Memalukan, Menkes Bicara Asal-asalan, dan Omong Kosong Tanpa Makna dihadapan Mendikti-sainstek dan Pimpinan Unpad dan RSHS | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Memalukan, Menkes Bicara Asal-asalan, dan Omong Kosong Tanpa Makna dihadapan Mendikti-sainstek dan Pimpinan Unpad dan RSHS

Ceknricek.com---Pengalaman tentang pendidikan dokter spesialis tentu hanya bisa diceritakan oleh mereka yang pernah mengalami suka duka menjalaninya. Di negeri manapun di dunia ini, pendidikan dokter spesialis bukan cuma mendidik ketrampilan psikomotor seperti pendidikan vokasi yang dilakukan di Balai Latihan Kerja atau BLK.

Pendidikan dokter spesialis juga bukan sekedar mengajarkan ketrampilan profesi, tapi ada ilmu yang harus dikuasai secara komprehensif (body of knowledge). Ada etika keilmuan dan etika serta disiplin profesi yang melekat, serta harus menjaga ‘patient safety’ sesuai dengan prinsip dasar ilmu kedokteran yaitu ‘Do No Harm’ (tidak boleh seorangpun mengalami cedera saat mencari pertolongan medis).

Landasan Etik dan Moral diperlukan agar jasa dokter tidak menjadi upaya bisnis perdagangan atau jual beli yang memanfaatkan orang sakit sebagai obyek untuk mencari keuntungan. Hal ini amat bertolak belakang dengan jasa seorang Bankir yang seolah menolong nasabah padahal berburu rente. Tempaan proses pendidikan dengan segala suka dan duka bahkan tetesan airmata itulah yang akhirnya membentuk pribadi tangguh dengan moral yang luhur para dokter spesialis sekaligus pejuang kemanusiaan tersebut.

Dalam sebuah konferensi pers di Kemenkes berjudul ‘pemerintah sikapi maraknya dokter cabul’, yang juga dihadiri oleh Mendikti-Sainstek pada Senin 21/4, menkes yang bicara secara daring menyampaikan beberapa saran dan arahan (https://youtu.be/5ozmLjotQbs?si=612UJYNE-tXOW4C3). Saran dan arahan menkes tersebut bila ditelaah lebih jauh, semuanya berangkat dari dugaan/ anggapan dan pemahaman yang salah serta sikap prejudice terhadap tatakelola dan model pendidikan PPDS yang berlangsung saat ini.

Tanpa landasan bukti atau fakta, ditambah sikap prejudice menkes terhadap PPDS ‘University Based’ dan Organisasi Profesi Dokter, serta berangkat dari ketidaktahuan tapi merasa seolah paling tahu, yang muncul adalah saran yang asal bicara, tanpa landasan bukti sains dan keluar dari konteks sistem layanan kesehatan yang sedang kita bangun bersama.

Sebagai pejabat publik yang berkuasa penuh atas seluruh tatakelola tenaga medis dan tenaga kesehatan di negeri ini, semua saran dan arahan menkes tersebut bisa dibilang Omong Kosong alias Zonk, dan berpotensi tidak pernah menyelesaikan permasalahan yang ada. Yang mengherankan, berbagai usulan menkes yang asal-asalan dan jelas tidak mampu laksana, tapi mendapat dukungan riuh dari para buzzer dan penjilat di medsos, dan disaat yang sama tidak satupun ada tanggapan maupun penjelasan dari para petinggi kemenkes yang dokter, semua bisu atau memang mereka adalah para bebek yang tupoksinya hanya membebek.

Pendidikan Spesialis: Transfer Ilmu dan Ketrampilan Tidak semua harus langsung dari Guru kepada PPDS-nya

Dalam Konferensi Pers tersebut, menkes berulang kali menyebut terkejut ketika tahu bahwa ada PPDS yang diajar oleh seniornya, bukan oleh Konsulen atau gurunya. “Di luar negeri, semua peserta didik PPDS diajar langsung oleh gurunya, bukan oleh seniornya”. Apakah karena bukan dokter dan bukan pula seorang pendidik, menkes pantas untuk tidak faham dan boleh ngawur alias menuduh asal-asalan?

