan media sosial menangguk keuntungan ekonomi yang luar biasa besar. 

Singkat kata, analogi media sosial sebagai “jalan raya” gratis itu adalah analogi yang mengecoh. Tidak ada yang benar-benar gratis dalam jagat media sosial. Perusahaan layanan media sosial memberikan banyak hal kepada penggunanya, tetapi juga mengambil banyak hal; privasi, kebebasan, dan kedaulatan diri. Tanpa banyak didasari, telah terjadi proses instrumentalisasi pengguna media sosial sebagai objek pengawasan dan periklanan digital. Telah terjadi pertukaran antara layanan digital gratis (free services) dengan data-perilaku-pengguna-internet gratis (free data) yang menurut banyak pakar tidak transparan dan tidak adil.

Revolusi digital seperti terepresentasikan oleh penetrasi media sosial pada gilirannya menampakkan diri sebagai sebuah aporia. Dia menawarkan kebebasan tetapi secara laten juga menghadirkan kontrol. Dia menyajikan kemungkinan-kemungkinan deliberasi sekaligus memperlihatkan tendensi instrumentalisasi. Dia melahirkan peluang-peluang yang menjanjikan tentang ekonomi kreatif sekaligus juga bertendensi untuk menciptakan struktur kapitalisme baru, dimana surplus ekonomi digital di berbagai negara sedemikian rupa diserap dalam porsi yang berlebihan oleh kekuatan-kekuatan raksasa digital yang memusat pada satu negara saja.


-Penulis: Anggota Dewan Pers.



Berita Terkait