Ceknricek.com -- Kegagalan para menteri Kabinet Kerja menekan harga tiket pesawat memaksa Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali turun tangan. Presiden melemparkan wacana mengundang asing meramaikan bisnis transportasi udara di dalam negeri. Lewat cara ini Presiden berharap akan semakin banyak maskapai sehingga harga tiket semakin bersaing. Penerapan sistem open sky tersebut kini tengah dibahas Kementerian Perhubungan.
Boleh jadi, membuka langit Indonesia lebih longgar untuk asing adalah jalan terakhir. Namun, wacana Presiden ini terkesan bahwa pemerintah sudah kehabisan akal dalam mengatur para pemain transportasi udara. Maklum saja, sejumlah kebijakan sudah dikeluarkan namun tarif tiket pesawat tak juga kunjung turun. Presiden, misalnya, telah memangkas monopoli PT Pertamina dalam distribusi avtur dengan membuka pemain swasta. Di sisi lain, harga avtur juga telah diturunkan karena dinilai berkontribusi hampir 40% terhadap total biaya yang ditanggung maskapai penerbangan. Nyatanya, kebijakan ini tidak membuahkan hasil.
Terbaru, Pemerintah menurunkan Tarif Batas Atas (TBA) dan menaikkan Tarif Batas Bawah (TBB). Kebijakan terbaru ini pun tak juga mendapat respons yang memadai. Sampai di sini, pemerintah terkesan kehabisan akal. Lalu muncullah ide memperbanyak pemain sehingga mereka akan saling bersaing.

Sumber: Tempo
Industri penerbangan Tanah Air saat ini memang hanya dikuasai dua pemain besar, yakni Lion Air Group (Lion Air, Batik Air, dan Wings Air) dan Garuda Indonesia Group (Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air, dan Nam Air).
Terbatasnya pemain di industri penerbangan inilah yang menurut Jokowi berdampak pada penentuan harga tiket pesawat yang kurang kompetitif. "Kita akan perbanyak kompetisi ini, sehingga mereka akan semakin efisien. Saya kira di dalam negeri sendiri kalau ada kompetisi kan bagus," katanya.
Selanjutnya, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi pun menindaklanjuti wacana ini. Kini, Kementerian Perhubungan tengah mengkaji secara cermat asas cabotage, aspek safety, dan pemerataan rute.
Dalam asas cabotage, maskapai asing wajib menggandeng perusahaan dalam negeri untuk bisa beroperasi di Tanah Air. Selanjutnya, kepemilikan saham mayoritas harus berada di perusahaan dalam negeri minimal 51%.
Maskapai asing harus juga memenuhi aturan soal keselamatan, salah satunya adalah terkait dengan umur pesawat yang akan dioperasikan. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 7/2016, pesawat yang pertama kali didaftarkan di Indonesia adalah berusia maksimal 10 tahun.
Poin terakhir adalah soal pemerataan rute penerbangan. Maskapai tidak hanya mendapatkan izin rute penerbangan gemuk, tetapi juga harus melayani rute penerbangan perintis. "Saya mesti matangkan regulasinya,” ujar Menhub kepada pers di Jakarta, Senin (3/6) lalu.
Keberlanjutan Bisnis
Wakil Presiden Jusuf Kalla tampaknya kurang sreg dengan wacana ini. Soalnya, selama ini pun Indonesia sejatinya sudah membuka langitnya untuk asing. Menurut JK, tanpa diminta masuk pun sejumlah maskapai asing sudah beroperasi di Indonesia. Termasuk dalam segmen penerbangan murah. "Air Asia contohnya. Dan sebaliknya, maskapai Indonesia, yakni Lion air sudah keluar, ada Lion Air Malaysia, Lion Air Thailand, ada di Afrika, itu saling memasuki," katanya di Kediaman Wakil Presiden Jakarta, Selasa (4/6).
Lagi pula, mengundang pemain asing juga tak lantas bisa menekan harga tiket pesawat. Menurut JK, masyarakat terlalu lama dimanjakan tiket murah akibat kompetisi tidak sehat. Padahal, tarif yang ditetapkan saat ini relatif sama dengan biaya pesawat puluhan tahun lalu. "Jadi saya kira maskapai asing pun tentu sama saja costnya. Cost airlines itu pesawat, avtur, pemeliharaan, ongkos personel, semua hampir sama semuanya. Mau maskapai dari mana sama," ujarnya.
JK tak asal bicara. Selama ini tarif tiket pesawat maskapai Indonesia sudah tergolong murah. Laporan Global Flight Pricing yang disusun oleh situs perjalanan Rome2Rio mencatat maskapai penerbangan termurah di dunia pada awal tahun 2018 adalah sebesar US$0,06 tiap kilometer. Rekor murah meriah ini ditawarkan oleh Tigerair Australia. Tiket penerbangan murah lainnya adalah AirAsia X (US$0,07), Indonesia AirAsia (US$0,08), Jetstar (US$0,09) dan Etihad (US$0,10). Sayangnya, tarif tersebut adalah untuk tahun lalu, sedangkan laporan untuk tahun ini belum keluar.