Di Departemen Bedah Saraf FK Undip, ada 4 (empat) orang staf termasuk saya sendiri, yang sepenuhnya merupakan produk Pendidikan Spesialis Luar Negeri (5-6 tahun) yang kemudian mengikuti program Adaptasi Spesialis di Indonesia selama 1-2 tahun. Ditambah pengalaman saya selama 30 tahun mendidik dokter spesialis, apa yang disampaikan menkes terkait proses transfer ilmu dan ketrampilan dalam pendidikan spesialis jelas tidak benar, over-simplifikasi sebuah proses yang komplek, sengaja diumbar demi membangun opini publik tentang buruknya model PPDS saat ini, demi memuluskan agenda busuk untuk aneksasi dan menguasai proses rekrutmen dan produksi dokter dan dokter spesialis di Indonesia.

Di RS Pendidikan, pelayanan adalah bagian dari pendidikan, dan pendidikan adalah bagian dari pelayanan. Semua RS Pendidikan telah diakreditasi sebagai Academic Hospital, artinya bila semua yang terlibat dalam proses pendidikan bekerja sesuai tupoksinya dan mengikuti standar prosedur operasional sesuai akreditasi, maka proses transfer ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan kompetensipun akan berjalan sesuai dan harus memenuhi standar Academic Hospital.

Secara sederhana, semua setidaknya pernah menonton film yang bercerita tentang Padepokan Silat atau Kungfu dengan banyak murid. Tampak disana seorang murid senior yang sedang mengajarkan pada adik-adik kelas nya tentang posisi berdiri/ kuda-kuda yang benar, serta gerak pukulan tangan dan tendangan kaki yang efektif dan efisien. Sang Guru/ Professor cukup duduk di kejauhan, mengawasi sambil menikmati kopi tubruk panas. Sang Guru tentu tahu kapasitas pengetahuan dan tingkat penguasaan jurus-jurus Kungfu dari setiap murid seniornya, mulai Kakak pertama sampai Kakak ke tujuh misalnya. Jadi meskipun jurus-jurus dasar dilatih oleh murid senior, tapi sang Guru tahu betul dan bertanggung-jawab penuh atas penguasaan ilmu yang dicapai oleh semua muridnya.

Sesuai dengan kompetensinya, peserta didik harus diberi kesempatan melakukan tindakan mandiri dengan supervisi. Disinilah pentingnya kehadiran Kelompok Ahli, para Guru Besar, yang menyusun standar Kompetensi, standar Guru/ Dosen, dan standar Pencapaian Kompetensi, dan pelbagai standar lainnya. Peran Kelompok Ahli (baca: Kolegium Bidang Ilmu) ini tidak mungkin digantikan oleh orang-orang comotan atau hasil penunjukan dari seorang menkes yang cuma merasa tahu padahal samasekali Zonk (Nol Besar) soal pendidikan spesialis. Kolegium Kesehatan adalah Kumpulan orang-orang comotan alias para petugas/ pesuruh menkes yang bersembunyi di balik UU yang proses pembentukannya tidak transparan, tidak partisipatif, dan dipaksakan. Bila dibiarkan maka akan terjadi kerusakan dan kekacauan dalam Pendidikan spesialis, dan masyarakat penerima layanan-lah yang akan menjadi korbannya.

Sebagai seorang Spesialis Bedah Epilepsi paling senior di Indonesia, dari total waktu operasi epilepsi Amigdalo-Hippokampektomi yang berlangsung sekitar 5 jam, saya tahu betul ada waktu sekitar 60-90 menit yang paling crucial yang harus saya kerjakan sendiri yaitu memisahkan struktur hippokampus dari saraf dan pembuluh darah di sekitar brainstem.

Selain waktu crucial itu, selebihnya bisa dikerjakan oleh spesialis junior atau residen senior, misalnya mengajar para PPDS untuk mengatur posisi kepala pasien, menggambar bentuk irisan pada kulit kepala, sampai membuat irisan pada Kulit Kepala serta membuka tulang kepala.

Untuk operasi perdarahan di luar selaput otak akibat trauma KLL, saya bahkan bisa meminta residen tahap mandiri untuk sepenuhnya melakukan operasinya sambil mengajar adik-adiknya. Saya cukup mengawasi dan hanya akan turun tangan bila di tengah-tengah operasi ada kesulitan misalnya untuk mematikan sumber perdarahan nya.

Sebagai penanggung-jawab pasien, saya perlu memastikan semuanya berjalan sesuai prosedur/ standar yang telah ditetapkan Kolegium dan SOP sesuai Academic Hospital, dengan duduk di pojok kamar bedah dan mengawasi proses operasi sambil mengolah data atau mengedit foto-foto pasien di laptop saya.

