Ceknricek.com--Ini kebetulan sekali. Saya bertemu orang, yang mengaku, mantan intel pribadinya Presiden Soeharto. Orang itu berpangkat Kolonel Tituler. Pangkat kolonelnya diberikan Presiden Soeharto sebelum turun. Ini bagian dari penyelamatan orang-orang pribadi Beliau.
Menurut orang itu ada beberapa orang yang dijadikan intel pribadi Presiden Soeharto. Dia direkrut menjadi intel pribadi, sejak mahasiswa, sebelum lulus Fakultas Teknik UGM. Mungkin hanya dia yang ingin menjadi tentara setelah tidak jadi intel. Bekas intel yang lain ada yang wiraswasta dan juga minta jadi ASN.
Para intel pribadi Presiden Soeharto ini, kata Sang Kolonel, harus benar benar merahasiakan pekerjaannya termasuk sama keluarga. Dia benar-benar bekerja di bawah tanah dan tidak boleh meminta fasilitas ke instansi lain mentang-mentang orang RI 1.
Dia harus benar-benar mandiri. Hanya maut saja yang bisa memisahkan dia dengan pekerjaannya. Dana sih jangan tanya. Karena memang taruhannya nyawa. Dia tidak boleh seperti intel melayu yang lain. Intel tapi ngaku. Dari dialah saya mendapat jawaban mengapa Presiden Soeharto tidak pernah mengadakan reshuffle kabinetnya. Satu kali firmed.
Jauh-jauh hari sebelum penunjukkan Menteri kabinet. Sang Kolonel mulai bercerita. Presiden Soeharto sudah men-order kepada kami tentang profil sejumlah nama-nama. Beliau kadang memberi foto saja atau cukup menyebut namanya.
Pokoknya kami harus mengumpulkan data selengkap-lengkapnya tentang setiap orang yang diminta. Mulai dari keturunannya (ke atas dan ke bawah), pendidikan, karyanya, sampai kebiasaan orang itu. Makanya ketika kami setor, bisa jadi, harus menyerahkan setumpuk berkas ke hadapan beliau. Lengkap dengan berbagai foto-foto. Waktu itu belum musim video.
Ketika mengeceknya, sering, Presiden Soeharto menanyakan hal yang tidak diduga-duga. Kalau minggu sore orang ini suka main kemana. Siapa yang paling sering bertamu ke rumahnya. Atau sebaliknya. Kemana saja dia sering berkunjung. Bahkan sering yang bersifat pribadi banget. Apa merek kolornya. Dan apa warna kesukaannya.
Pokoknya kalau setor kita harus benar-benar detil. Kalau anaknya lagi sekolah di Luar Negeri harus di intip juga bagaimana pergaulannya. Wah pokoknya harus lengkap bin detail. Makanya Presiden Soeharto itu tidak pernah salah menilai orang. Sekali dipercaya akan tetap dipercaya. Begitu juga sekali loyal, yang ditunjuk, akan tetap loyal.
Ketika mau pengumuman Kabinet, kita, wartawan, berusaha mendapat bocoran. Sehingga kita bisa berada di rumah yang akan ditunjuk Menteri. Indikatornya gampang. Apakah sudah mendapat telepon dari Presiden. Kalau yes berarti dia 99% akan jadi Menteri. Tapi ada juga yang tidak buka suara padahal sudah ditelepon. Mungkin takut tidak jadi. Kalau tidak jadi kan malu. Baru wartawan berlarian tergopoh-gopoh kerumah calon Menteri ini. Apalagi kalau posisi menterinya cukup strategis.
Menurut cerita para penerima telepon dari Pak Harto ini bisa diminta langsung dengan menyebut kementeriannya. Tapi ada juga yang sekedar ditanya,”Apakah bersedia membantu saya untuk meningkatkan ekspor kita?” kata Pak Harto di ujung telepon.
Nah ini bisa ditebak maksudnya Pak Harto meminta jadi Menteri Perdagangan. Tapi bisa juga Pak Harto menelepon,”Bersediakah saudara membantu saya bersama-sama untuk melakukan penegakan hukum?” Nah ini bisa Menhan, bisa Menkumham, bisa juga Jaksa Agung. Pokoknya telepon dari Pak Harto saat itu sangat sakral dan ada misterinya.