Sumber: Director magazine
Dalam laporan yang sama, juga terungkap, rata-rata harga penerbangan per kilometer telah meningkat dari US$17,75 pada tahun 2016, menjadi US$18,8. Tim riset dari Rome2rio mencatat maskapai penerbangan asal Asia dan India menguasai peringkat 25 maskapai penerbangan termurah di dunia. Air Asia X pada peringkat teratas, disusul Air India Express dan Indonesia AirAsia. Ada dua maskapai penerbangan asal Indonesia dalam daftar peringkat tersebut. Selain Indonesia AirAsia, ada pula Lion Air.

AirAsia. Sumber: Nikkei Asian Review
Direktur Utama Garuda Indonesia, Ari Askhara, saat menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, juga menyebut setelah Pemerintah menurunkan tarif batas atas tiket pesawat sebesar 12 sampai 16%, tarif penerbangan full service di Indonesia lebih murah jika dibandingkan dengan tarif batas atas yang diberlakukan pada ojek online (ojol). Ini jika dihitung per kilometer (km).
Rata-rata tarif batas atas untuk penerbangan full service sebesar Rp2.525 per kursi per km atau US$0,18. Sedangkan rata-rata tarif batas atas ojol yaitu Rp2.300 sampai dengan Rp2.600 per unit per km.
Tarif penerbangan full service ini juga lebih murah jika dibandingkan dengan rata-rata tarif batas atas angkutan Taksi yang sebesar Rp6.000-6.500 per unit per km. Rata-rata tarif batas atas penerbangan full service ini hanya kalah murah jika dibandingkan tarif MRT Jakarta yang hanya Rp1.000 per kursi per km.
Dalam catatan Garuda Indonesia tersebut, tarif penerbangan per jam di Indonesia juga paling rendah jika dibandingkan beberapa negara. Padahal, biaya operasional pesawat tak ada perbedaan di setiap negara.
Tarif penerbangan per jam di Indonesia hanya Rp718.575. Sementara tarif tiket pesawat untuk Jepang sebesar Rp2.309.846, China Rp1.505.256, Amerika Serikat Rp1.395.890, dan Eropa Rp1.170.628.
Diragukan
Wacana mengajak maskapai asing untuk menggarap langit Indonesia demi tiket pesawat murah juga diragukan banyak pihak. Soalnya, ada banyak faktor yang harus diperhitungkan maskapai asing jika ingin beroperasi di Indonesia, seperti harus memiliki badan hukum hingga diminta untuk membuka rute ke kota perintis dan tidak rute yang ramai saja.
Ini jika mengacu pada perlakuan terhadap maskapai selama ini. Garuda dan Lion selama ini telah membuka penerbangan ke kota perintis. Jika maskapai asing tidak dikenakan kewajiban yang sama tentu saja maskapai lokal akan merasa diperlakukan tidak adil.

Sumber: Radar Cirebon
Pendapatan maskapai asing dalam rupiah juga akan menjadi masalah. Pasalnya, biaya operasional maskapai asing tetap perlu dolar. Biaya yang memerlukan dolar adalah seperti pembelian bermacam komponen pesawat, seperti sparepart dan oli, yang umumnya impor. Hal yang sama pun dialami maskapai lokal yang pengeluarannya banyak yang impor. Jika mencermati hal itu rasanya sulit bagi maskapai asing bisa menekan tarif.
Tengok saja kasus Air Asia. Harga tiket maskapai asal Malaysia itu memang rendah, tetapi tak bisa mendikte harga tiket maskapai lain. Belum lagi fakta bahwa Air Asia menderita kerugian pada tahun lalu. Jika Air Asia bertahan dengan tarif lama tentu akan merugi lagi.
Dengan strategi bisnisnya, Indonesia Air Asia nyaris tidak pernah laba di Indonesia. Semua laba ditarik ke Malaysia yang tarif pajaknya jauh lebih rendah daripada Indonesia.
Sebagai konsekuensinya, Indonesia Air Asia nyaris tidak membayar pajak penghasilan di Indonesia selama tahun 2018, karena merugi sekitar Rp998 miliar.
Celakanya, bukan hanya Air Asia yang merugi. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Polana B. Pramesti, menyebut Lion Air juga dililit masalah. Maskapai ini menunda pembayaran kepada operator bandara. “Kalau dari laporan keuangan, terakhir 2018, banyak yang rugi. Enggak ada yang untung,” tutur Polana di sela-sela halal-bihalal di Kementerian Perhubungan, Jakarta, Senin (10/6).

Polona. Sumber: Koran Jakarta
Lagi pula, jika pasar transportasi udara Indonesia menguntungkan dan atraktif, maka dalam sepuluh tahun terakhir sudah masuk banyak pemain baru dengan pola seperti Indonesia Air Asia. Faktanya, tidak ada pendatang baru sedangkan pemain lama berguguran. Hanya tersisa Garuda Group, Lion Group, dan Indonesia Air Asia untuk pelayanan rute nasional.