Saran menkes tentang Test Psikologi setiap 6 bulan bagi peserta didik PPDS

Hal yang paling ditakutkan dan bisa membahayakan kepentingan publik, adalah ketika menkes tidak tahu dan tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu apapun soal Pendidikan Spesialis. Orang yang sadar bahwa dirinya tidak tahu, tentu akan mau bertanya dan belajar dari orang lain. Tapi orang yang tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu, tapi merasa sok tahu, akan mengumbar banyak janji dan saran tapi semuanya sekedar Omon-Omon alias Janji Palsu. Dari sinilah muncul saran-saran serta kebijakan yang asal bicara, tanpa landasan bukti sains yang jelas.

Contohnya adalah rencana pemeriksaan atau test psikologi bagi ppds sekali setiap 6 bulan. Test ini tidak akan bisa mengeliminasi adanya anomali kepribadian yang bisa terjadi pada siapapun, di institusi manapun. Bila ada seorang Polisi yang menggunakan senjata api secara salah (menembak orang yang tidak bersenjata atau anak di bawah umur), maka hanya satu anggota itu saja yang dicabut izin penggunaan Senpinya untuk waktu tertentu serta diwajibkan untuk dilakukan evaluasi psikologik. Bukan seluruh anggota Polisi dilarang bawa Senpi, atau semua polisi diwajibkan ikut pembinaan psikologi, apalagi setiap enam bulan.

Selama tidak ada bukti sains bahwa test psikologik setiap 6 bulan bisa mencegah terjadinya perilaku seksual menyimpang maupun tindak kriminal tertentu, maka jelas ide atau saran menkes hanyalah Omong Kosong dari seorang pejabat publik yang tidak tahu bahwa dirinya tidak mengerti tapi merasa sok tahu. Orang seperti inilah yang seharusnya perlu dilakukan konsultasi/ terapi psikologik bahkan terapi psikiatrik agar publik selamat dari berbagai saran, narasi, dan program-program yang bersifat reaktif, spontan, tanpa basis sains, sehingga berpotensi merusak dan memporak-porandakan layanan publik bagi masyarakat banyak.

Saran Menkes terkait pemberian SIP Dokter Umum untuk Peserta didik PPDS

Betapa sulitnya untuk memberi penjelasan dan pemahaman pada menkes tentang keseharian seorang peserta didik PPDS, sama sulitnya seperti mencoba menjelaskan rupa/ bentuk seekor gajah kepada orang buta. Apalagi kalau yang bersangkutan tidak tahu bahwa dia tidak mengerti, tapi merasa paling tahu. Yang terjadi selanjutnya adalah munculnya saran yang asal-asalan, asal bicara tapi ngawur. Contohnya adalah saran terkait pemberian SIP Dokter Umum bagi peserta didik PPDS, agar mereka bisa mengurangi tekanan finansial dengan mencari uang sendiri/ berpraktek sebagai dokter umum.

Berulang kali menkes menyatakan model pendidikan kita tidak sesuai dengan yang di luar negeri dan kita mesti meniru mereka yang di luar negeri. Faktanya, yang berbeda dari Pendidikan PPDS di Luar Negeri, adalah Tidak Hadirnya Negara (cq. Kemenkes, cq. RS Kemenkes/ RS Pendidikan) dalam memenuhi kewajiban memberikan gaji/ insentif bagi para peserta didik PPDS. Kewajiban itulah yang tidak pernah dipenuhi oleh menkes selaku pejabat publik tertinggi sekaligus pemilik semua RS Kemenkes. Padahal kewajiban ini telah diundangkan sejak 12 tahun yang lalu, berdasarkan UU Dikdok (UU 20/2013) Pasal 31, yang mewajibkan RS Kemenkes memberikan insentif/ gaji bagi peserta didik PPDS.

Demi mengurangi tekanan/ beban finansial peserta didik PPDS, menkes menyarankan agar pada mereka diberikan SIP dokter umum (DU) untuk bisa berpraktek dan mencari uang sendiri. Menkes jangan berpura-pura blo’on/ bodoh, berterus terang sajalah, saran ini bukan untuk mengurangi beban finansial peserta didik PPDS, tapi sebaliknya ini bertujuan agar kemenkes (cq RS Kemenkes) bisa lepas dari tekanan finansial dan tanggung-jawab untuk memberikan insentif bagi peserta didik PPDS. Dalam pepatah Jawa, sikap ini disebut ‘Tinggal Glanggang Colong Playu’, alias perbuatan seorang Pengecut.