Apakah semua yang ditelepon jadi Menteri. Waktu itu saya, sebagai wartawan, tidak menemukan laporan yang ditelepon tidak jadi Menteri.
Jadi tidak ada cerita, jaman Presiden Suharto, dipanggil-panggil ke Istana. Sehingga calon Menteri menjadi pemberitaan dulu sebelum dilantik. Pernah kejadian salah memanggil calon segala. Pasti orang itu sangat malu. Apalagi calon itu berasal dari daerah. Sering terjadi juga sudah dipanggil ke Istana tapi ternyata tidak jadi. Bahkah ada yang tidak jadi menjelang pelantikan. Padahal orang itu sudah di Istana.
Pernah kejadian Sang Calon dipanggil ke Istana. Ini nih yang parah. Kemudian Sang Calon tidak jadi Menteri. Sampai sini sih masih belum bersoal. Tapi belakangan alasan ketidakjadiannya disampaikan ke publik. Sudah begitu disebut-sebut tentang kejiwaan lagi alasannya tidak jadi Menteri. Jadi geger pemberitaan Calon Menteri ini. Nama baiknya pasti hancurlah. Kalau sekarang mungkin bisa dikenai Undang Undang ITE.
Di jaman Presiden Soeharto ada juga cerita lucu seorang Tokoh. Namanya digadang-gadang masuk daftar. Bahkan beberapa periode. Saking seriusnya Tokoh ini menunggu telepon sampai melarang keluarganya menggunakan telepon rumah. Ingat jaman Presiden Soeharto belum ada handphone. “Pokoknya kalau kalian telepon harus ke telepon umum.”
Begitu perintah Tokoh itu kepada seluruh anggota keluarganya. Sang tokoh pun tidak jauh-jauh dari rumah ketika masa penantian itu. Ini diceritakan langsung oleh Tokoh itu.
Di suatu sore Sang Tokoh sedang membaca koran di depan rumahnya. Sambil minum teh sore-sore, dengan sarungan, tentu saja menunggu telepon Pak Harto. Konon kabarnya dari banyak kolega beliau, masa primetime, Pak Harto sering menelponnya di sore hari.
Pokoknya membaca koran juga kurang konsentrasi. Karena telinga beliau lebih terpusat di dering telepon. Beliau memang agak tegang karena hari-hari ini sudah masuk injury time ke pengumuman Kabinet Pembangunan. Kalau tidak hari ini. Tidak ada harapan lagi.
Kriiing suara telepon berbunyi. Sang Tokoh langsung mendengar pembicaraan yang mengangkat telpon yang sengaja ditugaskan istrinya. Tidak berselang lama istrinya langsung berlari. Dan berteriak dari pintu.
“Pak Harto Pak,” teriak istrinya setengah ditahan takut terdengar Si Penelpon.
Tanpa pikir panjang Sang Tokoh langsung berlari. Dengan seribu harapan. Jabatan Menteri sudah di tangan nih. Sampai lupa bahwa beliau sedang memakai sarung. Sehingga kakinya keserimpet. Dan jatuhlah beliau. Lumayan nyonyor juga. Maklum kurang waspada. Saking senengnya. Tapi tidak dirasa.
“Nggih Pak,” dengan suara agak dilembutkan sedikit.Karena napas terengah-engah akibat lari, kaget dan jatuh.
“Pak, saya Harto yang memperbaiki ledeng rumah Bapak tadi,” Tidak ada ampun. Telepon langsung dibanting. Istrinya habis dimarahinya karena menerima telepon tanpa disaring dulu. Rupanya yang telepon Harto tukang ledeng yang memperbaiki ledeng rumah Sang Tokoh karena memang tadi pagi ada masalah.
Begitulah telepon Presiden Suharto. Sangat ditunggu-tunggu. Karena memang telepon yang sangat bernilai. Menyangkut nasib seorang Menteri.
Editor: Ariful Hakim