Bagi mereka yang tidak faham dan tidak tahu keseharian para PPDS ini, seolah ini sebuah ide yang baik dan cemerlang. Peserta didik PPDS diminta praktek sebagai DU (di luar kewajiban hadir maksimal 80 jam seminggu, berdasarkan surat Dirjen Yankes TK. 02.02/D/10133/2023 tentang Pencegahan Bullying dan Pengaturan Beban Kerja Mahasiswa Co-Ass/PPDS/Residen di RS Pendidikan) adalah tidak masuk akal, konyol, dan bisa mengacaukan skema sistem layanan kesehatan sesuai JKN yang mulai tertata baik.

Kalaupun ada waktu yang tersisa, waktu itu jauh lebih berharga untuk bisa tidur nyenyak serta kesempatan bertemu dengan istri dan anak-anaknya. Andaikan ada PPDS yang punya waktu untuk praktek sebagai dokter umum, tentu harus masuk dan menjadi bagian dari skema sistem layanan kesehatan sesuai program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Menurut data BPJS Kesehatan, per 30 Nov.2024, jumlah peserta JKN mencapai 277,9 juta orang atau 98,25% penduduk Indsonesia (https://www.cnbcindonesia.com). Dalam skema ini, peran DU ada di Faskes Primer sebagai Dokter Puskesmas atau Dokter Keluarga, atau di Klinik-klinik Pratama. Selain itu, di banyak Fasyankes Rujukan (Rumah Sakit) milik Pemerintah Daerah atau RS Swasta, banyak staf medis yang bekerja secara penuh waktu sebagai dokter umum dengan pelatihan khusus (ATLS-ACLS) untuk bertugas melayani pasien di UGD, di ICU, di HDU, dan di Ruang Perawatan.

Jadi jelas dan jadi tahu kan, meskipun menkes memberikan SIP DU kepada para PPDS tersebut, semua itu hanya sebatas Asal Bicara alias Omon-omon alias PHP belaka, karena di dalam sistem layanan kesehatan yang kita bangun tidak ada tempat atau posisi yang bisa mereka isi secara paruh waktu. Atau jangan-jangan menkes berencana membuka faskes primer baru di luar skema layanan JKN, bisa saja di rumah menkes (untuk melayani para ART di rumah menkes), atau di tempat-tempat yang belum ada faskes seperti di ruang angkasa, atau di tengah hutan Sumatera atau Papua (bila hutannya masih tersisa).

Fakta terkait kegagalan negara (cq menkes, cq RS Kemenkes) untuk memberikan gaji/ insentif bagi PPDS inilah yang jelas membedakan pendidikan spesialis di Indonesia dengan di Luar Negeri, bukan soal Test Psikologi setiap 6 bulan, dan bukan pula soal proses transfer ilmu dan ketrampilan dari seniornya, atau dari gurunya, atau dari senior dan gurunya.

Di saat yang sama, semua RS publik dipacu mengejar pendapatan dengan mengutamakan layanan berbayar, dan rakyat miskin dipaksa untuk bertransaksi di pasar bebas layanan kesehatan, atau pilih menunggu antrean layanan rawat inap di RS Rujukan yang panjang dan tak berkesudahan. Kini menkes bak Juragan yang secara diam-diam menggeser hak rakyat atas kesehatan menjadi proyek bisnis mencari cuan, dengan orang sakit sebagai obyeknya. Menkes yang atas nama transformasi kesehatan telah merubah moral dan etika menolong dan melayani di RS Publik menjadi etika bisnis mencari cuan semata (SE Direktur Tatakelola Nakes, Dirjen Yankes No. TK.04.01/D.IV/795/2024 tentang Pengukuran Produktifitas Dokter Spesialis dan Utilisasi Alat Kesehatan) yang secara diametral jelas bertentangan dengan tujuan hadirnya negara sesuai UUD 1945.

Demikianlah, semoga tulisan ini bisa menyadarkan atasan dari menkes, yang mulia Presiden Prabowo Subianto, untuk segera bertindak menyelamatkan program kesehatan bagi rakyat negeri ini dari stupid leadership seorang menkes yang benar-benar tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu apa-apa alias Zonk, tapi merasa sok paling tahu sehingga muncul banyak ide yang asal-asalan, spontan, reaktif, tanpa basis sains, dan berpotensi semakin menjauhkan harapan Indonesia Emas 2045.

#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Spesialis, Praktisi Medis, dan Guru Besar Universitas Diponegoro


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait